Beliau adalah Kiai Muhammad Ma’shum bin Ali Bin Abdul Jabbar al-Maskumambangi, lebih terkenal dengan panggilan Kiai Ma’shum Ali, Beliau tergolong sebagai barisan santri kinansih Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.
Kiai Ma’shum Ali dikenal khalayak sebagai guru besar ilmu nahwu dan shorof. Karya monumentaalnya yang bernama Amtsilah At-Tashrifiyah dikaji hingga kini di berbagai pesantren yang ada di Indonesia.
Kiai Ma’shum Ali merupakan salah satu santri Tebuireng yang menonjol di era awal. Selain pernah mendapatkan kepercayaan Pengasuh dan pendiri Pesantren Tebuireng KH M HAsyim Asy’ari untuk menjadi kepala Madrasah Aliyah, ia juga diambil menantu dengan dinikahkan dengan Nyai Choiriyah Hasyim. Kiai Ma’shum wafat pada tanggal 8 Januari 1933. Tempat peristirahatan terakhirnya sangat istimewa, di makam keluarga Pesantren Tebuireng.
Sejak kecil Kiai Ma’shum mendalami ilmu keislaman dibawah bimbingan orangtuanya di daerah Maskumambang, Gresik. Setelah tumbuh besar, atas restu orangtuannya ia dikirim belajar ke Pesantren Tebuireng. Saat itu, Kiai Ma’shum belajar langsung kepada Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Tentu saja, Kiai Ma’shum banyak mengetahui sepak terjang gurunya dari aspek mengajari santri dan mengelola pesantren maupun saat masa berjuang mengusir penjajah di bumi Indonesia.
Selama belajar di Pesantren Tebuireng, Kiai Ma’shum dikenal sebagai seorang santri yang tekun, cerdas, dan akhlaknya terpuji. Setelah sekian tahun belajar kepada Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, kecerdasannya mulai tampak dan dapat lulus dengan mulus. Bahkan, begitu lulus langsung mengajar para santri Tebuireng. Ilmu-ilmu yang sangat ditekuni saat belajar kepada Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari yaitu ilmu Nahwu dan Shorof, Falak, Hisab, dan lainnya.
Dalam bab kecintaan ilmu Nahwu dan Shorof juga mengingatkan kita akan sosok Kiai Chudori, pendiri Pesantren Api Tegalrejo yang banyak belajar Ilmu Nahwu dan Shorof kepada Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Keilmuan Hadratussyaikh memang luar biasa, banyak ilmu yang dikuasainya. Meskipun demikian, Kiai Hasyim lebih popular dengan ahli hadisnya. Wajar, jika saat itu banyak para kiai dan santri yang saat itu sudah melintang buana ke sejumlah pesantren akhirnya berburu sanad di Tebuireng.
Kiai Ma’shum memang pakarnya ilmu Nahwu-Shorof, dan Falak. Bila sudah bicara ilmu tersebut, ia terlihat sangat mahir sekali. Ilmu Nahwu dan Shorof menjadi penjembatan bagi santri pemula dalam membaca dan memahami kitab kuning. Hadratussyaikh saat itu tentu saja mengetahui santri-santrinya yang menonjol secara keilmuan, wajar jika Kiai Ma’shum mendapat perhatian khusus dari Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Hal ini pula yang mendorong Kiai Ma’shum kemudian dinikahkan dengan Nyai Choiriyah Hasyim.
Setelah menikah, Kiai Ma’shum diberi titah untuk membangun pesantren di desa sebelah Tebuireng. tepatnya di Dusun Seblak. Kiai Ma’shum dan Nyai Choriyah kemudian membangun peradaban. Tak berapa lama pesantrennya pun dikenal luas. Banyak santri yang tertarik belajar di pesantren yang didirikannya bersama Nyai Choiriyah ini. Meski sudah menjadi kiai dan mengasuh pesantren sendiri, Kiai Ma’shum masih aktif dalam banyak kegiatan di Pesantren Tebuireng. Sosok Kiai Ma’shum dengan tulus dan ikhlas membantu mertuanya mengajar para santri Tebuireng dan lainnya.
Sebagai santri dan menantu Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, Kiai Ma’shum mampu menunjukan dirinya sebagai ulama yang hebat seperti gurunya. Meski sudah menjadi kiai ternama, ia juga dikenal sebagai kiai yang sederhana, tidak menunjukan kebesarannya. Juga bersahabat dengan orang di bawahnya. Kiai Ma’shum yang sangat alim ini, memiliki sejumlah karya monumental, yakni; Amtsilah At-Tashrifiyah, Fathl Al Qadir, Al Durus Al Falakiyah, Badhi’ah Al Mistal.
