tebuireng.co – KH Hasyim Asyari dan detik-detik kewafatannya menarik dibahas kembali. Detik-detik wafatnya KH M Hasyim Asy’ari momentum paling menegangkan bagi masyarakat Indonesia. Khususnya kaum nahdliyin.
Hari ini, 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 H wafatnya Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, pemimpin besar umat Islam.
Dalam buku profil Pesantren Tebuireng, tertulis bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H (21 Juli 1947 M) pukul 21.00 WIB Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari selesai mengimami shalat Tarawih melakukan aktifitas rutinan.
Sebagaimana biasanya, KH Hasyim Asyari duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) sedari awal merupakan salah seorang tokoh ulama pesantren yang gigih menentang kolonialisme.
Ia selalu dijadikan rujukan dan nasihat dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain.
Termasuk konon dalam menentukan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 pada bulan Ramadlan. Namun, informasi tersebut memerlukan verifikasi lebih lanjut.
Tak lama kemudian datanglah tamu utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. KH Hasyim Asyari menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.
Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Soedirman yang berisi permohonan kepada KH Hasyim Asyari untuk berkenan mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda.
Sebab, jika tertangkap, Kiai Hasyim akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh (karena waktu itu Kiai Hasyim sebagai pemegang Komando Pergerakan Kemerdekaan.
Keesokan harinya KH Hasyim Asyarimemberikan jawaban bahwa ia tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan, karena baginya pantang mundur selangkah dalam menghadapi penjajah walaupun usianya sudah sepuh.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo.
Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadhratussyaikh Kiai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia seperti fatwa jihad dalam menghadapi sekutu di pertempuran 10 November Surabaya.
Tidak lama berselang, KH Hasyim Asyarimendapat laporan dari Kiai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda.
Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu Kiai Hasyim berujar, “Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya duduk di kursi, tapi hal ini ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa Kiai Hasyim sedang mengantuk.
Akhirnya, para tamu pun pamit keluar, tetapi Kiai Hasyim tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kiai Ghufron mendekat ke Kiai Hasyim serta meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat.
Tak lama kemudian Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim.
Wafatnya KH Hasyim Asyaritidak didampingi keluarga yang banyak. Kala itu putra-putri Kiai Hasyim sedang tidak berada di Tebuireng karena hampir semua putranya ikut bertempur di barisan terdepan di medan laga.
Namun, tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kiai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr Angka Nitisastro.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Allah berkehendak lain. Hadhratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari wafat tepat pada waktu sahur (pukul 03.00 WIB dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947.
Mendengar kabar itu, sontak saja para santri yang saat itu sedang mengaji geger bercampur duka yang mendalam. Guru yang sangat dicintainya itu telah pamit pulang ke haribaan Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.
Kabar kewafatan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren Tebuireng itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.
Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng.
Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusaranya di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang bersama pusara anak dan cucunya, termasuk KH Wahid Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
KH Hasyim Asyari wafat di tengah upaya keras mempertahankan dan merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah. Atas jasa-jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947).
Terutama yang berkaitan dengan fatwa Jihadnya yang sangat fenomenal dan monumental yakni “Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.”
Melihat hal tersebut, Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH M Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.
KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren (2013: 202) yang didapatkannya dari para ulama alumnus Tebuireng, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari-seperti kebanyakan ulama di Indonesia-termasuk golongan fuqaha.
Artinya orang yang sangat dalam penguasaannya tentang ilmu-ilmu keislaman. Di samping itu, masih menurut catatan Kiai Saifuddin Zuhri, KH Hasyim Asyari juga terkenal sebagai ulama ahli hadis.
Sudah menjadi wiridan (kebiasaaan rutin) tiap bulan Ramadhan, Hadratussyaikh membaca kitab hadits Al-Bukhari, kitab kuning berisi himpunan hadits Nabi Muhammad sebanyak 7.275 hadis.
Dan kini makam KH Hasyim Asyari beserta anak cucunya tak henti di ziarahi ribuan kaum muslim setiap hari dari seluruh penjuru negeri.
حصوصا الی حضرۃ الشيخ هاشيم اشعري..الفاتحۃ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