tebuireng.co– Agama diturunkan di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk menyelesaikan masalah, dan bukan sebaliknya, yakni melahirkan masalah. Agama melihat manusia pada dua aspeknya sekaligus, yaitu lahir dan batin, atau fisik dan nonfisik. Aspek fisik adalah yang serba kelihatan, sementara itu yang nonfisik atau batin adalah yang tidak kelihatan, berada di dalam hati setiap orang.
Kekuatan penggerak manusia justru berada pada aspek non fisiknya. Dalam Islam, aspek non fisik itu disebut ruh. Di dalam ruh itu ada zat, rasa, atau nikmat. Rasa itulah sebenarnya yang memancarkan kekuatan dan kemudian melahirkan gerak bagi seluruh aspek manusia.
Melalui rasa, telinga seseorang menjadi dapat mendengar, mata bisa melihat, otak dapat digunakan untuk berpikir, mulut dapat digunakan untuk berbicara, kaki dapat digunakan untuk untuk berjalan dan seterusnya.
Rasa atau nikmat itu harus dipelihara. Agama memberikan petunjuk untuk menggerakkan itu semua. Rasa atau nikmat seharusnya digunakan sebagaimana mestinya. Namun karena pada diri manusia terdapat bisikan iblis, jin, dan manusia, maka rasa itu terganggu atau tergoda oleh bisikan-bisikan itu. Atas berbagai godaan tersebut, maka yang dominan bukan lagi pada ruh yang disebut iman melainkan bisikan setan, jin, dan manusia.
Agama menyelamatkan ruh tersebut dengan cara menghidupkan rasa. Rasa tidak boleh mati atau hilang. Ketika rasa sudah hilang, maka sebenarnya manusia sudah kehilangan eksistensinya.
Manusia yang telah kehilangan rasa bagaikan hewan, dan bahkan lebih bodoh lagi. Itulah sebabnya, rasa atau nikmat itu harus dipelihara atau disyukuri. Namun ternyata, sebagaimana disebutkan pada kitab suci al-Qur’an hanya sedikit orang yang mampu mensyukuri nikmat atau rasa itu.
Untuk memelihara rasa, agama mengajarkan agar selalu ingat pada Allah dan menjalankan shalat. Orang yang selalu melakukan kedua hal tersebut, maka nikmat atau rasa itu akan terpelihara dan buahnya adalah berupa sehat.
Apapun keadaannya, jika seseorang mampu memelihara rasa yang ada pada dirinya, maka akan mampu memproduksi perbuatan baik. Sebaliknya, jika rasa yang bersangkutan sudah terganggu dan apalagi hilang, maka mereka akan berbuat seenaknya sendiri.
Oleh karena itu, agama dalam menyelesaikan masalah manusia adalah dengan merawat rasa itu. Seorang yang kebetulan menjadi penguasa dan mampu merawat rasa yang ada pada dirinya maka akan berbuat jujur, adil, ikhlas, dan sabar kepada siapapun, apalagi kepada mereka yang dipimpinnya.
Orang kaya yang rasa pada dirinya terawat, maka akan menggunakan hartanya, selain untuk diri dan keluarganya juga untuk kepentingan sosial. Artinya hak-hak orang lain atas hartanya akan dipenuhi. Begitu pula, orang yang dalam keadaan miskin, oleh karena masih memiliki rasa, maka akan berusaha dan tidak berputus asa. Agama dalam menyelesikan persoalan manusia justru menyentuh aspek nonfisiknya, atau batinnya, yaitu menjaga rasa yang ada pada dirinya. Wallahua’lam
Oleh : Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Baca juga: Beragama dengan Jenaka