Kisah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menggendong Nabi Khidir sebagai bentuk ketaatan kepada Kiai Kholil Bangkalan diceritakan dalam sebuah kitab berjudul “Fiqhul Hikayat.“
Cerita ini berawal saat ada tamu yang datang ke Kiai Kholil Bangkalan. Syaikhuna Kholil Bangkalan merupakan salah satu pembesar ulama di masanya. Setiap harinya Kiai Kholil selalu didatangi oleh banyak tamu untuk sowan kepadanya.
Suatu malam di tengah hujan yang lebat, tiba-tiba di pelataran rumah Syaikhuna Kholil kedatangan seorang kakek sepuh yang lumpuh (Nabi Khidir), ia berjalan dengan cara “ngesot.” Syaikhuna yang melihat hal itu langsung berkata pada para santri:
“Siapa yang bersedia menggendongnya?,” tanya Kiai Kholil.
“Saya bersedia wahai guru,” jawab salah seorang santri.
Tanpa tanya lagi sang santri kemudian menggendong orang tua tersebut menuju rumah Kiai Kholil. Ketika sampai di depan pintu rumah Syaikhuna Kholil, langsung Kiai Kholil menyambutnya dengan penuh hormat dan takdzim pada tamu sepuh itu. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah dan melakukan dialog. Sementara santri tadi berada di luar.
Ketika Syaikhuna dan tamunya telah selesai berbincang-bincang, Syaikhuna Kholil lalu keluar rumah dan berkata pada para santri:
“Siapa yang bersedia menggendong tamuku ini sampai ke rumahnya?,” tanya Kiai Kholil lagi.
“Saya bersedia wahai guru,” jawab santri yang sebelumnya menggendong tamu sampai ke depan pintu sebelumnya.
Ketika santri itu pergi menggendong tamu sang guru, Syaikhuna Kholil berkata kepada para santri yang lain:
“Saksikanlah sesungguhnya ilmu-ilmuku sudah dibawa oleh dia (santri yang menggendong tamunya),” ujar Kiai Kholil.
Setelah kejadian itu barulah diketahui ternyata tamu Syaikhuna Kholil yang sepuh serta lumpuh itu adalah Nabi Khidir AS. Sedangakan santri yang menggendongnya itu dikemudian hari menjadi Rais Akbar Jamiyyah Nahdhatil Ulama (NU). Dia adalah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.
Di cerita lain, Kiai Kholil Bangkalan pernah datang ke pesantren yang didirikan KH M Hasyim Asy’ari yaitu Pesantren Tebuireng untuk ikut ngaji Kitab Shohih Bukhori -Muslim bersama santri lainnya. Pengajian kitab tersebut dilakukan hingga saat ini oleh santri Kiai Hasyim. Hal ini sebagai bentuk apresiasi Kiai Kholil kepada santrinya.
Saat di Tebuireng, Kiai Kholil tidak ingin diistimewakan layaknya guru. Kiai Kholil bersikukuh ingin dilayani layaknya santri biasa. Namun, akhirnya Kiai Kholil mengalah dan mau dilayani oleh Kiai Hasyim setelah Kiai Hasyim mengatakan bahwa seseorang harus taat kepada gurunya.
Taat kepada guru di sini bermakna ganda. Dari Kiai Hasyim, ia ingin memuliakan gurunya yaitu Kiai Kholil. Sementara Kiai Kholil tidak mau dimuliakan karena saat itu yang jadi guru adalah Kiai Hasyim. Jadi, yang dimuliakan adalah Kiai Hasyim.
Kedua tokoh besar ini berebut untuk saling memuliakan gurunya. Sebuah contoh tauladan yang luar biasa dari keduanya. Akhirnya Kiai Hasyim punya ide dan jalan keluar, kemudian ia berkata:
“Karena saat ini saya yang jadi guru, maka saya menginginkan Kiai Kholil istirahat di ruang tamu pesantren dan dilayani. Perintah guru tidak boleh dilanggar,” katanya.
Tidak lama kemudian, Kiai Kholil langsung mau dilayani dan dimuliakan selama berada di Tebuireng. Kiai Hasyim juga bahagia bisa melayani gurunya dengan baik
Allah yarham. Al-fatihah untuk kedua guru kita. Semoga kita diakui santri beliau dan mendapat barakahnya.
Ahmad Mo’afi Jazuli