tebuireng.co – Khittah NU atau Nahdlatul Ulama selalu jadi perdebatan panjang saat dikaitan dengan politik praktis. Sebagai organisasi Islam terbesar, NU dilirik banyak orang.
Kepergian Kiai Sholahuddin Wahid atau akrab disebut Gus Sholah, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang memang meinggalkan rasa sedih yang amat mendalam dalam sanubari siapapun.
Gus Sholah bisa disebut “nurani” NU di era hari-hari ini. semua orang takzim kepadanya bukan hanya ada “trah” darah biru yang mengalir dalam tubuhnya akan tetapi banyak orang kagum atas sikap dan pendirian saudara kandung Gus Dur itu.
Salah satu sikap (mauqif) Gus Sholah yang layak kita beri “catatan penting” adalah konsistensinya mengawal Khittah 1926 Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana diketahui bersama pada Muktamar ke XXVII di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, NU menegaskan bahwa organisasi ini kembali ke khittah setelah sebelumnya pernah “tercebur” ke politik praktis.
Khittah yang maknanya adalah garis maksudnya NU sejak itu kembali kepada sesuatu yang telah digariskan ketika ia pertama kali didirikan pada tahun 1926, yaitu sebagai organisasi sosial kemasyarakatan (jam’iyah diniyah ijtiima’iyah).
Secara sederhana fungsi dari khittah NU sebagaimana ditulis oleh Kiai Muchit Muazadi adalah sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Landasan tersebut adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar keagamaan dan kemasyarakatan.
Khittah adalah kata dalam bahasa arab yang artinya adalah garis-garis maknanya garis bertindak dan berfikir yang telah ditetapkan oleh para pendiri Nahdlatul Ulama.
Jadi khittah NU tujuan utamanya adalah menjaga langkah organisasi agar tetap seperti garis yang didirikan oleh para pendiri.
Gerakan khittah menurut Kiai Ahmad Shiddiq menjadi penting sebab pertama, semakin jauhnya jarak waktu antara generasi pendiri dengan generasi penerus.
Kedua, semakin banyaknya medan perjuangan dengan beragamnya bidang yang harus ditangani.
Ketiga, semakin banyaknya jumlah dan ragam perorangan maupun kelompok dengan latar pendidikan, suku dan budaya yang menggabungkan diri dengan Nahdlatul Ulama.
Keempat, semakin berkurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dalam pimpinan Nahdlatul ulama.
Memang, dalam tubuh NU selalu ditemukan dinamika organisasi. Bukan hanya era Gus Sholah era jauh sebelum itu juga pernah ada. Sekadar menyebut contoh, dahulu NU pernah mengalami pecah kongsi. Tidak tanggung-tanggung hal tersebut dimotori langsung oleh para pembesar NU.
Di Situbondo, Kiai As’ad Syamsul Arifin, seorang kiai kharismatik yang menjadi mediator berdirinya NU bersama kiai-kiai sepuh lainnya seperti Kiai Mahrus Aly, Kiai Masykur, Kiai Ali Maksum dan kiai-kiai sepuh lainnya menggawangi NU kubu Situbondo.
Sementara itu, di seberang sana kubu Cipete dengan motor utama Kiai Idham Khalid dan beberapa tokoh muda NU.
Polemik itu berjalan hingga meruncing sangat tajam dan akhirnya bisa diselesaikan dalam forum musyawarah nasional dan Muktamar ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo yang menghasilkan keputusan bahwa NU kembali ke Khittah NU 1926.
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Afifuddin Muhajir pernah menyampaikan bahwa di NU itu selalu ditemukan polemik.
Akan tetapi polemik dan masalah itu pasti bisa diselesaikan dalam forum Munas ataupun Muktamar NU.
Nah, era Gus Sholah polemik dalam tubuh NU justru makin tampak ke permukaan pasca Muktamar di Jombang.
Sebagaimana sudah maklum Muktamar pada waktu “tidak berjalan” dengan baik. Bahkan Gus Mus, salah seorang kiai sepuh yang menggantikan sementara Rais Aam, PBNU Kiai Sahal Mahfudh perlu menangis dalam forum.
Pecah tangis Gus Mus kiranya sudah cukup menjadi bukti Muktamar banyak catatan. Setelah Muktamar pelomik makin memanas. Beberapa pengurus wilayah meminta Gus Sholah mendirikan NU tandingan. Namun, bagaimana respons cucu Pendiri NU itu?
Gus Sholah menolak dengan tegas. Padahal secara kalkulasi jika ia berkenan dan kemudian mendirikan pengurus NU tandingan ia bisa saja mendulang suara banyak. Lebih-lebih Tebuireng, Pesantren yang ia asuh pada waktu itu menjadi salah satu tuan rumah acara.
Bukan hanya itu, kesaksian Kiai Afifuddin Muhajir, salah seorang kiai yang sejak Muktamar dekat dengan Gus Sholah mengisahkan bahwa ketika beberapa pengurus wilayah meminta Gus Sholah membuat pengurus NU tandingan, ia menjawab:
“Saya takut sama Mbah (Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari)”.
Artinya, Gus Sholah dalam bersikap memiliki pertimbangan yang sangat matang. Jawaban yang cukup magis tersebut bisa menjadi tanda ketulusan Gus Sholah dalam berjuang untuk NU.
Jikapun ia ingin kedudukan, pangkat dan jabatan, harusnya permintaan beberapa pengurus wilayah itu diterima.
Tetapi tidak. Ia khawatir jika itu dituruti justru akan mendatangkan mafsadat dan kerusakan yang makin besar. Dan ujung-ujungnya membuat nama baik NU tidak baik. Keluar dari itu, Gus Sholah malah memiliih perjuangan lewat gerakan kultural. Ini yang saya sebut dengan integritas gerakan kultural Gus Sholah.
Ketika menutup kesaksiannya tentang Gus Sholah, Kiai Afif menyebut, “Gus Sholah adalah satu dari dua kiai yang tulus memperjuangkan khittah NU”.
Jauh-jauh hari, komitmen Gus Sholah terhadap khittah NU bukan hanya sekadar ucapan tetapi juga tindakan.
Semangat gerakan Gus Sholah bukan ekspresi yang prematur yang lahir dari semangat kemarin sore.
Ketika ia diminta maju untuk mendampingi Jendral Wiranto sebagai Calon Wakil Presiden, ia secara terbuka mengundurkan diri sebagai salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Gus Sholah sadar bahwa semenjak menegaskan diri pada khittah 26 di Muktamar Situbondo, NU bukan organisasi politik.
Jikapun berpolitik maka yang dipilih NU harusnya poliitik kebangsaan atau yang dalam bahasa Kiai Sahal, Siyasah aliyah/hight politic politik tingkat tinggi.
Posisinya sebagai pengurus mau tidak mau pasti akan menyeret NU dalam politik praktis jika ia tak mengundurkan diri ketika pencalonan.
Gus Sholah sebagai keturunan pendiri NU dihormati dan disegani bukan hanya karena ia memiliki “darah biru” tetapi karena sikap dan integritasnya.
Gus Sholah adalah pejuang Khittah NU yang tulus, ia menjadikan Khittah bukan hanya sebagai sekadar ucapan tetapi juga sebagai tindakan.
Ahmad Husain Fahasbu (Alumni Ma’had Aly Situbondo)