tebuireng.co – Kiai As’ad Syamsul Arifin, seorang kiai yang diamanati untuk menjadi mediator berdirinya Nahdaltul Ulama (NU) adalah seorang santri kelana. Dibesarkan dalam didikan Kiai Hasyim Asy’ari, sosok Kiai As’ad menjadi macan dalam bidang fikih.
Ia berguru ke berbagai tokoh dari berbagai tempat, baik di Indonesia hingga Makkah, Arab Saudi.
Di Makkah, tercatat ia pernah berguru kepada salah satunya, Syaikh Muhammad Hasan al-Massyath, Sayyid Muhammad Amin Kutbi dan lain sebagainya.
Sementara di Indonesia, ia berguru ke banyak kiai di berbagai pesantren, di antaranya adalah Pesantren Buduran Sidoarjo, Pesantren Kiai Kholil dan Pesantren Tebuireng yang diasuh Kiai Hasyim Asya’ri.
Kiai Kholil dan Kiai Hasyim adalah dua guru yang sangat mempengaruhi diri Kiai As’ad. Itu sebagaimana penuturan Kiai As’ad sendiri yang sudah sangat masyhur dalam beberapa biografinya.
Kepada Kiai Kholil, kenang Kiai As’ad, ia belajar ilmu wirid. Adapun kepada Kiai Hasyim ia belajar masalah perjuangan. Maka tidak heran, keduanya belakangan mendapat gelar Pahlawan Nasional. Sebab keduanya memang tipikal “kiai pejuang”.
Perjumpaan Kiai As’ad dengan Kiai Hasyim sebenarnya telah terjadi sebelum keduanya menjadi guru dan murid.
Jauh sebelum itu, Kiai As’ad sudah pernah bertemu dengan Kiai Hasyim pada momen ketika Kiai As’ad diminta menyampaikan “isyarat langit” dari Kiai Kholil Bangkalan sebagai restunya pada Kiai Hasyim untuk mendirikan NU.
Isyarat langit itu berupa; Pertama, ketika Kiai As’ad diminta oleh Kiai Kholil untuk mengantarkan tongkat beserta ayat dalam surat Thoha 17-23.
Kedua, adalah tasbih sembari dengan bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar”. Untuk mengantarakan isyarat itu, Kiai As’ad yang ditunjuk oleh Kiai Kholil.
Setelah perjumpaan itu, keduanya makin intens bertemu terutama tatkala Kiai As’ad mondok di Tebuireng.
Selama di Tebuireng inilah Kiai As’ad belajar kepada Kiai Hasyim bukan hanya ilmu hadis yang memang ciri khas Kiai Hasyim tetapi, juga belajar tentang “ilmu” perjuangan dan pengabdian untuk agama, nusa dan bangsa.
Selama belajar kepada Kiai Hasyim, Kiai As’ad tipikal sosok yang amat patuh dan teguh atas perintah gurunya.
Untuk membuktikan tesis ini, setidaknya ada dua contoh yang bisa dikemukakan. Pertama, ketika Kiai Hasyim membangun sekolah dan asrama di Pesantren Tebuireng, tapi tidak selesai karena satu dan dua alasan.
Kemudian penyelesaian gedung itu dipasrahkan kepada As’ad muda. Menerima amanah ini, ia kaget bukan main.
Bagaimana bisa menyelesaikan bangunan ini? Dari mana uangnya? Singkat cerita, akhirnya As’ad muda bisa menyelesaikan amanah ini.
Kedua, sebelum Kiai As’ad pamit pulang dari Tebuireng, Kiai Hasyim berpesan agar kelak ia memperbanyak mencetak kader ahli fikih (fukaha). Amanah kedua inilah yang cukup mengahbiskan tenaga dan fikiran Kiai As’ad.
Ia merasa kesulitan untuk melaksanakan amanat yang kedua ini sebab banyak pertimbangan, salah satunya siapa yang akan menjadi tenaga pengajar?
Iya kalau dulu ada Kiai Dhofir Munawwar, ujarnya suatu ketika. Kiai Dhofir adalah salah seorang menantu Kiai As’ad yang terkenal sangat alim.
Maha santri putri Mahad Aly Situbondo (Ist)
Mendirikan Ma’had Aly Situbondo
Seiring dengan berjalannya waktu, amanat Kiai Hasyim untuk mencetak kader fikih tampak semakin perlu diwujudkan. Sebab ulama-ulama dan Rais Syuriah NU banyak yang pergi (baca: wafat).
