tebuireng.co – Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya terkenal di Indonesia, namanya harum hingga kancah international. Banyak kalangan international membedah pemikirannya.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asy’ari penggagas Pondok Pesantren Tebuireng –yang belakangan kata ‘pondok’ dihapus sehingga menjadi Pesantren Tebuireng memulai petualangan akademisnya di Mekkah Arab Saudi yang menjadi bekal jaringan internasionalnya di kemudian hari.
Di sana, Hasyim Asy’ari menempuh pendidikan di Madrasah Shaulatiyah dan mengenal banyak tokoh dari berbagai belahan dunia sekaligus pemikirannya tentang Islam.
Lambat laun Kiai Hasyim Asy’ari menunjukkan progresivitas perannya dalam studi pemikiran Islam terutama di bidang hadis.
Ia menguasai kitab-kitab induk hadis yang dikenal dengan sebutan ‘al-kutub as-sittah’ serta mendapat sanad yang valid dari beberapa guru yang terkoneksi hingga para mukharrij (penulis kitab kompilasi hadits).
Walau lebih masyhur sebagai ahli hadis, sebetulnya Kiai Hasyim Asy’ari ialah seorang polimatik atau al-‘allamah, seseorang yang pengetahuannya tidak terbatas di suatu bidang.
Pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air dan mulai membangun ‘imperium’-nya sendiri di Tebuireng, suatu lokasi strategis di dekat pabrik gula Cukir, di Jombang Jawa Timur.
Rupanya, keahlian dan keterampilan Hasyim Asy’ari tidak hanya pada nilai akademisnya, tetapi juga pada manajemen dan organisasi. Perlahan Pesantren Tebuireng berkembang dengan datangnya satu demi satu santri untuk menimba ilmu.
Gelar ‘Hadratussyaikh’ yang konon ia dapat dari Mekkah menyedot lebih banyak santri ke Tebuireng dengan lebih cepat. Ketokohannya rupanya sudah ia mulai sejak dari sana, sehingga bekal untuk membangun Tebuireng relatif lebih mudah.
Pada tahun 1971, Muhammad Asad Shahab seorang jurnalis sekaligus diplomat pendiri Arabian Press Board (APB) yang menyiarkan kemerdekaan Indonesia ke negara-negara Liga Arab, menuliskan sebuah buku tentang biografi kepahlawanan Kiai Hasyim Asy’ari.
Dalam buku itu, diceritakan kunjungan Karl Von Smith, seorang insinyur yang datang ke Surabaya atas tugas dari sebuah perusahaan di negara Belanda.
Karl Von Smith memberikan testimoni tentang Kiai Hasyim Asy’ari yang pandai menerangkan hal-hal yang sulit dipahami.
Hasyim Asy’ari juga memberikan kesempatan kepada Karl Von Smith untuk memilih keyakinan setelah diberi tahu tentang Islam. Karl Von Smith pun akhirnya masuk Islam tanpa paksaan. Setelah kembali ke Jerman, Karl Von Smith menjadi dai yang menyebarkan ajaran Islam di Negeri Hitler itu.
Pada tahun 1981, VS Naipaul seorang pemenang hadiah nobel merilis buku berjudul Among the Believers: An Islamic Journey yang mencatat enam bulan perjalanannya menelusuri Islam di berbagai negara muslim Asia, termasuk Indonesia.
Naipaul mendaratkan penelitiannya di pesantren sebagai lembaga yang mencerminkan beragam aspek Islam Indonesia: intelektual, agama, sosial-budaya, dan lain-lain.
Rupanya, pesantren yang sempat dikunjunginya ialah Pesantren Pabelan di Muntilan dan Pesantren Tebuireng di Jombang. Di Tebuireng, ia menemui Gus Dur.
Pada tahun 1984, Russ Dilt seorang konsultan dari Amerika yang masuk Islam memberikan ceramah di depan peserta kelompok dinamik santri di Tebuireng.
Sekitar satu tahun sebelumnya, seorang peneliti pendidikan Islam dari Jerman Manfred Ziemek ikut andil dalam sebuah Lokakarya di Pesantren Tebuireng. Ziemek telah menulis tentang yang diterbitkan di Frankfurt, Jerman Barat.
Majalah Tebuireng edisi perdana (April 1986) mencatat kunjungan seorang peneiliti dari Afrika. Tampak sebuah foto monokrom seorang dengan pakaian serba putih berdiri dikelilingi para santri yang duduk, dengan di bawah foto itu terdapat deskripsi “Berkat perjuangan Hadratusy Syeh, menjadikan Tebuireng menarik bagi banyak peneliti dari dalam dan luar negeri. Utsman dari Nigeria kandidat doktor sedang menyusun disertasinya tentang KH. A. Wahid Hasyim.”
Pada tahun 2010, Wakil Perdana Menteri Malaysia periode 1993-1998 H Anwar Ibrahim mengunjungi pusara Gus Dur. Anwar mengenang Gus Dur sebagai seorang tokoh pemersatu antarumat beragama.
Ia juga bercerita bahwa setiap kali Gus Dur datang ke Malaysia selalu membuka ruang dialog untuk membahas peningkatan kerukunan beragama.
Pada tahun 2012, kedatangan Muhammad Ali ash-Shobuni disambut hangat oleh Kiai Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng kala itu.
Ash-Shobuni merupakan cendekiawan tafsir Al-Quran yang karyanya telah mendunia. Ia pernah ditetapkan sebagai Tokoh Muslim Dunia 2007 oleh DIQA (Dubai International Qur’an Award). Ash-Shobuni sempat menyampaikan petuahnya melalui khutbah Jumat di mimbar masjid Tebuireng.
Pada tahun 2019, Mursyid Tarekat Syadziliyah dari Suriah, Syaikh Abdul Hadi Al-Khorsah berkesempatan menghirup udara segar di Pesantren Tebuireng.
Saat diberi waktu untuk berbicara, ia berstatemen bahwa dirinya sangat tertarik mengenal pesantren di Indonesia. Ia juga sempat mengisi kuliah umum di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.
Selain itu, banyak sekali orang dari luar negeri yang pernah datang ke Tebuireng, termasuk pastor lintas dunia pada tahun 2017. Di antara mereka ada yang melakukan penelitian akademik, studi banding, maupun membuat kesepakatan kerja sama.
“Buku tamu” internasional Tebuireng mungkin sudah lengkap daftarnya berisi negara-negara di seluruh dunia. Maka, tidak heran jika Zamakhsyari Dhofier menyebut Tebuireng sebagai salah satu dari pesantren paling berpengaruh di Jawa pada abad ke-20.
Tebuireng akan terus menerus mendapati kunjungan dari insan antarbangsa untuk mengenali dan menggali lebih dalam tentang Islam maupun pesantren.
Internasionalitas Tebuireng bergantung dan sangat dipengaruhi oleh ketokohan pengasuhnya -terutama Kiai Hasyim Asy’ari sebagaimana karakteristik masyarakat paternalistik.
Namun, setelah melewati masa-masa bersejarah, ketergantungan itu menurun sehingga siapapun pengasuhnya, Tebuireng telah mendapat tempat yang settled di kancah internasional.
Oleh: Hilmi Abedillah, santri Pesantren Tebuireng