tebuireng.co – Kepemimpinan perempuan dalam Islam terus jadi perdebatan lintas generasi. Pembahasan ini telah melewati berbagai konflik dan kajian ilmiah. Namun, kepemimpinan perempuan masih belum menemukan titik sepakat.
Perempuan sering kali dianggap tidak layak berfatwa dalam masalah-masalah fikih. Lelaki mendominasi bagian fatwa di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia.
Di Indonesia era modern ini, ada tiga tokoh yang bisa dijadikan rujukan bagaimana kepemimpinan perempuan dalam berfatwa. Trio perempuan ini punya ikon masing-masing. Ketiganya tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu Huzaemah Tahido Yanggo, Zakiyah Deradjat dan Tuty Alawiyah.
Dua di antaranya lulusan Kairo. Keduanya juga sama-sama memecah rekor pertama. Hal ini menjadi horison relasi gender di jagat organisasi keulamaan. Di banding Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta al-Mishriyyah), relasi gender MUI Pusat lebih maju.
Lembaga Fatwa Mesir menjadi perbandingan, karena paling mereputasi sebagai lembaga fatwa hukum Islam di seluruh dunia. Dikenal bermanhaj moderat (wasthiyah) dan lembaga formal fatwa hukum Islam tertua yang berdiri sejak 1895, hingga lembaga tersebut dan para muftinya paling banyak dirujuk oleh seluruh umat Islam di dunia.
Reputasi ini kian menonjol ditopang Al-Azhar Al-Syarif, lembaga pendidikan tinggi tertua dan ‘kiblat’ studi Islam di seluruh dunia. Meski mereputasi, lembaga fatwa negeri Piramida itu belum pernah menempatkan ulama perempuan di jajaran puncak organ lembaganya.
Dalam stuktur organisasinya mutakhir (2018), setidaknya ada enam badan besar dalam hirarki kelembagaan Lembaga Fatwa Mesir. Keenam badan itu terdiri dari dewan fatwa, pusat riset Islam, pusat pelatihan fatwa, pusat terjemah, pusat komunikasi dan fatwa elektronik serta bidang pendukung. Kalau di MUI Pusat dipimpin oleh masing-masing ketua bidang.
Puncak tertinggi kepemimpinannya dipegang oleh seorang syaikh atau imam besar; biasa disebut Mufti Agung. Kalau di MUI dipimpin oleh Ketua Umum. Sejak 1895 sampai 2018, kurang lebih sudah ada 20 Mufti Agung yang memimpin keseluruhan Lembaga Fatwa Mesir.
Namun, jangankan syaikhoh yang memimpin puncak organisasi (mufti agung), pada level pimpinan dewan fatwa sebagai badan tertinggi dalam organisasi lembaga ini belum pernah dipimpin oleh ulama perempuan.
Di Indonesia, kepemimpinan perempuan lebih terbuka lebar. Mereka diberikan kesempatan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan pendapat dalam berbagai permasalahan di Indonesia.
Huzaemah Tahido Yanggo
Pada periode 2015-2020 ada 12 bidang di MUI Pusat di bawah kepemimpinan Ketua Umum KH Ma’ruf Amin. Tiap ketua bidang membawahi pengurus komisi dan unit lembaga sesuai bidangnya masing-masing.
Tugas komisi/lembaga sangat teknis. Mereka menelaah, membahas, merumuskan dan menyampaikan berbagai usulan kepada ketua bidang masing-masing.
Tapi sejak MUI berdiri tahun 1975, belum pernah ada ulama perempuan dan tokoh (zu’ama) atau cendikiawan Muslimah mengemban amanat sebagai ketua bidang yang membawahi komisi fatwa itu, antara lain karena kelangkaan pakar fiqh dari kalangan Muslimah.
Sampai kemudian diretas oleh Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo memecah rekor pertama sebagai ketua bidang fatwa dalam sejarah organisasi fatwa ulama di Indonesia maupun di dunia. Ia meretasnya pada periode MUI Pusat 2015-2020 di bawah ketua umum KH. Ma’ruf Amin.
Prof Dr Huzaemah ikon akademisi perempuan Indonesia dalam kepakaran bidang fikih perbandingan mazhab. Kepemimpinan perempuan dalam sosok ulama perempuan ini tidak diragukan lagi.
Ia guru besar fikih perbandingan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan perempuan pertama Indonesia penerima gelar doktor Universitis al-Azhar Kairo dengan lulus cumlaude.