Khusus kitab Amtsilah At-Tashrifiyah ini semua santri di manapun pesantrennya kebanyakan dipastikan mengenalnya. Bekal untuk memahami kitab kuning ini menjadi pelajaran wajib bagi para santri pemula. Bahkan, hingga kini pun karya Kiai Ma’shum terus dikaji para santri.
Suka Jajan Buku
Setiap bepergian, Kiai Ma’shum suka sekali jajan (beli) buku. Misalnya, saat pergi ke tanah suci untuk beribadah haji, ia tak lupa membeli buku cukup banyak. Sepulangnya dari tanah suci, Mekkah tahun 1913 M/1332 H, Kiai Ma’shum juga tak lupa memberikan hadiah buku untuk mertuanya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Buku tersebut berjudul, Al Jawahir Al Lawami. Mertuanya juga pernah diberi kitab Al Syifa. Sebuah kitab yang disukai oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.
Saya menyakini, Kiai Ma’shum pastinya memiliki perpustakaan pribadi yang memiliki banyak koleksi buku/kitab dalam berbagai tema. Alasannya sederhana, Kiai Ma’shum sebagai penulis tentu saja butuh banyak membaca. Agar punya refrensi dari berbagai latar belakang pemikiran ulama. Lebih-lebih terhadap kepakarannya di bidang Ilmu Nahwu dan Shorof, tentunya banyak buku penting yang dimilikinya.
Dalam hal ini mengingatkan dawuh Hadratussyaikh, dalam bukunya Adaabu Ta’lim Wal Mutaalim, “Seorang pelajar hendaknya sebisa mungkin untuk mempunyai buku pelajaran yang dibutuhkan, baik dengan cara membeli dan menyewa maupun meminjam. Buku pelajaran merupakan alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian bukan berarti dengan memiliki buku dan banyak referensi itu sebanding dengan kualitas pemahaman yang dicapainya”.
Saya menduga motivasi Kiai Maksum memiliki banyak buku bacaan mengikuti jejak KH M Hasyim Asy’ari selaku gurunya. Kegemarannya dalam membaca dan menulis buku menjadikan Kiai Maksum mampu meneladani dengan baik teladan yang dicontohkan gurunya. Bahkan, namanya menjadi abadi dalam karya-karyanya.
Belajar Berbeda Pendapat
Para ulama terdahulu memberikan contoh yang sangat baik kepada kita semua dalam sikap, utamanya dalam menyikapi perbedaan pendapat. Beda pendapat merupakan hal yang biasa dikalangan para ulama. Bahkan, dari perbedaan pendapat dikalangan para ulama menjadi khazanah pengetahuan. Banyak hal yang menarik dan penting dalam melihat ulama berbeda pendapat mengenai kajian keilmuan tertentu bila kita lihat budi pakertinya sudah selayaknya menjadi contoh terbaik.
Sebagaimana kisah Kiai Ma’shum dengan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari guru sekaligus mertuanya. Guru dan muridnya itu berbeda pendapat mengenai penentuan awal Ramadhan. Dikisahkan, saat itu KH Hasyim menggunakan pedoman rukyah sedangkan Kiai Ma’shum sendiri berpedangan ilmu hisab. Akhirnya keluarga Seblak mengawali puasa lebih dahulu dari pada Tebuireng. Selanjutnya, perbedaan pendapat mengenai soal foto. Hingga sekarang ini, foto Kiai Ma’shum tak pernah ada. Konon, sebelum wafat, Kiai Ma’shum membakar foto satu-satunya yang ada semasa hidupnya.
Contoh lain perbedaan pendapat, kita juga bisa melihat kisah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dengan Kiai Faqih Maskumambang. Kisah Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri juga menarik. Keduanya juga merupakan santri-santri Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Selanjutnya perbedaan pendapat antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam menafsirkan pandangan politik KH Wahid Hasyim.
Pada 8 Januari 1933 M yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1351 H, Kiai Ma’shum wafat setelah sebelumnya terserang penyakit paru-paru. Meskipun sudah wafat, sosoknya terus dikenang melalui karyanya yang monumental, salah satunya buku Amtsilah At-Tashrifiyah. Semoga kita dapat meneladani sosok beliau dengan baik. Amin.
Ahmad Faozan, Anggota Tebuireng Iniatives