tebuireng.co – Kisah lelaki ahli puasa, diziarahi Nabi Muhammad diceritakan dalam kitab An-Nawadir karya Syaikh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi.
Diceritakan bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Yusuf memiliki seorang sahabat. Ia terkenal sebagai seorang yang wara’ dan takwa, meski orang-orang mengenal sahabat karibnya itu sebagai orang fasik dan pendosa.
Sudah 20 tahun Abu Yusuf melakukan tawaf di sekitar Ka’bah bersamanya. Tidak seperti Abu Yusuf yang berpuasa terus menerus, sahabatnya ini melakukan sehari puasa sehari berbuka. Memasuki bulan Dzulhijjah, sahabat Abu Yusuf ini menunaikan puasa secara sempurna, yakni puasa 10 hari di bulan Dzulhijjah.
Kendati ia berada di Padang Sahara yang tandus. Bersama Abu Yusuf, ia masuk Kota Thurthus dan menetap di sana untuk beberapa lama. Di tempat gersang inilah, persisnya di sebuah kawasan reruntuhan bangunan, ia wafat tanpa seorang pun yang tahu kecuali Abu Yusuf.
Abu Yusuf pun keluar mencari kain kafan. Alangkah kagetnya tatkala dirinya kembali. Ia menyaksikan kerumunan orang berkunjung, mengafani, sekaligus menyalati jenazah sahabatnya tersebut di tempat yang semula tak berpenghuni.
Karena begitu ramainya, Abu Yusuf sampai tak bisa memasuki reruntuhan bangunan itu. Para pelayat menyebut-nyebut karibnya sebagai orang yang zuhud dan termasuk dari kekasih Allah (waliyullah).
“Subhanallah, siapa yang mengumumkan kematiannya hingga orang-orang berbondong-bondong bertakziah, menyalati, dan menangisi kepergiannya?” tanya Abu Yusuf.
Setelah melalui perjuangan keras, Abu Yusuf akhirnya berhasil menghampiri jenazah sahabatnya tersebut dan terperanjat saat melihat kain kafan yang tak biasa.
Pada kain itu tercantum tulisan berwarna hijau:
هذا جزاء من آثر رضا الله على رضا نفسه وأحب لقاءنا فأحببنا لقاءه
“Inilah balasan orang yang mengutamakan ridha Allah daripada ridhanya sendiri. Orang yang rindu menemui-Ku dan karenanya Aku pun rindu menemuinya”.
Kisah lelaki ahli puasa ini semakin berkesan karena diziarahi Nabi Muhammad. Selepas melaksanakan salat jenazah dan mengebumikannya, rasa kantuk berat menghampiri Abu Yusuf hingga akhirnya tertidur.
Dalam mimpinya Abu Yusuf menyaksikan sahabatnya yang ahli puasa tersebut menunggang kuda dan berpakaian serba hijau dengan sebuah bendera di tangannya.
Di belakangnya, ada seorang pemuda tampan berbau harum. Di belakang pemuda ini, ada dua orang tua, diikuti lagi satu orang tua dan satu pemuda. “Siapa mereka?” tanya Abu Yusuf.
“Pemuda tampan itu adalah Nabi kita Muhammad Saw. Dua orang tua itu adalah Sayyidina Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Sementara orang tua dan pemuda itu adalah Sayyidina Utsman dan Ali,” jawab sahabat Abu Yusuf.
“Dan akulah pemegang bendera di depan mereka,” kata sahabatnya dalam mimpi itu.
“Hendak ke manakah mereka?” tanya Abu Yusuf.
“Mereka ingin menziarahiku.”
Abu Yusuf pun kagum, “Bagaimana kau bisa mendapatkan kemuliaan semacam ini?”
“Sebab aku memprioritaskan ridha Allah Ta’ala dibanding ridha diriku sendiri dan aku berpuasa pada 10 hari Dzulhijjah,” jawab sahabatnya.
Abu Yusuf pun terbangun dari tidurnya. Lalu sejak itu ia tak pernah meninggalkan amalan puasa itu hingga akhir hayat.