tebuireng.co- Kewajiban iddah sudah selayaknya dipahami bagi manusia terutama seorang wanita, namun realitanya masih saja ada kesalahpahaman masyarakat dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dalam hal ini, kiai kondang KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau sering disapa Gus Baha meluruskan kesalahpahaman masyarakat dengan mengupas tuntas perihal kewajiban iddah bagi seorang istri. Menurutnya, perempuan yang disyariatkan iddah ialah perempuan yang sudah melakukan akad pernikahan dan sudah disetubuhi oleh pihak suami.
Adapun iddah sendiri berasal dari bahasa arab (عدة) yakni waktu menunggu, Islam memberi pengertian bahwa iddah ialah masa tunggu seorang perempuan (istri) yang ditinggal oleh suaminya baik disebabkan karena mati ataupun sebab perceraian untuk menahan diri dipersunting oleh laki-laki lain. Maka status perempuan di sini disebut mu’taddah.
Tujuan dari iddah tidak lain untuk menjaga hubungan darah dengan suaminya, dalam pemaparannya, Gus Baha juga mengatakan bahwa disyariatkannya iddah untuk memastikan kosongnya rahim dari janin sehingga ketika ada cabang bayi bisa membuktikan ayah biologis sesungguhnya dari bayi tersebut dan memastikan tidak adanya sisa mani dari pihak suami pertama.
Hal ini karena disyariatkannya iddah bagi seorang perempuan temaktub dalam kitab suci al-Quran dan hadist, Allah SWT berfirman:
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga masa quru’.” (QS. Al-Baqoroh (2): 228).
Dalam ayat ini menurut Gus Baha Allah Swt menggunakan lafadz “Yatarobbashna”. Secara tata bahasa Arab meskipun lafadz ini adalah shigat fi’il mudhori’ yang memiliki arti khobar (pemberitaan) namun maknanya mengandung lafadz insya’ yang artinya sebuah perintah bahwa seorang perempuan yang dicerai suaminya hendaknya menahan diri.
“Memang dalam fikih tidak diperbolehkan memakai kinayah, ketika ada seorang perempuan menikah setelah disetubuhi kemudian diceraikan. Maka iddahnya berapa lama? Iddahnya ialah jika ia tidak hamil maka masa iddahnya tiga kali masa suci, logikanya gampang. Jika perempuan haid berarti ada kepastian dia tidak hamil, satu kali haid saja bisa memastikan dirinya tidak hamil apalagi dua kali haid. Dikarenakan tiga kali masa suci itu bisa saja hanya dua kali haid. Sebagaimana pendapat Imam syafi’i dalam memaknai “tsalatsata quru” yakni tiga kali masa suci,” jelasnya Gus Baha.
Baca juga: Benarkah Perempuan Haid Haram Wudu?
Selanjutnya ulama asal Rembang ini menegaskan bahwa adanya haid bagi perempuan ialah bukti tidak hamil. Bukti ini selaras dengan maraknya pertanyaan “wah kok dia (perempuan) tidak haid? Jangan-jangan dia hamil.”
“Dalam hukum Islam tidak ada iddah bagi perempuan yang saat menikah tidak pernah disetubuhi, karena apanya yang diiddahi, wong jelas tidak ada mani (dalam rahimnya)” tegas murid Kiai Maimun Zubair tersebut.
Begitu pula dengan problem medis yang mevonis seorang istri dengan pernyataan mandul maka akan tetap ada hukum atau kewajiban iddah bagi si istri tatkala ia sudah pernah digauli. Sebab untuk menjaga syariat.
“Meskipun medis menyatakan tidak ada sperma yang akan jadi anak. Karena agama ini ubudiyah, pokoknya jika Allah telah berfirman maka kita harus menurut. Jangan samakan pikiran Tuhan dengan pikiran Anda, jangan menebak pikiran Allah karena Allah hanya menuntut kamu menurut, bukan menjadi benar. Makanya masyhur dalam gojlokannya Imam Malik kepada Imam Syafi’i bahwa Imam Malik percaya ubudiyah sudah masyhur, di kitab-kitab fikih sudah masyhur dan ini juga ilmiah” terangnya.
Oleh: Syofiatul Hasanah