Di berbagai perhelatan pembahasan permasalahan fiqhiyah (bahsul masail), ia kerap sebagai pembahas tunggal perempuan. Melekat dalam dirinya citra seorang mufti perempuan yang langka. Begitulah kedalaman ilmunya.
Ia menjadi representasi kepemimpinan perempuan modern. Hampir di segala organisasi nasional maupun dalam forum ilmiah internasional yang saya geluti, selalu ada Prof Huzaemah.
Sepanjang tujuh periode MUI Pusat, terhitung sejak periode pertama 1975-1981 dijabat almarhum Buya Hamka sampai 2015-2020 dijabat KH Ma’ruf Amin, Prof Huzaemah memang bukan yang pertama duduk sebagai dewan pimpinan/ketua bidang dari kalangan Muslimah. Namun, yang pertama memimpin bidang fatwa.
Sekali lagi, Komisi Fatwa MUI Pusat 2015-2020 ada di bawahnya, karena ia ketua bidangnya. Dan semua kita tahu bahwa bidang fatwa inilah inti dari MUI, dan hal itu diretas oleh Prof Huzemah.
Zakiyah Deradjat
Contoh kepemimpinan perempuan selanjutnya ada Prof Zakiyah Derajat. Di Indonesia dan dunia, tokoh Muslimah peretas sejarah sebagai ketua dewan pimpinan organisasi fatwa keulamaan diukir oleh Prof Dr Hj Zakiyah Deradjat.
Ia memimpin bidang Keluarga dan Anak MUI Pusat 1985-1990 sebelum diubah menjadi bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK). Pada periode itu MUI Pusat dipimpin oleh KH Hasan Basri.
Penunjukan Prof Zakiah atas usulan dewan pimpinan lainnya agar mewakili kalangan perempuan yang belum pernah ada sejak MUI berdiri.
Prof Zakiah mengakui penunjukan dirinya karena kompleksitas persoalan perempuan sudah sedemikian penting untuk ditangani lebih terorganisir.
Berderet lebel terhormat dalam diri Guru Besar Psikologi UIN Jakarta ini. Ibu Zakiyah salah satu ikon ulama dan cendikiawan Muslimah generasi awal Indonesia pasca kemerdekaan. Beliau juga ikon bidang Psikologi Islam di Indonesia karena pelopor doktor pertama di bidang Psikoterapi.
Pendidikan sarjananya ditempuh di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta. Studi master ditempuh di Universitas Ain Shams, Kairo, tanpa tes sampai meraih gelar doktor spesialisasi psikoterapi di almamater yang sama.
Hebatnya lagi, penelitian disertasinya tentang “Perawatan Jiwa untuk Anak-anak” mendapat anugerah Medali Ilmu Pengetahuan dari Presiden Gamal Abul Naser. Anugerah ini disematkan pada peringatan Hari Ilmu Pengetahuan Mesir tahun 1965.
Tuty Alawiyah
Perwakilan kepemimpinan perempuan ketiga, ada Tuty Alawiyah. Gawang yang dijaga Prof Zakiah Deradjat di MUI Pusat kelak digantikan oleh Prof Dr (HC) Tuty Alawiyah, ikon majelis taklim Indonesia.
Ia duduk sebagai Ketua PRK di rentang masa bhakti kedua MUI Pusat dipimpin oleh alm Dr (HC) KH Sahal Mahfudz yang memimpim MUI Pusat tiga periode berturut-turut, 2000-2015.
Prof Tuty menempuh studi sarjana di Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Senat IAIN Jakarta 2001 menganugerahkan beliau gelar doktor honoris causa (HC). Satu dekade kemudian, giliran Senat Universitas Liuzhou, Guangxi-Cina, menyematkannya gelar profesor kehormatan.
Anugerah ini diserahkan oleh rektornya, kala itu dijabat oleh Prof Zeng Funping, Ph.D. Prestasi cukup membanggakan ini menginspirasi banyak kalangan untuk terus berprestasi
Kenangan Mendalam
Sebagaimana yang saya rasakan di dalam dunia akademik terhadap ibu saya Prof Dr Nabilah Lubis, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Dalam jejak kepemimpinan di Dewan Pemimpin MUI Pusat, permisalan itu juga berlaku terhadap saya dengan Prof Zakiah Deradjat dan Prof Tuty Alawiyah—semoga Allah Ta’ala merahmati keduanya.
