Ketika Kiai Hasyim Asy’ari menimba ilmu di pondok Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, terjadi kisah yang menarik oleh sebab ketinggian budi pekerti Kiai Hasyim, tapatnya pada tahun 1892. Kisah ini diceritakan oleh putera beliau Abdul Karim Hasyim Nafiqah atau Akarhanaf dalam bukunya (Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari: Bapak Umat Islam Indonesia. 2018)
Alkisah, saat Kiai Hasyim mengaji di Pesantren Siwalan Panji, rupanya hampir setiap hari secara diam-diam segala gerak dan tingkah laku Kiai Hasyim muda telah diperhatikan oleh gurunya dengan penuh minat. Pada suatu waktu ia dipanggil oleh gurunya untuk menghadap dan diberitahukan perihal penting yang sifatnya sangat privasi:
“Hasyim, saya mengerti dan tahu bahwa engkau adalah seorang santri yang benar-benar rajin dan bersungguh-sungguh belajar. Aku juga tahu dan mengerti bahwa sebagian dari sifat-sifatmu ialah tidak mau membantah perintah guru. Hal itu sudah saya ketahui benar-benar. Oleh sebab itu, saya berkehendak menjodohkan kamu dengan anakku, bernama Chadijah. Bagaimana pendapatmu?”
Sungguh terasa sangat sesak rongga dada dan bukan kepalang berat di pikirannya kala itu, karena mendengar kata-kata dari gurunya yang tiada disangka-sangka lebih dahulu. Namun demikian, ia tetap menundukkan kepalanya tiada bergerak. Sedang peluh dingin dengan cepatnya sudah merata membasahi tubuhnya. Sesudah menarik nafas panjang ia menjawab dengan suara yang tertegun-tegun, karena menahan perasaan:
“Pada hakikatnya, belumlah ada keinginan atau hasrat dalam hati kecilku untuk beristeri sebelum tercapai pantai yang kutuju dalam mengarungi samudera raksasa pengetahuan agama yang maha luas dan dalam itu, akan tetapi bagaimana dengan perintah kiai itu nanti, sekiranya tidak dikerjakan olehku yang dho’if ini, durhakakah aku karenanya, atau termasukkah demikian itu seorang murid yang membantah perintah guru? Andai kata, agaknya ada perintah lain yang lebih berat dari itu, asal bukan perintah yang satu ini, barangkali fa insyaallah akan aku kerjakan dengan tiada bertangguh lagi.”
Guruya mengetahui dengan jelas saat wajahnya mengalami perubahan selama menjawab tadi, yang sebentar merah padam dan seketika pula berubah pucat pasi, bagaikan kain kafan yang disesah, menunjukkan dengan tegas dan pasti, bahwa ia telah mengorbankan perasaan yang tak terhingga. Keadaan dia dewasa itu, tepatlah sebagai kata pepatah: Bagaikan makan buah simalakama, dimakan aja meninggal, tak dimakan ibu mati.
“Hasyim, anakku,” demikian kata gurunya. Selanjutnya, “soal mencari ilmu, sebenarnya memang betul sebagaimana kata imam al-Mawardi dalam kitabnya “Minhajul Yaqin” itu, bahwa orang yang memperdalam ilmu agama adalah laksana orang yang berenang dalam lautan, kian jauh ke tengah orang berenang di laut, bukannya bertambah sempit lautan itu dalam pandangannya, bahkan sebaliknya, semakin luas dan dalam. Tidak tampak olehnya pantai, dan tidak dapat pula diketahuinya dengan pasti, berapa lebar dan dalamnya laut kala itu, di sekelilingnya. Lagi pula tidak ada alasan yang tepat bagi seseorang untuk menganggap, bahwasanya perkawinannya, bahkan mengemudikan rumah tangga sekalipun, guna dijadikan sebab berhenti dari menuntut pengetahuan, asal saja dalam dada orang tadi masih menyala-nyala api semangat ingin menjadi orang besar dan berarti pula dalam masyarakat ramai kelak di kemudian hari. Dan hanya di dalam rongga dada calon orang besar sajalah terdapat rasa kurang puas terhadap keadaan yang sudah dicapainya itu.”
Segala nasihat kiainya itu didengarkan baik-baik satu persatu dan diperhatikannya sungguh-sungguh dengan penuh minat. Kemudian dari kedua sorot matanya yang tajam itu, tampak menyembur keluar sinar keikhlasan hatinya yang sangat kuat dan dengan perlahan-lahan tetapi nyata dan tegas dijawab kiainya itu:
“Sekiranya diridhoi oleh Kiai. Karena aku masih memiliki orang tua, maka sekali lagi, apabila Kiai ridho soal ini, akan aku bawa dan serahkan saja kebijaksanaan keputusan orangtuaku, bagaimana saja nanti keputusannya, aku tunduk dan tidak akan membantah semua perintah orangtuaku,” Jawab Hasyim muda.
“Soal menyampaikan hal ini kepada kedua orangtuamu, itu sudah barang tentu dan pasti, hanya saja lebih dahulu saya harus memberitahukan hal ini kepadamu, karena nanti yang akan mengerjakan bukannya orang lain tetapi kamu, dirimu sendiri. Nah, sekarang boleh kamu kembali ke pondok dan belajarlah yang rajin. Mudah-mudahan Allah melaksanakan maksudmu. Amin,” penjelasan Sang guru.
Setiba dalam kamarnya, di pondok diambilnya sebuah kitab pelajarannya dan tiada selang beberapa lama, tampaklah ia sudah tekun kembali asyik beramah tamah dengan kitab pelajarannya; seakan-akan tidak berbekas desakan soal nikah yang diutarakan gurunya itu.
Dalam hati kecilnya ia sudah mengambil keputusan, “bahwa sekalipun bagaimana berat melaksanakan perintah seorang guru, toh itu namanya tugas dan kewajiban juga, sedang tiap-tiap tugas dan kewajiban adalah merupakan amanat yang tidak boleh tidak, kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah dari orang yang mengeluarkan dan menerima perintah tersebut, sekalipun ia bertentangan dengan kemauan dan cita-citaku, namun perintah guru tidak boleh diabikan.” Demikianlah kebulatan hatinya.