tebuireng.co– Menyebut penggembala kambing maka orang akan memberikan konotasi sebagai pekerjaan yang tidak terlalu terhormat dan apalagi mulia. Pekerjaan sebagai penggembala kambing tidak memerlukan persyaratan yang sulit dipenuhi, misalnya harus berlatar belakang pendidikan dan kualitas karakter tertentu, ketrampilan yang tinggi, dan lain-lain. Siapa saja, asalkan mau dengan upah rendah, boleh menjadi penggembala kambing.
Jenis pekerjaan yang tidak memerlukan persyaratan dan berpenghasilan terbatas itu menjadikan penggembala kambing dianggap berstatus sosial rendah. Jika seseorang melakukan sesuatu yang kurang pantas, miskin, dan bahkan bodoh, maka seringkali disebut seperti penggembala kambing. Tentu, seseorang yang diberi sebutan seperti itu biasanya juga tidak suka, karena merasa direndahkan dan atau dihina.
Namun anehnya, penggembala kambing juga ada yang dijadikan sebagai contoh terhadap orang yang menyandang kemuliaan oleh karena mampu menjaga amanah. Dikisahkan Umar bin Khotob pernah menemui seorang anak kecil sebagai penggembala kambing di padang pasir. Bertemu penggembala itu, Khalifah ingin membeli seekor kambingnya. Tawaran itu ternyata ditolak oleh karena, dia bukan pemiliknya sehingga tidak merasa berhak mengambil keputusan apapun, semisal menjual, kecuali hanya merawatnya.
Baca juga: Ketika Agama Menyelesaikan Masalah
Mendengar penolakan dan sekaligus alasan yang dikemukakan oleh penggembala itu, Umar berkilah, bahwa tuannya tidak akan mengetahui apapun tentang kejadian itu. Andaikan ia tahu, maka bisa diberi alasan bahwa kambing dimaksud dicuri oleh srigala. Selain itu, jumlah kambingnya sedemikian banyak, pemiliknya tidak akan peduli. Ternyata argumen yang diajarkan oleh orang yang gagah berani dan sebenarnya adalah seorang yang amat mulia itu, ditolak dengan alasan bahwa benarnya tuannya tidak akan tahu, tetapi Dzat Yang Maha Kuasa, pasti akan mengetahui.
Tentang kebenaran kisah dimaksud tidak banyak orang yang mengkritisi, tetapi memang memiliki nilai pendidikan yang amat tinggi. Sekedar sebagai seorang penggembala kambing di padang pasir ternyata mampu menjaga amanah. Anak kecil yang menyandang status sosial rendah itu memiliki kejujuran yang luar biasa. Keimanannya kepada Tuhan mampu mengalahkan berbagai bujuk rayu yang sebenarnya sangat menguntungkan dirinya. Akan tetapi, ia tidak mau berbuat sembarangan yang mendatangkan dosa.
Kisah sederhana tetapi memiliki pesan moral yang tinggi tersebut, sebenarnya memiliki relevansi yang amat tinggi terhadap upaya pemecahan persoalan bangsa selama ini. Bangsa Indonesia yang sudah sekian lama merdeka tetapi masih dirasakan menghadapi berbagai problem yang amat pelik, baik terkait dengan ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, ilmu pengetahuan dan lain-lain, sebenarnya hanya bersumber dari minimnya orang yang sanggup menjaga amanah. Tidak banyak orang, hingga pemimpinnya sekalipun, yang benar-benar bermental mulia sebagaimana yang dimiliki oleh penggembala kambing sebagaimana dikisahkan di muka. Umpama saja para pemimpin bangsa ini mampu meniru orang yang berstatus sosial rendah di padang pasir itu, maka tidak banyak aset dan sumber-sumber kekayaan negara berpindah kepemilikannya kepada orang asing.
Selain itu umpama para pemimpin bangsa ini menyandang keimanan, kecintaan, dan integritasnya terhadap negara dan rakyatnya teruji sebagaimana kisah penggembala kambing dimaksud, maka juga tidak akan ada konflik antara Polri dan KPK, gegeran di antara pimpinan partai politik, berebut kekuasaan dan harta kekayaan, dan lain-lain. Bahkan umpama semuanya mampu meniru kejujuran anak kecil yang berhasil lulus atas ujian yang diberikan oleh khalifah dimaksud, maka budget negara yang amat besar untuk menghindari penyimpangan dan berbagai kecurangan selama ini juga tidak diperlukan. Namun persoalannya sederhana, ialah bahwa kemuliaan penggembala kambing dalam kisah tersebut belum mampu ditiru oleh bangsa ini. Wallahu a’lam
Oleh: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, ketua Yayasan Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) Jombang, Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sekaligus Guru Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Tulisan ini pernah diunggah di laman resmi http://imamsuprayogo.com/. diterbitkan kembali atas izin penulis.
Baca juga: Mengenal NU dan Muhammadiyah