tebuireng.co – Kiai Sahal Mahfudh adalah tokoh agama Islam yang memiliki pemikiran yang luas dan relevan dengan keadaan saat ini. Sosok yang sederhana dan tidak gila jabatan.
Jelang bulan Ramadhan, Kiai Sahal dan kakaknya Gus Hasyim terbiasa menghabiskan liburan di rumah kakak perempuannya, Nyai Muzayyanah, istri Kiai Mansyur Lasem.
Di Lasem, ia juga menyempatkan diri menimba ilmu dari Kiai Mansyur. Lasem menjadi salah satu tempat yang istimewa di hati Gus Sahal. Dari kota kecil inilah, ia menemukan inspirasi kemana akan melanjutkan belajarnya setelah menimba ilmu dari Kajen, kampung halamannya.
Ia mencari informasi kepada sejumlah santri yang nyantri di Lasem, “Adakah kalian tahu kiai paling sepuh, sehingga aku bisa bertabarruk dengannya?” Akhirnya Kiai Sahal menemukan pondok yang diinginkan, Pesantren Beno, Pare, Kediri.
Di Bendo, ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dengan kiai sepuh, Kiai Muhajir. Kiai yang sangat tawadhu’. Sikap tawadhu’ Kiai Muhajir tercermin kuat dalam keseharian santri Pondok Bendo.
Kehidupan di pondok tersebut penuh dengan kesederhanaan. Suasana di pondok saat itu masih terkesan tradisional sekali.
Ada kepercayaan kuat di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) untuk tidak mengakses informasi dari media massa yang saat itu didominasi oleh surat kabar. Koran atau surat kabar dianggap sebagai kebudayaan milik penjajah yang tabu untuk diikuti dan dianggap bertentangan dengan Islam.
Sikap ini memang lahir dari pilihan NU untuk menolak segala bentuk kerjasama dengan Penjajah Belanda sebelum masa kemerdekaan. Maka santri pun tak ada yang berani membaca selain kitab-kitab yang diajarkan di lingkungan pesantren.
Sehingga para santri buta informasi akan perkembangan dunia luar. Bagi Kiai Sahal, situasi ini jelas tidak sehat. Menurutnya, seorang santri juga perlu melek informasi agar tak mudah diombang ambing zaman.
Lalu Kiai Sahal muda pun berinisiatif untuk memasukkan koran ke pesantren. Pada mulanya, ia merasa malu, karena tentunya lingkungan akan menolak hal ini. Sehingga ketika membaca koran atau majalah, ia harus menutupi dengan sampul kitab.
Namun, rahasia itu tidak berlangsung lama. Ada beberapa santri yang mengetahui kebiasaan tersebut. Dan akhirnya peristiwa ini dilaporkan ke pengasuh. Mendapat pengaduan dari seorang santri, lalu Kiai Sahal muda pun dipanggil sang Kiai.” Jadi benar kamu berlangganan koran Gus? Untuk apa?” tanya Kiai.” Agar tahu berita dan yang terjadi di luar sana, kiai, seperti tentang dunia politik dan lain lain.” jawab Kiai Sahal lugas. Saat itu ia masih dipanggil gus.
Seketika pak Kiai pun menjawab, ” Bagus itu. Kalau gitu, jika ada waktu luang, sempatkan membaca koran untukku ya!” ujar kiai. Santri senior pun terdiam mendengar jawaban kiainya.
Keyakinan Kiai Sahal akan pentingnya para santri mengetahui informasi dari luar lewat surat kabar terbukti pada saat pergolakan PKI tahun 1957.
Para santri mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di negara tercinta Indonesia, melalui surat kabar. Maka para santri pun saling bahu membahu ikut membantu melawan pemberontakan yang dilakukan PKI di sekitar pesantren. Selain itu, beberapa kali para santri juga berhasil membubarkan paksa rapat anggota PKI.
Itulah beberapa pandangan luas Kiai Sahal muda terkait dengan kepeduliannya terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan sekitar. Karakter ini selalu dimiliki oleh Kiai Sahal dalam segala hal.
Salah satunya adalah ketika menciptakan visi misi lembaga pendidikan Pesantren Mathali’ul Falah Kajen Margoyoso Pati, yakni mempersiapkan generasi yang salih dan akram.
Pemilihan kata “mempersiapkan” bukan mencetak atau menciptakan ini pun memiliki alasan tertentu. Sebab kata menciptakan atau mencetak seakan manusia itu sendiri yang menjamin dan memastikan apa yang terjadi di kemudian hari dan menihilkan Kemahakuasaan Allah.
