tebuireng.co – Lapar merupakan keadaan alamiah yang dialami setiap manusia, termasuk kekasih Allah seperti Nabi Muhammad. Lapar terkadang membuat orang nekat melakukan sesuatu hal buruk.
Orang yang selalu merasa lapar sepanjang hari dinamakan “Sindrom Prader-Willi.” Penderitanya selalu didera rasa lapar hingga terkadang nekat mencuri makanan.
Kelainan langka ini menimpa 1 di antara 25.000 anak. Gejala utama dari sindrom Prader-Willi adalah rasa lapar yang konstan dan biasanya dimulai pada usia satu tahun.
Bukan hanya risiko tindak kriminal saja yang patut diwaspadai dari penderita sindrom Prader Willi. Risiko lain yang patut diwaspadai ialah obesitas dan kematian. Keinginan makan yang tak terkendali dapat membuat tubuh kelebihan kalori dan mengalami obesitas.
Lalu bagaimana Nabi Muhammad mengatur diri saat lapar?
Menjawab pertanyaan ini, kita perlu membaca kisah ketika Rasulullah saw keluar rumah dan berpapasan dengan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.
Saat itu Rasulullah saw menanyakan alasan mereka berdua keluar rumah. “Lapar”, jawaban dua sahabat agung ini. “Begitu juga dengan saya, kalau demikian, mari kita cari bareng-bareng”.
Mereka kemudian diajak Rasulullah saw berkunjung ke rumah sahabat Abul Haitsam bin At-Tayyihan. Di sana, mereka bertiga dijamu oleh sahabat Anshar tersebut. Cerita ini diabadikan dalam hadis.
Muhammad Salih Al-Munajjid dalam Interactions of The Greatest Leader: The Prophet’s Dealings with Different People merujuk cerita tersebut dari hadis Imam Muslim (2038).
Imam An-Nawawi memaknai hadis tersebut dengan sangat indah, seorang Muslim tidak layak untuk komplain terhadap takdir Allah SWT.
Memang sudah menjadi sunatullah bahwa terkadang manusia ditakdir berkelebihan dan terkadang berkukarangan.
Untuk menanggulangi sifat buruk komplain atas takdir Allah SWT ketika susah, silaturahim ini sangat dianjurkan sebagai salah satu mediasi menyelesaikannya.
Selain itu, Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa konsultasi dan berembug ketika mendapatkan satu permasalahan sangat dianjurkan, semisal saat lapar dan lagi sulit pekerjaan.
Bukan pasif meratapi kondisi ketika sedang dilanda pailit, karena hal tersebut bisa berujung fatal, yakni tidak terima akan takdir Allah SWT.
Padahal, dunia ini hanya tempat bersenda gurau. Oleh karenanya, berbagi kepada sesama terkait permasalahan yang sedang dialami, sangat dianjurkan.
Di kisah lain ada peristiwa sahabat Jabir ketika menjamu tamu Rasulullah saw, keluarga Jabir saat itu sedang dalam keadaan terpepet akan tetapi berusaha menjamu sebaik mungkin. Istri Jabir ikut membantu suaminya menyiapkan makanan. Meskipun takut nanti tidak bisa melayani tamu secara maksimal.
Melihat Jabir dalam kesungkanan, Rasulullah saw menyampaikan ayat sembari tersenyum, “Walau kana bihim khasasah”. Meskipun dalam hadis yang lain, Rasulullah saw juga berpesan agar tidak mendorong saudaranya kepada perbuatan dosa.
Ketika ditanya, Muhammad saw menjawab “Bertamu melebihi periode waktu sehingga tuan rumah tidak memiliki sesuatu untuk disuguhkan lagi”.
Tidak hanya menyuruh sahabatnya berbagi makanan, Nabi Muhammad juga mencontohkan secara langsung. Ini terekam dalam hadis riwayat Tirmidzi
“Ketika Sayyidah Aisyah menghidangkan makanan kesukaan Rasulullah yaitu paha domba (kambing). Rasulullah bertanya : “Wahai Aisyah, apakah sudah engkau berikan kepada Abu Hurairah tetangga kita ? Aisyah menjawab: “Sudah ya Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah bertanya lagi:
“Bagaimana dengan Ummu Ayman?” Aisyah kembali menjawab: “Sudah ya Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah bertanya lagi tentang tetangga-tetangganya yang lain, adakah sudah diberi masakan tersebut, sampai Aisyah merasa penat menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah.”
Sampai Aisyah menegaskan kalau semua makanan sudah habis dibagikan kepada tetangga. Yang tersisa hanya beberapa potong daging untuk disantap Rasulullah dan Aisyah.
“Aisyah kemudian menjawab:
“Sudah habis ku berikan, Ya Rasulullah. Yang tinggal apa yang ada di depan kita saat ini,” ujar Aisyah.
Mendengar jawaban sang istri, Rasulullah lantas tersenyum dan mengatakan kalimat singkat namun mendalam.
“Engkau salah Aisyah, yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.” (HR. At-Tirmidzi)
Dari kisah Abul Haitsam dan sahabat Jabir, ada hal menarik yang layak kita ambil pelajaran. Bahwa pikiran, sikap, dan sifat istri mereka menunjukkan support kepada suami atas satu kebaikan.
Juga dalam kasus Abul Haitsam, istrinya malah menyambut Rasulullah saw dan kedua sahabatnya sebelum Abul Haitsam datang. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa istri boleh menerima tamu lelaki bila memang sang istri yakin suami pasti ridha dengan sikapnya.
Selain itu, pelajaran lain yang bisa diambil dari peristiwa ini, bahwa berbagi makanan adalah perbuatan mulia dan disukai Nabi Muhammad.
Bagi Muslim yang kelaparan, selayaknya menyakini bahwa Allah sangat menyayangi hambanya. Oleh karenanya, terus berusaha agar kelaparan itu hilang. Bagi yang memiliki makanan, selayaknya menolong yang sedang lapar.
Nabi Muhammad mendidik umatnya memiliki sifat tenggang rasa dan kepedulian kepada sesama. Rasulullah saw bahkan kerap mencontohkan untuk berbagi makanan dengan kerabat dan tetangga meskipun jumlahnya tak banyak.
“Barangsiapa yang memberi makanan kepada seorang mukmin hingga membuatnya kenyang dari rasa lapar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam salah satu pintu surga yang tidak dimasuki oleh orang lain.” (HR. Thabrani).
Yayan Musthofa (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Hasyim Asy’ari)