tebuireng.co- Dalam literatur fikih, haji merupakan rukun Islam kelima dan wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang mampu. Di kalangan ulama tidak ada perbedaan pendapat mengenai syarat wajib haji ialah mempunyai kemampuan untuk menjalankan ibadah haji. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا
“…yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali-Imran: 97)
Dalam penafsiran ayat di atas masih ada perbedaan pendapat ulama mengenai bagaimana maksud dari kesanggupan atau kemampuan haji tersebut. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd menyinggung hal itu, apakah ‘mampu’ di sini harus dijalankan sendiri ataukah bisa mencari orang lain sebagai wakilnya apabila dia tidak mampu.
Disebutkan bahwa menurut kesepakatan ulama, mendefinisikan orang yang mampu menjalankan haji secara langsung tanpa diwakilkan ialah orang yang fisik dan hartanya mampu untuk dipergunakan ibadah haji dan dalam situasi serta kondisi yang aman.
Batasan Mampu
Dalam keterangan di kitab fathul qarib menyebutkan bahwa ada 7 syarat wajib haji, di antaranya ialah Islam, baligh, berakal, merdeka, adanya bekal dan kendaraan, perjalanan aman, estimasi waktu memungkinkan untuk haji.
Dalam kitab al-muhaddzab fi fiqh al-imam al-syafi’i, Imam al-Syirazi menerangkan, apabila tidak mampu/memilik bekal dan kendaraan maka ia tidak wajib menjalankan haji. Bekal/mampu di sini ialah mampu biaya berangkat dan pulang, sudah tidak tertanggung hutang, biaya hidup selama haji dan nafkah untuk keluarga yang ditinggal haji.
Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, berpendapat yang dimaksud mampu ialah ada bekal dan biaya kendaraan, hal ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab.
Menurut Imam Malik, jika seseorang itu mampu berhaji dengan jalan kaki maka kendaraan tidak menjadi syarat, alhasil dia wajib haji dengan jalan kaki. Begitu pula ketika menjalankan haji tanpa bekal, jika dia bisa mencari bekal saat dalam perjalanan.
Perbedaan pendapat ini berasal dari perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran dan hadis yang membahas tentang batas kemampuan haji. Hadis yang menafsirkan ‘mampu’ dalam haji:
أَنَّهُ سُئِلَ، مَا الْإِسْتِطَاعَةُ؟ فَقَالَ: الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ
“Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dintya tentang kriteria mampu, lalu beliau menjawab: ‘Mampu artinya mempunyai bekal hidup dan biaya kendaraan.” (HR. Tirmidzi)
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menerapkan hadis ini pada semua mukallaf tanpa terkecuali. Sedangkan Imam Malik menafsirkan hadis tersebut bagi orang yang tidak mampu berjalan kaki dan tidak mampu mencari bekal dalam perjalanan haji. Maksudnya, menurut Imam Malik, orang yang mampu haji dengan jalan kaki tidak perlu menunggu adanya biaya kendaraan agar dikenai kewajiban haji. Dan begitupun soal bekal, kalau tidak punya bekal tapi dia mampu mencari bekal di perjalanan, maka ia tetap wajib berangkat haji.
Dari perbedaan pendapat ini, ada dinamika keilmuan yang indah di antara para ulama. Perbedaan yang menjadi rahmat. Batasan mampu dari segi fisik dan finansial untuk haji merupakan syarat wajib dalam menjalankan haji. Bagaimana tentang haji yang diwakilkan? Menurut Imam Syafi’i, seseorang yang secara finansial mampu tetapi dari segi fisik tidak mampu untuk menjalankan haji (misalnya karena sakit atau lemah karenh faktor umur), wajib mewakilkan hajinya agar dilaksanakan orang lain atas nama orang yang tidak mampu tersebut. Dengan catatan biaya hajinya ditanggung orang yang tidak mampu fisiknya.
Begitu pula ketika seseorang itu meninggal tetapi belum melaksanakan ibadah haji, sedangkan harta warisannya banyak. Maka tugas dari ahli warisnya, wajib mengeluarkan harta warisan untuk menjalankan haji atas nama orang yang meninggal tersebut. Seseorang yang mampu secara finansial tetapi tidak mampu dari segi fisik disebut al-ma’dhub.
Lalu apakah status ibadah haji bagi orang yang mewakilkan haji atas nama orang lain? Dalam keterangan kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan, mayoritas ulama berpendapat melakukan ibadah haji atas nama orang lain bagi diri orang yang mewakilkan bernilai sebagai ibadah sunnah. Meskipun ada pula sebagian ulama tetap menilai itu sebagai ibadah fardlu.
Bagi yang mewakilkan, menurut Imam Syafi’i, diharuskan pernah menjalani ibadah haji untuk dirinya sendiri sebelumnya. Sedangkan menurut Imam Malik tidak menyaratkan hal tersebut. Wallahu a’lam.