Akibatnya, lembaga pendidikan cenderung terjebak pada ketakaburan. Apa jadinya pendidikan yang didasari atas kesombongan para penyelenggara pendidikan?
Dalam hal ini, salih diartikan sebagai proses membangun kepribadian dan peradaban. Diharapkan sikap ini mendorong santri berdaya guna dalam kancah kehidupan dan interaksinya dengan sesama manusia.
Sedangkan kata akram, merupakan pencapaian tingkat kelebihan dan relevansi hubungan antara makhluk terhadap sang Khalik, untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat.
Sehingga Kiai Sahal memaknai bahwa santri perlu memiliki etika dan kecakapan. Sehingga ketakwaannya dijamin dan dalam hal duniawinya pun dicapai.

Intinya di Pesantren Mathali’ul Falah selain mengajarkan pelajaran keagamaan, juga mengajarkan pelajaran umum sebagai bekal kecakapan setelah usai belajar di Mathali’ul Falah.
Sehingga diharapkan lulusannya dapat memiliki keilmuan ketika mau memperdalam ilmu agama atau mau meneruskan pendidikan di perguruan tinggi maupun ketika memutuskan untuk berkhidmah kepada masyarakat.
Demikianlah dasar pemikiran Kiai Sahal Mahfudh dalam menetapkan visi lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Nilai besar yang diajarkan pada santrinya adalah pentingnya kebermanfaatan manusia untuk manusia yang lain tanpa diiringi dengan kesombongan.
Karena pada dasarnya yang layak memiliki sifat tersebut hanyalah Allah. Oleh karenanya, khidmah adalah pesan yang selalu tertancap pada para santri-santrinya.
Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain? Sesuai dengan sabda nabi
خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani)
Pemaparan di atas hanyalah sekelumit cerita tentang kecemerlangan berpikir Kiai Sahal. Pikiran dan gagasan-gagasan brilian Kiai Sahal yang lain sangatlah banyak dan semua selalu mengedepankan kebermanfaatan pada umat.
Sebagai contoh adalah gagasan-gagasan fikih Kiai Sahal. Hal yang paling menarik dari pemikiran Kiai Sahal ini adalah pandangannya tentang fikih sebagai kumpulan pikiran ulama yang sesungguhnya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan.
Kiai Sahal menyebutnya “Fiqh sebagai Etika Sosial, bukan sebagai hukum negara”. Inilah pikiran brilian Kiai Sahal yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan akademis bergengsi Doktor, dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, meski tak memintanya.
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh Allahu yarham adalah satu di antara sosok ulama (alim) terkemuka Indonesia zaman ini yang menjadi pelopor terhadap fikih kontekstual di Indonesia.
Kiai Sahal akan sangat gelisah jika fikih harus mengalami kondisi stagnan atau tidak mampu mengatasi suatu masalah sosial, kebangsaan dan kemanusiaan. Sebab ini akan berarti bahwa agama menjadi tidak berfungsi solutif atas problematika hidup dan kehidupan manusia.
Inilah wujud bahwa Islam hadir sebagai Rahmatan lil’ Alamiin. Dengan kapasitas ilmunya yang sangat luas dan mendalam, Kiai Sahal Mahfudh mengajak orang lain untuk bergerak ke arah penyelesaian dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya.
Kiai Sahal Mahfudh tidak ingin Islam hanya semata-mata menjawab masalah sebagaimana yang tertuang dalam khazanah-khazanah yang dipercaya (mu’tabarah), tanpa mempertimbangkan relevansi dan efektifitasnya untuk ruang dan waktu kini dan di sini.
Begitulah Kiai Sahal Mahfudh, sosok cerdas, alim dan tawadhu’ yang pantas kita teladani. Telah lama umat Islam kehilangan sosoknya. Saking tawadhu’nya Kiai Sahal, sampai wafatnya pun tak berkenan dihadiri oleh banyak kalangan.
Hanya santri-santri dan rekan terdekat yang dapat mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Karena saat itu terjadi banjir besar yang menyebabkan semua akses ke Kajen menjadi terputus.
Demikianlah lelaku kekasih Allah Kiai Sahal Mahfudh. Semoga kita dimampukan oleh-Nya untuk dapat meneladani kearifannya. Sehingga kelak kita dapat diakui sebagai santrinya.
Rindu itu dari kami para santri yang senantiasa membutuhkan bimbingan, uluran tangan dan dekapan kebijaksanaan para pendidik jiwa kami. Katur Kiai Sahal Mahfudh dan semua guru kita lahum Alfatihah…..
Cebolek, 11 Agustus 2021Diambil dari berbagai sumber.