Setelah proses yang amat melelahkan dan mendapat rekomendasi tiga ulama sunni di Makkah yaitu, Sayyid Muhammad Al-Maliki, Syaikh Ismail Al-Yamani dan Syaikh Yasin Al-Fadani, Kiai As’ad mendirikan Ma’had Aly sebagai ikhtiar untuk mewujudkan amanat gurunya.
Maka, setelah berbagai kebutuhan cukup terpenuhi, tepatnya suatu hari pada bulan agustus 1990 M, Kiai As’ad tak seperti biasanya. Ia tampak berseri-seri, sesekali kedua matanya berkaca, tampak terharu diliputi rasa bahagia.
Peristiwa di atas yang oleh Kiai Afifuddin Muhajir, – sebagai salah satu kiai yang ditunjuk oleh Kiai As’ad sebagai tim pendirian Ma’had Aly – disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Pendirian Ma’had Aly Situbondo dengan takhassus fikih dan usul fikih tak lebih dari perwujudan kecintaan seorang murid kepada gurunya, yakni Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari yang berpesan agar Kiai As’ad mencetak kader ahli fikih (fukaha).
Di samping alasan lain, bahwa fikih adalah ilmu yang cukup komprehensif dan paripurna (syamil dan kamil) dibandingkan ilmu-ilmu keislaman yang lain.
Karena untuk mendalami ilmu fikih membutuhkan aspek-aspek aqliyah dan naqliyah, memadukan akal dan wahyu. Al-Ghazali dalam Al-Musytasfa Min Ilm Al-Ushul memberi klasifikasi bahwa ilmu dibagi menjadi tiga.
Pertama, ilmu-ilmu yang bersifat naqli murni (naqli mahdh) seperti tafsir dan hadis, kedua, ilmu yang bersifat aqli murni (aqli mahdh) seperti matematika dan geometri, ketiga ilmu yang bersifat naqli dan aqli sekaligus, yaitu fikih dan usul fikih.
Fikih merupakan perwajahan Islam yang paling konkrit dibanding dua wajah Islam yang lain, yaitu akidah dan akhlak karena fikih menyangkut hukum-hukum praktis (amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku manusia mukallaf, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dalam berinteraksi dengan sesama umat manusia itu sendiri.
Abdul Wahhab Khallaf, dalam bukunya, Ilm Ushul Fiqh menuturkan, semua ulama sepakat bahwa setiap hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuatan, baik bernuasa ibadah-ritual, muamalah-sosial, pidana (jaraim), perdata (ahwal syakhsiyah) atau seluruh aspek dalam kehidupan manusia memiliki ketentuan hukum dalam syariat Islam.
Ada seorang penyair berkata:
تفقه فان الفقه افضل قائد الى البر والتقوى واعدل قاصد
هو العلم الهادي الى سنن الهدى
هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فان فقيها واحدا متورعا اشد على الشيطان من الف عابد
“Belajarlah fikih, engkau wahai manusia! Karena ia adalah sebaik-sebaik tuntunan untuk kebaikan dan ketakwaan dan paling lurusnya sebuah tujuan.
Fikih adalah ilmu yang menjadi petunjuk menuju kebenaran
Fikih juga sebagai benteng yang kuat yang melindungi dari kerisauan yang sangat.
Karena satu orang ahli fikih lagi wara (yang berhati) lebih menyusahkan kepada setan dari pada seribu orang ahli ibadah”.
Maka berdirinya Ma’had Aly adalah peran Kiai As’ad sebagai inisiator yang sumber inspirasinya adalah berasal dari guru besarnya, Kiai Hasyim Asy’ari.
Selang beberapa tahun kemudian model sekolah dan pengajaran di Ma’had Aly ini diadopsi oleh pemerintah melalui Kementrian Agama, yang meresmikan Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan formal.
Kalau bukan karena gigihnya seorang murid mewujudkan amanat gurunya, lembaga yang kemudian dilirik pemerintah ini tidak akan pernah ada.
Kiai Hasyim Asy’ari jauh meneropong masa depan. Baginya, kelak kebutuhan kepada ulama makin mendesak.
Melakukan kaderisasi ulama fikih adalah salah satu win-win solutin. Melaui Kiai As’ad, salah seorang santri kinasihnya, Kiai Hasyim Asy’ari “menitipkan” ide cemerlang itu.
Alumni Ma’had Aly Situbondo. Mengajar di Ma’had Aly Nurul Jadid, Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.