Menurut pandangan Martin Van Bruinessen pengajian kitab kuning merupakan sebuah tradisi agung (great tradition) yang telah berlangsung begitu lama. Kitab kuning menjadi pokok kajian yang telah turun temurun diajari dan dipelajari masyarakat santri. Tidak banyak di temukan perubahan dalam metode mengkaji kitab kuning, bahkan nama kitab kuning yang semula merujuk pada kertasnya yang berwarna kuning tidak ada perubahan sama sekali meski saat ini kertas yang digunakan telah banyak berwarna putih.
Kitab kuning juga di sebut kitab gundul lantaran naskah di dalamnya menggunakan bahasa Arab tanpa harakat (fathah, kasrah, dlammah, sukun). Orang non Arab biasanya membutuhkan waktu lama dalam mempelajari cara membaca dan memahami isi kandungan di dalamnya melalui ilmu tata bahasa Arab; Nahwu (Sintaksis), Sharaf (inflaksi) balaghah (retorika) dan mantiq (logika Aristotelian).
Selain tidak semua orang mampu membaca dan memahami kitab kuning sebab harus lebih dahulu mempelajari kitab-kitab alat, belajar kitab kuning juga harus mendapatkan bimbingan langsung dari seorang kiai ataupun seorang guru yang mahir dalam membaca kitab kuning, karena dalam proses transfer ilmu dari kitab kuning ke para santri setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sorogan dan bandongan/wetonan, kedua cara ini mewajibkan para santri untuk hadir secara langsung (ada pula yang streaming) dalam majelis pengajian yang dibacakan oleh seorang kiai atau guru.
Hal demikian juga menjadi istimewa bilamana dalam pembacaan kitab kuning diasuh oleh seorang yang betulbetul faqih dan mumpuni di bidangnya. Kiai atau guru di posisikan sebagai kunci keberkahan dari ilmu yang dipelajari. Keberadaannya menjadi sangat penting dalam menilai kualitas keilmuan seorang santri karena dapat menjadi isnad (sandaran) yang membentuk hubungan keterkaitan keilmuan. Bagi masyarakat pesantren kefaqihan dan karisma seorang kiai didasarkan pada kekuatan spiritual dan kualitas ilmu agama, oleh karenanya bisa memberi nasehatnasehat baik serta tauladan kepada para santrinya. Dengan kualitas keilmuan dan ke
kuatan spiritual itulah hubungan antara kiai dan santrinya terasa lebih sakral. Maka menjadi suatu yang niscaya dan harus bagi seorang santri ketika mendalami ilmu keagamaan memiliki seorang guru dengan keilmuan mapan.
Kaum pesantren menganggap hubungan keilmuan seorang kiai dan santrinya sebagai sebuah aspek integral konsep wasilah, keperantaraan spiritual. Rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai kepada Nabi dan karenanya kepada Tuhan, hal ini di anggap penting untuk keselamatan. Konsep mata rantai yang terus bersambung sampai kepada Nabi adalah sangat penting bagi Islam pesantren. Hal itu terdapat dalam berbagai aspek seperti pada silsilah tarekat, Isnad hadist, juga isnad kitab-kitab yang dipelajari. Mata rantai tersebut merupakan keotentikan tradisi.
Pentingnya isnad di kalangan pesantren diperlihatkan oleh sejumlah kitab karya almarhum Syaikh Yasin AlPadani, mudir Madrasah Dar Al-‘Ulum Al-Diniyah di Mekkah (AlPadani 1402). Dalam karya ini, penulis hanya menyebut judul dari kitab-kitab yang telah ia kaji, bersama dengan isnad dan guru-gurunya sampai pengarang kitab bersangkutan.
Kitab Kuning Rawan Dipalsukan!
