tebuireng.co– Kiai Shoichah adalah leluhur dari para ulama di Jombang seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah.
Nama Shoichah merupakan nama julukan dari Kiai Abdus Salam, nama julukan ini pula yang kemudian terukir di makamnya di kompleks Pesantren Tambak Beras-Jombang.
Asal usul julukan Shoichah berawal ketika Kiai Abdus Salam menunggangi seekor kuda di jalanan desa Tambak Beras, di saat yang sama ada orang Belanda atau kompeni yang juga menunggangi kuda.
Kiai Abdus Salam kemudian menyalip kendaraan kompeni itu. Karena tersinggung si kompeni menodongkan pistolnya ke arah Kiai Abdus Salam. Ditodong pistol, Kiai Abdus Salam bukannya ketakutan namun justru membentak dengan keras si kompeni tersebut hingga ia pingsan seketika.
Dari kejadian tersebut penduduk setempat memanggil Kiai Abdus Salam dengan nama Shoichah. Shoichah sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya “bentakan yang membuat orang gemetar”, kata Shoichah juga terdapat dalam al-Quran seperti yang terdapat di dalam surah Yasiin.
Lantas siapa sebenarnya Kiai Shoichah?
Kiai Shoichah adalah salah satu ulama dari Lasem-Rembang yang menjadi panglima perang pasukan Diponegoro. Ia adalah putra Kiai Abdul Jabbar putra kiai Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Kiai Abdurrohman (Joko Tingkir).
Setelah berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) membuat kekuasaan pemerintah kolonial Belanda semakin kuat mencengkeram Nusantara.
Kekuasaan Kolonial Belanda di Nusantara yang berlangsung lama tersebut adalah hasil dari siasat licik mereka dengan menjebak Pangeran Diponegoro kemudian menangkap serta mengasingkannya. Para pasukannya pun kocar-kacir dan terus menjadi buruan pihak Kolonial.
Zainul Milal dalam Laskar Ulama-Santri (2014) menyebutkan bahwa para pasukan Diponegoro tersebut melarikan diri ke berbagai daerah dengan tetap meneruskan spirit perjuangan menentang penjajahan.
Mereka menyebar ke seluruh penjuru negeri dan mendirikan pesantren-pesantren sebagai wadah perjuangan. Salah satunya adalah Kiai Shoichah.
Setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro, Kiai Shoichah membawa pasukannya ke arah timur, yaitu sebuah dusun Gedang di desa Tambakrejo.
Sebelum kedatangan Kiai Shoichah, perkampungan ini semula masih merupakan hutan belantara, namun setelah kurang lebih 13 tahun Kiai Shoichah bergelut membersihkan perkampungan ini akhirnya mulai dihuni oleh komunitas manusia.
Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah beliau membuat gubuk tempat berdakwah, yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari bilik kecil untuk santri, tempat tinggal yang sederhana dan sebuah langgar (mushallah).
Dalam perkembangannya langgar ini berkembang menjadi pondok pesantren yang karena jumlah santri di masa awalnya berjumlah 25 orang, maka masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan Pondok Selawe.
Selain dikenal sebagai Pondok Selawe, pesantren yang didirikan Kiai Abdus Salam ini juga dikenal dengan sebutan Pondok Telu. Kata “Telu” dalam bahasa Jawa berarti “tiga”, untuk merujuk pada disiplin ilmu yang awalnya diajarkan di pesantren ini, syariat, makrifat dan kanuragan.
M. Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh (2013) menambahkan selain merujuk pada tiga disiplin ilmu di atas, disebut Pondok Telu juga karena awalnya pesantren ini memiliki tiga bangunan sebagai bilik santri.
Pesantren yang diasuh Kiai Abdus Salam lambat laun berkembang dan mulai menerima santri-santri lain dari penduduk sekitar di luar 25 orang pengikutnya.
Pesantren Kiai Shoichah inilah yang kelak menjadi cikal bakal beberapa Pondok Pesantren di wilayah Jombang.
Secara silsilah, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah sebagai tokoh utama pendiri NU terikat hubungan keluarga melalui Kiai Shoichah.
Kiai Shoichah mempunyai istri bernama Muslimah dan dikarunia sepuluh orang anak, yaitu Layyinah, Fathimah, Marfu`ah, Jama`ah, Abu Bakar, Abdus Syakur, Ali, Mustahal, Fatawi dan Ma`un. (M. Solahuddin, Nakhoda Nahdliyin... 2013)
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari memiliki ibu bernama Winih isteri Kiai Asy`ari. Winih memiliki ibu bernama Layyinah istri Kiai Usman. Kiai Usman adalah murid yang diambil menjadi menantu oleh Kiai Shoichah.
Sedangkan Kiai Wahab Chasbullah memiliki ayah bernama Kiai Chasbullah, Kiai Chasbullah memiliki ibu bernama Fathimah yang diperistri oleh Kiai Said. Kiai Said sendiri adalah murid yang kemudian juga diambil menantu oleh Kiai Shihah.
Jadi nenek Kiai Wahab Chasbullah, Fathimah, dengan nenek Kiai Hasyim Asy`ari, Layyinah, adalah saudara kandung.[]