tebuireng.co- Alkisah, ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam diperintahkan Allah membuat perahu, setiap orang menyangka beliau tidak waras. Tapi akhirnya, ketika azab itu tiba, setiap orang yang tidak mengikuti beliau mati ditenggelamkan dalam banjir bandang yang dahsyat. Dan akhirnya yang selamat hanyalah beliau dan semua yang naik di perahunya.
Dikatakan dalam suatu riwayat, semua pengikut Nabi Nuh ‘alaihissalam yang di perahu meninggal tanpa keturunan, dan hanya Nabi Nuh ‘alaihissalam dan anak-anaknya yang keturunannya berlanjut sampai saat ini. Karena itulah Nabi Nuh ‘alaihissalam juga dijuluki sebagai Abul Basyar ats-Tsani (bapak manusia yang ke-dua).
Diceritakan, ketika banjir bandang dan hujan yang turun sebagai azab itu terjadi, perahu Nabi Nuh ‘alaihissalam terus meninggi sampai hampir menyentuh langit karena sangat tinggi dan besarnya banjir yang terjadi. Saat itu, air yang dingin menjadi semakin panas. Dan dikatakan air tersebut mulai menghancurkan perahu dan hampir menenggelamkannya.
Namun, Allah mengajarkan salah satu nama di antara nama-nama-Nya kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam. Beliau kemudian berdoa dengan nama tersebut. Hingga akhirnya, berkat doa ini, kapal tersebut beserta segala isinya selamat.
Nama tersebut adalah nama Allah, “Ahya Syarahaya”, yang berarti “Ya Hayyu Ya Qayyum” (Wahay Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat Yang Maha Berdiri), sebagaimana disebutkan dalam kitab Taurat
Baca juga: Merahasiakan Pengalaman Ilahiyah
Dan tidak hanya itu, Allah juga mengajarkan nama ini kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pada saat beliau dilempar ke dalam kobaran api. Dengan berkah nama tersebut, api itu menjadi dingin dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun selamat.
Dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengajarkan nama tersebut kepada istrinya, Sayyidah Hajar. Yang nama ini dibaca ketika Sayyidah Hajar dan putranya kehausan serta kepayahan. Maka Allah memancarkan mata air Zam-Zam kepada mereka, berkah nama tersebut. Lalu, nama ini tetap berada di mulut anak Nabi Ismail ‘alaihissalam hingga hari Kiamat.
Walhasil, sungguh banyak dari ulama kita yang diberikan kalimat dzikir atau doa yang bukan berasal dari bahasa Arab, ada yang diilhamkan kepada mereka dari Allah, ada juga yang diajarkan kepada mereka melalui perantara Nabi Khidir ‘alaihissalam. Akan tetapi, sebaiknya tidak mengamalkannya, kecuali kita memiliki sanad dan ijazahnya secara langsung.
Dan yang terpenting dari semua itu bukanlah lafadz dzikir atau doanya, iya itu adalah salah satu faktor yang menentukan, tetapi yang paling penting adalah keyakinan dan ketersambungan hati kita terhadap Allah.
Perlu menjadi catatan, salah satu redaksi doa pernah diajarkan oleh KH. Dalhar bin Abdurrahman (Watucongol). Sebuah doa agar yang membacanya diberikan kemudahan dalam pekerjaan serta diberi kelapangan rizki. Berikut doanya:
“Allahumma ubat-ubet, biso nyandang biso ngliwet. Allahumma ubat-ubet, mugo-mugo pinaringan slamet. Allahumma kitra-kitri, sugih bebek sugih meri. Allahumma kitra-kitri, sugih sapi sugih pari.”
Tentang redaksi doa-doa semacam itu, al-maghfurlah KH. Idris Marzuki (Lirboyo) berkata:
“Koe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir. Nabi Khidlir yen ketemu wali Jowo ngijazaji dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.”
(Kamu jika mendapat doa-doa Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu. Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat doa Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah doa dari Nabi Khidlir. Nabi Khidlir jika bertemu wali Jawa memberi ijazah doa memakai bahasa Jawa. Jika bertemu wali Madura menggunakan bahasa Madura).
Wallahu a’lam, semoga barokah dan manfaat bagi kita semua, aamiin.
Oleh: Ustadz Khoirul Anam
Baca juga: Kemuliaan Seorang Penggembala Kambing