Martin Van bruinessen menyebutkan bahwa status kitab-kitab (non digital) di kalangan pesantren masih punya badan sensor yang menentukan buku mana (mu’tabaroh) dan mana yang tidak. Karangan Ibnu Taimiyah misalnya telah berada di urutan atas dalam daftar buku terlarang. Sebab adanya perbedaan pandangan yang mencolok dengan kajian dan tradisi kepesantrenan. Sebelum kemudian muncul di internet situs www. shamela.ws dan www.almeshkat.com dengan proyek digitalisasi kitab kuning oleh Maktabah Syamilah. Software ini pada mulanya diterbitkan oleh jaringan dakwah Salafi Wahabi (Sawah) yang membuat kalangan Ahlussunnah merasa harus meneliti dan berhati-hati dalam mengkaji naskah-naskah yang termuat di dalamnya. Meskipun demikian munculnya Maktabah Syamilah sendiri mendapat apresiasi dari kalangan santri dengan proyek yang tujuannya memang untuk mempermudah umat islam mencari ibarah-ibarah dari kitab kuning.
Di era yang serba digital seperti saat ini tidak sulit bagi siapapun untuk mempelajari ilmu agama. Melalui media internet kapan saja dan dimana saja, Anda dapat belajar ilmu-ilmu agama dengan bantuan mesin pencari bernama Google. Google (dan semisal, yahoo, ask dll) merupakan prestasi besar yang muncul di abad ini. Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya. Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Teks-teks keislaman itu bisa dibaca dan di download dengan berbagai macam format, bisa format Pdf, Lit, Docx dan semacamnya. Tidak terkecuali naskah-naskah kitab kuning karya ulama terdahulu juga ikut berseleweran di Google.
Tetapi harus di sadari bahwa Google bukanlah khadim kiai yang ketika seseorang bermaksud belajar ilmu agama bisa langsung di antar ke tempat yang dituju, bisa jadi disana seseorang diantarkan ke tempat lain dan dengan tidak sengaja mempelajari kitab asing yang sebetulnya tidak ingin dipelajari atau bahkan diantarkan pada kitab yang di tuju tapi dengan isi yang sudah berbeda atau dipalsukan, karena google bukanlah seorang ulama, Google hanya sebatas mesin pencari yang analog secara otomatis dengan semua data yang ada di dunia, tanpa bisa memilah mana data salah dan mana data yang benar. Google tidak bisa membedakan mana tulisan para ulama yang ahli di bidang ilmu agama, dan mana tulisan orang yang awam dengan agama. Contoh redaksi kitab yang di palsukan seperti halnya di dalam Tafsir AshShawi ‘ala Tafsir AlJalalain cetakan “Darul Fikr” tahun 1993 jilid 3 halaman 397:
قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذالك دماء المسلمين لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و يحسبون انهم على شيء
Kaum Salafi Wahabi menghapus kalimat:
وهم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية
(Artinya: Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Saudi). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”.
Redaksi kitab yang asli sebelum dirubah adalah sebagai berikut:
قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذالك دماء المسلمين لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم وهم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون انهم على شيء
Banyak kitab karya para ulama terdahulu telah berubah dari tulisan aslinya dan disebarkan melalui media cetak dan internet. Sehingga belajar ilmu
keislaman melalui Google selain masalah keberagaman teks kitab yang tersebar, isnad atau penyandaran keilmuan yang memberi legitimasi otentik terhadap ilmu, juga tidak ada. Namun bukan berarti semua yang ada dalam google tidak ada manfaat. Hanya saja perlu ketelitian dan kejelian dalam memahami teks kitab yang tersebar.
Mengenai perkembangan ini, nampaknya perlu direnungkan kembali klasifikasi manusia yang disampaikan oleh al Kholil bin Ahmad bahwasanya manusia dibagi menjadi empat; pertama, manusia yang punya pengetahuan dan tidak mengetahui bahwa dirinya punya pengetahuan disebut manusia lalai, kedua, manusia yang tidak punya pengetahuan dan mengetahui bahwa dirinya tidak punya pengetahuan disebut manusia bodoh, ketiga manusia yang punya pengetahuan dan ia tahu bahwa dirinya punya pengetahuan disebut manusia pandai, dan keempat, manusia yang tidak punya pengetahuan dan tidak tahu bahwa dirinya tidak punya pengetahuan lalu dia mengajari orang lain, itulah manusia tolol. Oleh karena itu tidak ada hal yang lebih dibutuhkan dalam menghadapi ketidaktahuan (kebodohan) kecuali belajar kepada orang yang sudah pakar