tebuireng.co – Kementerian Agama merupakan salah satu kementerian vital di Indonesia. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11/7/1945, Mohammad Yamin menyampaikan perlunya pembentukan kementrian yang berhubungan dengan agama.
Yamin mengatakan “Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama islam yang berhubungan dengan wakaf, masjid, dan penyiaran harus diurus oleh kementrian yang istimewa, yang kita namai Kementerian Agama”. Pendapat Yamin itu belum bisa menyakinkan semua anggota BPUPKI.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18/8/1945 tentang pembentukan kabinet, usul pembentukan Kementrian Agama ditolak oleh oleh Johannes Latuharhary dan kelompok non muslim.
Maka Kabinet 1 (September 1945) dan Kabinet 2 (November 1945) belum ada Menteri Agama. Beberapa anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terus berjuang secara gigih untuk mewujudkan kementerian agama.
Dalam sidang KNIP pada 25-27 November 1945 mereka adalah KH Abu Dardiri, KH Moh Saleh Suaidy, Sukoso Wirjosaputro yang didukung oleh Mohammad Natsir, Dr Muwardi, Wahid Hasyim, Dr Marzuki Mahdi, M Kartosudarmo dll
KNIP menyetujui usulan para anggota di atas. Pada 3 Januari 1946 Pemerintah Indonesia mengluarkan maklumat berdirinya Kementerian Agama dan mengangkat Haji Mohammad Rasyidi sebagai Menteri Agama pertama Republik Indonesia.
Pembentukan Kementerian Agama mempertegaskan bahwa agama adalah penting dan terikat secara fungsional dengan kehidupan bernegara di Indonesia. Keberadaan Kementerian Agama membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Kementerian Agama adalah perpaduan Islam dan Indonesia.
Dalam persidangan DPR awal 1950-an muncul kembali gugatan terhadap keberadaan Kementerian Agama. Syukur bahwa gugatan itu dapat ditepis dengan baik oleh KH A Wahid Hasyim.
Suara serupa muncul lagi saat awal Reformasi. Dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh “Tim Lima PBNU” ketika ada pihak yang mengusulkan namanya untuk menjadi Menteri Agama, seorang tokoh petinggi PBNU menjawab bahwa tindakan pertama yang akan dilakukannya kalau menjadi Menteri Agama ialah membubarkan Departemen Agama.
Saya tidak tahu itu guyon atau bukan. Harian Duta Masyarkat edisi 20 Mei 2000 menulis bahwa Dr Nur Muhammad Al-Barsyani Ketua DPW PKB Jateng (kini alm) mengusulkan supaya Departemen Agama dibubarkan.
Menurut seorang Kakanwil Kementrian Agama. Kini mulai ada pemikiran untuk mengurangi secara berarti peran kementrian agama.
Kementrian semua Agama
Setelah diangkat sebagai Menteri Agama pertama, H. Rasyidi datang sendiri kepada I J Kasimo pimpinan Katolik dan mengatakan bahwa harus ada wakil dari katolik di dalam Kementerian Agama.
Kemudian Pak Kasimo menunjuk seorang wakil untuk duduk di Kementerian Agama. pihak Kristen, Hindu dan Budha juga menunjuk wakil mereka.
Maka berdirilah unit-unit dalam Kementerian Agama yang kini kita kenal sebagai Direktorat Jendral (Ditjen) Bimas (Bimbingan Masyarakat) Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Budha dan Ditjen Bimas Islam.
Keberadaan Ditjen itu terkait adanya enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, kecuali Ditjen Konghucu yang tidak ada.
Sebenarnya semua agama bukan tidak diakui atau dianggap tidak ada oleh negara, mereka punya hak hidup di negara Indonesia tetapi pengakuan secara resmi terhadap agama-agama besar itu terkait administratif.
Mengapa tidak ada Ditjen Konghucu padahal agama itu termasuk 6 agama yang diakui secaram resmi oleh Pemerintah? Pertimbanganya ialah karena belum cukup efesien jika punya Direktorat Jenderal Bimas Konghuchu.
Lalu bagaimana kedudukan sekian banyak agama yang sudah ada sejak Republik Indonesui belum berdiri? Tentu mereka punya hak untuk hidup dan menjalankan kegiatan ibadah.
Ada pertanyaan apakah mungkin mendirikan Direktorat Jenderal agama-agama di luar kelima agama yang sudah ada? Tentu butuh pertimbangan mendalam dan menyeluruh untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Ada beberapa masalah pelik terkait keberadaan sekian banyak agama di negara kita. Pertama, pencantuman agama mereka di dalam KTP. Kedua, boleh tidaknya pernikahan dilakukan dengan mengunakan tata cara sesuai agama masing-masing.
Ketiga, pernikahan antar agama. Keempat, ijin mendirikan rumah ibadah. Kelima, keberadaan sekte di dalam agama tertentu, seperti Syiah dan Ahmadiyah dalam Islam.
Catatan:
Tulisan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng 2009-2020, KH Salahuddun Wahid (Gus Sholah) ini sudah pernah terbit di koran harian bangsa, Senin (4 April 2016). Tulisan ini diketik ulang oleh santri Tebuireng bernama Badar Alam Kalasuba untuk pengetahuan umum.