• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Kenapa Air Kencing Bayi Perempuan Beda?

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2021-09-04
in Fiqih, Hadits, Kitab Kuning, News, Pesantren
0
Najis bayi perempuan beda dengan lelaki? Ini Jawaban Moqsith Ghazali

Najis bayi perempuan beda dengan lelaki? Ini Jawaban Moqsith Ghazali (Ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co – Kenapa air kencing bayi perempuan najisnya beda dengan lelaki? Air kencing perempuan masuk kategori najis mutawasithah dan air kencing laki-laki masuk kategori mukhaffafah.

Dalam satu kesempatan saya (Moqsith) ditanya Ibu Nyai Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, “Mengapa kencing bayi perempuan yang hanya mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) dimasukkan najis mutawassithah?

Sementara kencing bayi laki-laki yang juga hanya mengkonsumsi ASI dikategorikan najis mukhaffafah?

Saya menjawabnya sederhana. Pertama, pembagian najis itu bersifat ijtihadiyah (hasil pemikiran para ulama).

Jika ulama Syafi’iyyah membagis najis ke dalam tiga jenis, najis mukhaffafah (ringan), najis mutawassithah (pertengahan) dan najis mughallazhah (berat), maka Imam Abu Hanifah membaginya pada dua bagian; najis mughallazhah dan najis mukhaffafah.

Menurut Abu Hanifah, najis mughallazhah adalah najis yang diitetapkan nash Al-Qur’an atau hadis dan tidak ada nash lain yang menyangkal kenajisannya (ماورد النص على نجاسته ولم يرد نص أخر معارض له).

Dan najis mukhaffafah adalah najis yang diperselisihkan karena ada dalil yang saling bertentangan satu sama lain (ما تعارض نصان فى طهارته ونجاسته).

Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani (dua murid Imam Abu Hanifah) berkata: najis mughallazhah adalah najis yang disepakati para ulama (ما اتفق العلماء على نجاسته), sedangkan najis mukhaffafah adalah najis yang diperselishkan para ulama (ما اختلفوا فيه).

Kedua, tak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa kencing manusia adalah najis (لا خلاف بين الفقهاء على نجاسة البول من كل حيوان غير مأكول اللحم، ولو كان إنسانًا).

Yang diperselisihkan adalah apakah sama kenajisan kencing bayi laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI? Dan bagaimana cara menyucikan dua najis tersebut?

Ada tiga pendapat tentang itu:

[a]. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berkata bahwa kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah sama: dua-duanya dibasuh dengan air. Pendapat ini didasarkan pada keumuman hadis: (اكثر عذاب القبر من البول).

[b]. Imam Auza’i juga menyamakan kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Hanya cara menyucikannya beda; bukan dibasuh atau diguyur air, tapi cukup diperciki air (rassyu al-ma’).

[c]. Al-Imam al-Syafii dan Ahmad ibn Hanbal membedakan keduanya. Jika kencing bayi laki-laki diperciki air, maka kencing bayi perempuan diguyur air (gaslu al-ma’).

Imam Syafii mendasarkan pendapatnya pada hadits yang mengisahkan Ummu Qais membawa bayi laki-lakinya untuk di”tahnik” Nabi. Ketika sang bayi kencing di pangkuan Nabi, maka Nabi memercikkan air pada najis tersebut.

Nabi bersabda بول الذكر ينضح وبول الجارية يغسل. Di saat yang lain Nabi bersabda انما ينضح من بول الذكر ويغسل من بول الانثى. Intinya, kencing bayi laki-laki cukup diperciki air dan bayi perempuan diguyur air.

Atas dasar itu, Ulama Syafi’iyah memasukkan kencing bayi laki-laki ke dalam najis mukhaffafah dan kencing bayi perempuan walau hanya mengkonsumsi ASI ke dalam najis mutawwasithah.

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, karena kenajisan kencing manusia didasarkan pada nash yang sharih, maka kencing manusia (bayi atau dewasa, laki dan perempuan) tergolong najis mughallazhah dan bukan najis mukhaffafah.

Jum’at, 3 September 2021
Salam,

Abdul Moqsith Ghazali

Tags: fikihperempuanHak-hak Perempuannajis
Previous Post

Resensi Buku Nalar Kritis Muslimah, Karya Rofiah

Next Post

Prof Djamaluddin, Perintis Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Prof Djamaluddin saat mengajar di Ma'had Aly Hasyim Asy'ari (Ist)

Prof Djamaluddin, Perintis Ma'had Aly Hasyim Asy'ari

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Etika Bertetangga dalam Hadis Nabi
  • Kemenag Resmi Memulai MQKN ke-8 dengan Tahapan Seleksi Via CBT Berbasis Kitab Kuning
  • Qailulah, Rahasia Tidur Siang Ala Nabi
  • Tafsir Surah Qaf Ayat 18: Pentingnya Menjaga Lisan
  • Dhau’ Al-Mishbah fi Bayani Ahkam An-Nikah, Panduan Pernikahan Karya Kiai Hasyim

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng