tebuireng.co – KH Salahuddin Wahid memiliki cara kepemimpinan tersendiri, berbeda dengan umumnya pengasuh pesantren lainnya. Gaya kepemimpinan pesantren memang berbeda-beda, tergantung siapa yang memimpin, siapa dan apa yang dipimpin ataukah dalam kondisi apa memimpin. Tipe-tipe kepemimpinan itu, tentu masing-masing punya output dan input yang berbeda-beda.
KH Salahuddin Wahid memimpin Tebuireng sejak 2006-2020. Banyak capaian yang dilakukan oleh Gus Sholah ketika mengasuh Pesantren Tebuireng. Mulai dari penataan fisik, revitalisasi pendidikan, mendirikan unit-unit baru yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta adanya pesantren cabang yang sampai ia mengasuh sudah mencapai 15 cabang.
Dalam buku “Kepemimpinan Humility KH Salahuddin Wahid, Gus Sholah“, Samsul Arifin mengungkapkan faktor sikap dan akhlaknya yang mempengaruhi, terutama unsur humilitas dalam mengambil keputusan.
Barangkali masih asing telinga kita mendengar istilah humility. Humility berasal dari Humus istilah yang berasal dari Bahasa Latin, yang berarti bumi di bawah kita. Dalam Bahasa Indonesia ia diartikan menjadi “rendah hati” (hal. 15).
Sikap rendah hati memungkinkan seseorang merasa bahwa dirinya harus mengorbankan diri dan merasa masih jauh dari laik serta memiliki kelemahan. Sikap rendah hati berbeda dengan rendah diri.
Rendah hati merasa bahwa dirinya masih banyak kekurangan, maka ia tidak merasa sombong, tawaduk dan tidak merendahkan orang lain, sedangkan rendah diri cenderung enggan menapaktilasi potensi alias minder, pesimis, merasa dirinya rendah dan hina, bahkan pada taraf enggan menyelami potensi.
Gus Sholah mengamalkan ajaran Islam. Bukan hanya membaca dan mempelajari. Dalam Islam, humilitas banyak disebutkan dan diatur. Misal dalam ayat 37 surat al-Isra’ dan surat Luqman ayat 18. Pada kedua ayat itu, Allah memberikan pesan agar setiap orang harus menjauhkan diri dari sikap sombong, sebaliknya bersikap tawaduk. Dan ialah yang disebut humalitas. (hal. 18-19)
Dikaitkan ke dalam kepemimpinan, tentu sikap ini sangat dibutuhkan. Pemimpin memerlukannya untuk mengekang kecenderungan menguasai dan mengendalikan segala yang ada di bawahnya. Seorang pemimpin yang humiliti tidak akan merasa bahwa dirinya absolut berada di atas.
Ia akan mempertahankan diri untuk tetap berada dalam posisi awal, sebagai pengayom bukan penguasa. Pemimpin humility mengadopsi sikap egaliter dari pada superioritas. (Hal. 23-24).
Setidaknya ada enam prinsip kepemimpinan humility. Pertama, tahu yang tidak tahu, artinya merasa dirinya tidak sempurna. Kedua, tidak takut gagal karena publisitas. Seorang yang memiliki sikap humility berani mengakui kesalahan. Ketiga, tidak meremehkan persaingan.
Keempat, merangkul dan mendorong semangat melayani. Kelima, mau mendengarkan ide dan gagasan bawahannya. Keenam, memiliki semangat tinggi dalam keingintahuan. (hal. 27-36).
Lalu, sisi mana Gus Sholah dianggap memiliki humility dalam mengasuh Pesantren Tebuireng?
Ada beberapa indikator sikap KH Salahuddin yang masuk dalam kategori rendah hati, dan sikap-sikap itu merupakan kiat sukses memimpin Pesantren Tebuireng.
Pertama, Gus Sholah terbuka kepada orang lain. Kawan Gus Sholah tidak hanya dari kalangan sepemikiran dan seafiliasi ormas saja. Ia dekat dengan tokoh nasionalis, Islam kanan, bahkan Islam kiri. Bahkan dalam mendirikan SMA Trensains di Tebuireng 2 di Ngoro Jombang, Gus Sholah bekerja sama dengan tokoh Muhammadiyah, Agus Purwanto.
Dalam membangun iklim kerja sama di Tebuireng, Gus Sholah juga tak segan menyerap aspirasi dari para ustadz, guru, pengurus yayasan, bahkan santri dan karyawan. Untuk memutuskan satu fatwa atas nama Tebuireng, Gus Sholah bahkan harus repot-repot memanggil para masyayikh, kiai, akademisi, pakar dan santri senior untuk membantu memecahkan solusi umat. (hal. 58)
Kedua, merenungkan diri. Ide dan gagasan Gus Sholah dilahirkan fase perenungan yang matang. Dalam memutuskan sesuatu, tidak didasari oleh nafsu dan serba cepat, karena mengandung hajat banyak orang. Gus Sholah juga merenungkan kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan yang masih ditemukan di dalam kepemimpinannya dan berusaha mencarikan solusi dan pembenahan. (hal. 59)
Ketiga, peduli dalam kebutuhan tim. Sebagai pemimpin, Gus Sholah merasa punya tanggung jawab terhadap bawahannya. Itulah timbul rasa peduli untuk mengayomi. Misalkan, saat dalam satu kebutuhan pengembangan kekurangan dana, Gus Sholah bahkan mau-maunya mengeluarkan uang pribadi untuk menambal kebutuhan itu, tak jarang uang itu diberikan untuk dibagikan kepada pihak yang bekerja.
Keempat, membiarkan orang lain mengerjakan tugasnya. Urusan harus diberikan kepada ahlinya. Maka pemimpin harus mau menurunkan egonya untuk memberikan tugas kepada yang bertanggung jawab.
Tak mau membebani petugas sebuah urusan, Gus Sholah membiarkan seseorang bekerja terlebih dahulu, baru nanti diadakan evaluasi dan perbaikan jika ada yang kurang. Tidak mengintervensi di tengah jalan, agar dapat berjalan sesuai rencana.
Kelima, membantu yang lain. Gus Sholah mendirikan Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng yang membantu masyarakat yang membutuhkan. Begitu pula santri yang tidak mampu bisa mendapatkan gratis biaya pendidikan atau keringanan. Lembaga itu juga membangun sarana dakwah dan pendidikan di daerah-daerah terpencil. (hal. 60).
Tambahan data, Gus Sholah juga mendirikan Rumah Sakit Hasyim Asy’ari yang nantinya fokus pada kesehatan masyarakat duafa. Rumah sakit ini masih dalam tahap pengembangan. Gus Sholah juga mendirikan Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) yang tentu membantu santri dan masyarakat umum berobat.
Keenam, menganggap Pesantren Tebuireng masih kecil. Inilah bagian yang paling humilitis. Gus Sholah sering berpesan agar insan Tebuireng tidak membangga-banggakan lembaganya, sampai out of data alias tidak sesuai fakta. Insan Tebuireng dimintanya untuk mengakui saja kalau memang masih banyak kekurangan, di atasnya masih banyak lembaga pesantren yang lebih besar.
Sikap ini membuatnya terus berinovasi, tidak mau berpuas diri terlalu cepat. Ia bahkan mau datang ke pesantren-pesantren, lembaga-lembaga pendidikan unggulan, dari daerah ke daerah. Sampai akhir hayatnya masih banyak gagasan-gagasan yang masih dalam planing untuk kemajuan Tebuireng dan pendidikan dan menjadi tugas pewarisnya yang meneruskan.
Tak pelak, teladannya adalah ayah dan kakeknya, KH. A. wahid Hasyim dan KH. M. Hasyim Asy’ari. Secara historis dan biologis menurunkan darah para humilis, secara sosiologis lahir dari masyarakat yang humilis terhadap kiai dan pesantren, juga secara kultural lahir dari rahim pesantren yang menjunjung humilitas.
DATA BUKU
Judul Buku: Kepemimpinan Humility KH Salahuddin Wahid, Gus Sholah
Penulis: Samsul Arifin.
Penerbit: Guepedia Jakarta
Tahun Terbit: 2021
Ketebalan: 84 halaman
Peresensi: M Abror Rosyidin