Dalam Fikh, musafir (orang sedang yang menempuh perjalanan jauh) termasuk golongan yang mendapat rukshoh (keringanan) untuk tidak melaksanakan puasa dengan catatan ia tetap memiliki kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di hari yang lain.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penggalan surah Al-Baqarah ayat 184
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ
“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”(QS.Al-Baqarah:184)
Namun, musafir dengan kriteria seperti apakah yang berhak mendapatkan keringanan? Seperti yang diketahui bahwa musafir merupakan orang yang melakukan perjalanan hingga diperbolehkan baginya meng-qasar sholat dengan beberapa syarat.
Diantara syarat musafir boleh meng-qasar sholat adalah perjalanan yang ditempuh termasuk perjalanan yang sifatnya mubah dan tidak mengandung unsur maksiat. Seperti perjalanan dengan tujuan menuntut ilmu, berdagang, menyambung silaturrahmi dan lain sebagainya.
Syarat lainnya yaitu jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 16 farsakh. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat jika diakumulasikan pada hitungan kilometer (KM). Sebagian berpendapat 16 farsakh sama dengan kira-kira 81 KM dan ada yang menyebut kira-kira 90 KM yaitu jarak yang sudah membuat musafir merasa kelelahan.
Meski pada dasarnya musafir yang telah mencakup kriteria tersebut mendapat keringanan untuk tidak puasa, namun para ulama fikh berpendapat bahwa apabila musafir tersebut tidak mendapat mudharat yang mengharuskan ia membatalkan puasa, maka berpuasa adalah lebih utama dari pada meninggalkannya.
Sementara itu, ulama lain seperti Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini memberikan penjelasan lebih detail bahwa apabila seorang musafir memulai perjalanan pada malam hari dan sebelum terbitnya fajar telah melewati batas daerah tempat tinggalnya maka ia diperbolehkan untuk tidak puasa. Namun jika tidak, maka ia tetap harus berpuasa satu hari penuh.
Hal ini juga sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Al-Muhadzab sebagai berikut
ومن أصبح في الحضر صائما ثم سافر لم يجز له ان يفطر في ذلك اليوم
“Barang siapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa, baru kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu.” Wallahua’lam bisshowab.
Baca juga:Kesunahan dalam Puasa menurut Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi