Perlunya kesadaran gizi dalam keluarga. Seperti beberapa hari lalu, saya menyaksikan kembali sang dokter legendaris, killer bagi para ibu dan para perawat, dr Soewarsi Retnowati, SpA Beliau spesialis anak yang berdinas di RSUD Jombang. Bagi para ibu yang anaknya pernah menjalani rawat inap di sana, pasti tidak asing dengan figur satu ini.
Dalam penilaian saya, sikap horror (tegas) beliau itu keluar dari rasa kasih sayang terhadap anak-anak, meski dirasakan berbeda oleh mental dan psikologi para ibu. “Susu, susu, susu. Gizi, gizi, gizi”, dua kata yang selalu ditekankan dalam omelan terhadap para ibu pasien anak. Semacam ada “kezaliman” yang keluar dari “kebodohan/ketidaktahuan” orang tua bagaimana mengasuh anak yang baik dalam hal kesehatan, sedangkan anak menjadi korban malpraktik proses orang tua menjadi pengasuh.
Memang, sempat ada sangkalan terhadap pengetahuan Dokter Soewarsi terkait penekanan beliau pada susu formula (sufor) ketika anak sedang sakit. Sufor lebih baik ketimbang ketimbang ASI ibu, sehingga ibu diminta berhenti menyusui sementara dan meminumkan sufor pada pasien anak. Yang terakhir ini sempat mengusik pengetahuan dari pendekatan keagamaan saya. Karena bagaimanapun, ASI lebih baik ketimbang apapun, termasuk sufor.
Dalam perdebatan pikiran pribadi, saya teringat satu argumentasi Imam Al-Ghazali bahwa madu itu sudah di-nash Al-Qur’an akan kebaikan dan manfaatnya. Akan tetapi, bagi orang yang sedang terjangkit sakit demam akut, madu tidak baik dikonsumsi pasien tersebut. Demikian juga gula bagi penyandang diabetes, atau makanan dan minuman baik lainnya. Dari situ, maka lahir hipotesis sementara bahwa ASI memang lebih baik dari sufor. Hanya saja, ketika sedang rawat inap, sufor lebih ditekankan untuk proses percepatan penyembuhan pasien anak. Setelah sembuh, ASI lebih ditekankan. Perubahan hukum semacam ini sebab ada al-‘āriḍ (kondisi baru) yang menjadikan hukum berubah. Terkait kebenaran hipotesis itu, perlu ada penelitian mendalam.
Sakit memang sunnatullah. Semua yang sehat tentu pernah mengalami sakit. Hanya saja, pencegahan tetap ditekankan karena menjadi hak tubuh yang juga merupakan amanah (titipan) Allah SWT yang harus dijaga dan dirawat oleh setiap muslim. Jangan sampai sakit yang diderita oleh anak disebabkan oleh kebodohan (ketidaktahuan) orang tua akan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan terhadap pola makan, makan bergizi, bagaimana mengelola menu makan, mengontrol kesehatan dari makanan. Jangan sampai ada yang terzalimi sebab kebodohan atau ketidaktahuan kita, termasuk orang tua terhadap anak. Maka, tuntutan untuk upgrade pengetahuan tetap menjadi wajib, ṭūl az-zamān (long life education) dan minal mahdi ilallaḥdi (hingga liang lahat).
Kesadaran akan makanan dan kesadaran kebutuhan gizi ini pernah disuarakan jauh hari dengan redaksi yang agak keras oleh almaghfurlah Dr (HC) Ir KH Salahuddin Wahid, “Kalau anak-anak di bawah tiga tahun masih menderita gizi buruk dalam waktu lama, dikhawatirkan otaknya juga ikut kate. Kalau itu terjadi, maka anak-anak itu akan menjadi beban dan bonus demografi menjadi tidak banyak artinya”. Gus Sholah membandingkan perkembangan fisik penduduk Jepang, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Artinya, mengetahui perihal gizi juga menjadi salah satu piranti dalam maqāṣid as-syarī’ah yang berkaitan dengan pengembangan dan perbaikan sumber daya manusia.
Agaknya, redaksi Al-Qur’an yang mendekati perintah itu adalah “ḥalālan ṭayyiban”. Yang enak-enak, yang baik-baik, dan yang bergizi. Baginda Rasulullah Saw pernah menyebutkan laḥm (daging) dan ad-dasm (susu). Bila Anda search di mesin pencarian Google Image, ad-dasm akan menampilkan susu, keju, salad, dan aneka menu susu yang bergizi lainnya.
Saya sepakat dengan para ulama tafsir yang memberikan keringanan makna dari perintah “kulū”, makanlah kalian atau “wasyrabū”, minumlah sebagai redaksi perintah yang menunjukkan arti kebolehan (al-ibāḥah wa at-taḥlīl), bukan sebagai kewajiban (lil wujūb). Kenapa? Karena saya pernah membaca bahwa tidak sedikit dari penduduk Indonesia yang masih memiliki pemasukan di bawah standar kebutuhan hidup layak (KHL). Sehingga, sebagian sudah berusaha memenuhi gizi keluarga akan tetapi terpontang-panting, sedangkan orang-orang yang diberikan kekayaan menyumbangkan harta mereka belum mengena pada sasaran yang lebih presisi, terutama perbaikan gizi keluarga (besar), tetangga, dan juga pendidikan.
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Siti Hajar dan Visi Keluarga