Saat ini, saya yang meneruskan ekstafet kepemimpinan keduanya selaku Ketua PRK MUI Pusat periode 2015-2020.
Kenangan mendalam diri saya sangat membekas dengan trio ulama perempuan itu. Tahun 2004/2005 misalnya, saat muncul kehebohan di tanah air adanya pihak yang ingin mengubah subtansi materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) bidang Perkawinan Islam dan untuk mengantisipasinya agar tak terulang, Menteri Agama Pak Maftuh Basyuni membentuk Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Depag RI.
Terdiri dari Prof Huzaemah, Prof Zakiah Deradjat, dan saya yang paling junior. Harian Republika, Februari 2005, menyebut kami “Trio Tokoh Muslimah” Pengarus-utamaan Gender.
Motor konter KHI nyeleneh yang mencatut nama Depag RI itu juga adalah International Muslim Women Union (IMWU)/Majlis al-‘Alami lil-‘Alimat al-Islami (MAAI) cabang Indonesia pada periode kepemimpinan akhir duet Prof Dr (HC) Tuty Alawiyah dan ibunda saya, Prof Dr Nabilah Lubis.
IMWU/MAAI Indonesia kala itu bekerjasama dengan MUI Pusat. Di IMWU/MAAI Indonesia inilah, termasuk di MUI, saya dengan trio ulama perempuan itu saling bekerjasama dalam banyak hal, termasuk di dalamnya berbagai kajian gender sesuai dirasat Islamiyah.
Terutama dengan Prof Huzaemah, kami banyak bekerjasama, karena sama-sama mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, termasuk pada Pascasarjana UIN Jakarta dan UI.
Prof Huzaemah termasuk guru saya. Tahun 1995, saat saya baru menjadi asisten dosen pada Fakultas Syariah, Prof Huzaemah sudah menjadi dosen senior. Dan pada tahun itu pula ia merekrut saya menjadi anggota pengurus Pusat Studi Wanita (PSW) IAIN Jakarta, karena ia ketuanya pada periode 1994-1998.
Dari PSW pertengahan era 1990-an inilah boleh dikatakan sumur ilmu pertama saya banyak memperoleh pengalaman di bidang pemberdayaan perempuan dan penelitian berwawasan gender, termasuk terbentuknya jejaring saya dengan sejumlah tokoh dan para aktifis perempuan.
Kampus IAIN Jakarta melalui PSW pada periode itu dipercaya menjalankan banyak program kerja dengan pendanaan dari pemerintah Kanada untuk pemberdayaan perempuan. Pemerintah Kanada menyalurkannya melalui program CIDA (Canadian International Development Agency), dan kelak berlanjut sampai era 2000-an awal.
Pada November 1997, pihak Kanada menyetujui keberangkatan saya ke Montreal bersama lima dosen perempuan lainnya dari berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air dalam program bea siswa studi singkat tentang mainstreaming gender di Univeristas McGill, hasil kerjasama PSW IAIN Jakarta yang dipimpin oleh Ibu Huzaemah dengan CIDA.
Hasil kerja sama ini kelak banyak melahirkan kurikulum yang ramah perempuan di lingkungan semua perguruan tinggi Islam di tanah air; berkat fondasi kepemimpinan PSW yang dinahkodai Prof. Huzaemah.
Tanggal 23 Juli 2021, Prof Huzaemah menggenapi kepergian dua ikon ulama perempuan sebelumnya, Prof Zakiyah dan Prof Tuty. Kami semua sangat berduka, duka ratusan doktor dan profesor di tanah air, terutama dari perguruan tinggi Islam, telah disentuh oleh kepakaran keilmuan beliau, sehingga kami menjulukinya soko guru.
“Tak banyak negara muslim yang menempatkan perempuan dalam barisan pimpinan puncak organisasi fatwa keulamaan. Indonesia tergolong istimewa. Ada trio ulama perempuan di dalamnya. Ketiganya senior saya”
Saya pribadi tak sanggup membendung air mata mengiringi kepergiannya. Allahummaghfirlaha warhma wa’afiha wa’fu’anha.
Prof Dr Hj Amany Lubis (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Disarikan dari buku “Autobiografi Amany Lubis: Namaku Harapan” (Murai Kencana/Grup RajaGrafindo Persada, 2019)