tebuireng.co – Jombang memiliki tokoh pesantren bernama KH Abdul Fattah Hasyim. Meskipun sibuk mengajar, ia tetap memperhatikan kemandirian ekonomi. Kiai Fattah dikenal sebagai pendiri Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambkaberas Jombang.
KH Abdul Fattah Hasyim dilahirkan di Kapas Jombang tepatnya pada tahun 1911 M dari pasangan KH Hasyim Idris (Kapas Jombang) dan Ibu Nyai Hj Fathimah binti KH Hasbullah bin KH Abdus Salam (Tambakberas Jombang).
Nyai Fathimah adalah adik termuda dari seorang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama’ KH Abdul Wahab Hasbullah.
Setelah usianya mencapai dewasa ia melakukan perjalanan intlektual di beberapa pondok pesantren di Pulau Jawa. Ia juga belajar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Sekembalinya dari Pesantren Tebuireng pada tahun 1940, Kiai Fattah langsung mendapat amanat dari KH Hasyim Asyari untuk mengajar di Pesantren Denanyar.
[Tweet “Kiai Fattah Hasyim Tambakberas”]
Selang beberapa lama setelah ikut membantu mengajar (khidmah) di Pondok Pesantren Denanyar, Kiai Fattah diminta kembali ke Tambakberas, tanah kelahirannya. Disebabkan sang ayah KH Hasyim Idris dipanggil yang maha kuasa.
Di usianya yang ke 27, KH Abdul Fattah di jodohkan dengan seorang gadis bernama Musyarrofah, putri pengasuh Pondok Pesantren Denanyar KH Bisyri Sansuri Jombang.
Kiai Bisri merupakan suami dari Nyai Khodijah, yang merupakan kakak kandung Nyai Fathimah atau ibunya KH Abdul Fattah.
Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan keluarga terutama dalam hal ekonomi, berbagai usaha dan pekerjaan pernah ia jalani.
Kiai Fattah tidak mau menggantungkan ekonomi keluarganya dari gaji mengajar di madrasah dan pesantren. Tidak jarang Kiai Fattah menutupi pembayaran gaji para guru.
Oleh karenanya, Kiai Fattah memiliki pekerjaan sampingan yang menjaga ekonomi keluarga setelah mengajar.
Kiai Fattah pernah merintis bisnis penimbunan garam, berdagang tembakau, jual minyak goreng, membuka toko dan lain-lain. Akan tetapi dari usaha-usaha yang ia tekuni itu selalu mengalami kerugian.
Baca Juga: Kiai Wahab, Santri Tebuireng
Bahkan uang pinjaman yang rencanaya akan ia alokasikan untuk mengembangkan usaha raib di ambil oleh sekawanan pencuri, sehingga dalam perkembanganya untuk menyambung kebutuhan keluarganya, Kiai Fattah hanya mengandalkan penghasilan dari toko kecil dan sebidang tanah.
Lahan yang sempit itu dipelihara oleh salah seorang abdi ndalem dan salah seorang warga kampung Tambakberas. Kiai Abdul Fattah Hasyim menjadi patner diskusi KH Abdul Wahab Hasbullah.
Setali dengan Kiai Abdul Fattah, Kiai Wahab juga sangat memperhatikan kemandirian ekonomi. Dalam buku “KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik & Bernegara“, Kiai Wahab mengatakan untuk dapat mencukupi beberapa keperluan-keperluan dan menambah keuntungan bagi NU seumumnya, maka sebaiknyalah kalau NU ini berusaha ke jurusan perdagangan, yang berlindung di bawah panji-panji NU.
Untuk menjalankan cita-cita itu, sebenarnya HBNO (sekarang PBNU) telah memikirkan akan cara dan peraturannya, ikhtiar mana telah berbuah baik. Pun untuk keperluan perdagangan NU telah menyediakan uang (sekadar cukup untuk membeli barang-barang perdagangan).
Namun, berhubungan dengan tidak adanya kesanggupan dari cabang-cabang, maka HBNO menunda cita-cita itu.
Kesukaran-kesukaran tentang hal uang untuk mengunjungi kongres itu tidaklah dapat diukur dari besar kecilnya cabang NU masing-masing, sebab dari pengalaman-pengalaman dapatlah HBNO mengetahui bahwa diantara cabang yang kecil-kecil ada yang mengutus wakilnya ke kongres sampai 2-3 orang.
Sedangkan sebaliknya, cabang-cabang yang besar kadang-kadang hanya dapat mengutus 1 saja, bahkan ada yang tak dapat mengadakan utusan sama sekali.
Tentang orang dermawan adakalanya mereka itu hanya bersimpati kepada NU dan ada kalanya kepada ANO (Ansor) saja. Maka dari sebab itu kalau seandainya usaha tersebut (kongres) dikerjakan bersama-sama. Insya Allah pendapatan-pendapatan uang dari pihak dermawan itu akan memuaskan.
Kiai Abdul Fattah dan Kiai Wahab adalah dua tokoh hebat yang dimiliki Pesantren Bahrul Ulum. keduanya bagi tugas, Kiai Abdul Fattah menjaga pesantren dan Kiai Wahab dakwah di luar pesantren.