tebuireng.co – Kekerasan pada anak semakin banyak saja. Akhir akhir ini kita sering dikejutkan oleh kasus demi kasus kekerasan yang di media massa dan pembicaraan di media sosial internet. Kita dibuat ngeri karena banyaknya korban yang masih berusia anak anak, dan juga banyak pelakunya masih anak-anak (remaja).
Ada dua kemungkinan terkait maraknya pemberitaan kasus-kasus ini. bermunculan. Pertama, ekspos media terhadap kasus kasus ini meningkat, ditambah dengan fungsi media sosial yang semakin kuat.
Sehingga kasus-kasus yang selama ini tersembunyi dalam fenomena puncak gunung es menjadi lebih mudah terkuak dan menjadi sorotan masyarakat.
Kedua, perilaku anak-anak (terutama remaja) masa kini yang makin rentan dan dekat dengan tindak kekerasan. Faktor penyebabnya sangat kompleks, tak dapat disederhanakan menjadi sebuah hubungan sebab- akibat.
Pendeknya, sebagai masyakarakat, kita gagal mempersiapkan generasi muda kita untuk menuju kematangan.
Adanya kekerasan pada anak, apakah berarti moralitas anak-anak sekarang semakin merosot? Kita harus berhati-hati dengan penggunaan kalimat seperti ini. Salah satu adagium atau kaidah pengasuhan anak adalah
“Anak bukanlah orang dewasa beru kuran mini, ia masih belum dapat sepenuhnya bersikap dewasa. Karena itu, anak tidak mungkin menjadi sumber masalah. Bila anak menimbulkan masalah, maka kesalahan ada pada orang dewasa yang bertanggung atas dirinya.”
Kaidah ini merupakan salah satu wujud dari apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW:
“… Seorang bapak adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu pemimpin di rumah suaminya… Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya terhadap kepemimpinannya.” (HR Bukhari-Muslim)
Karena itu, dalam menyimpulkan moralitas anak, kita perlu kembali memandang para orang dewasa yang ada di sekitar anak tersebut. Kalau kita menyimpulkan bahwa moral anak-anak telah merosot, maka kita perlu mengakui bahwa kesalahan atau kegagalan berada di pundak kita.
Orang tua dan Tongkat Komando Pengasuhan Anak
Di masa sekarang ini, peran keluarga semakin sentral dalam mempersiapkan putra-putrinya menghadapi berbagai tantangan zaman Firman Allah SWT
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mening. galkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. (QS 1. Learning to be (membentuk karak An Nisaa’: 9)”
Ayat ini dapat dimaknai sebagai tugas berat orang tua untuk mengasuh anak-anak, bahkan orang tualah yang akan menanggung beban pertanggungjawaban di hadapan Allah untuk hal ini. Karena itu, orang tua perlu memegang kendali atau tongkat komando dalam pendidikan anak.
Berbeda dengan zaman dulu, anak- anak sekarang dipengaruhi oleh banyak faktor dalam tumbuh kembang mereka. Bila dulu, sumber penempaan karakter dan kemampuan anak adalah dari orang tua dan guru, maka saat ini anak juga belajar dari berbagai sumber lain seperti media massa, dunia internet, kultur masyarakat di sekitar, dan juga teman-temannya.
Termasuk mempelajari hal-hal buruk. Orang tua perlu mengenali tantangan perkembangan anak, supaya orang tua dapat mengelola faktor-faktor lainnya dengan lebih bijak.
Misalnya saja alih-alih melarang anak bermain internet, orang tua dapat mengajarkan kemampuan mengelola diri (self management) dan siap bertanggung jawab, sehingga anak-anak mengerti batasan diri dan dapat memanfaatkan internet demi kebaikan.
Dalam konsep UNESCO, terdapat 4 pilar dalam pendidikan, yaitu memfasilitasi proses:
- Learning to be (membentuk karakter anak)
- Learning to know (mengembang kan pengetahuan anak)
- Learning to do (mengoptimalkankecakapan anak)
- Learning to live together (mempersiapkan anak untuk hidup bersama orang lain)
Demikian juga dalam pengasuhan anak, orang tua perlu memperhatikan keempat aspek ini secara seimbang. Sayangnya, saat ini banyak orang tua yang hanya fokus pada aspek perkembangan pengetahuan anak, dan gamang dalam tiga aspek lainnya.
Akibatnya, banyak orang tua yang bergantung kepada sekolah dan guru untuk pengasuhan anak. Padahal, orang tualah yang memegang tongkat komando kehidupan anak.
Baca Juga: Nasihat Untuk Wanita
Hal penting yang perlu difokuskan oleh orang tua dalam pengasuhan adalah:
(1) menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik sehingga anak memiliki kejelasan nilai-nilai apa yang akan menjadi prinsip hidupnya,
(2) memperkuat kemampuan atau kecakapan hidup, semisal keterampilan mengambil keputusan, keterampil an mengelola diri, dan keterampilan membangun hubungan dengan orang lain,
(3) mengembangkan pengetahu an anak tentang dirinya sendiri.
Dalam hal nilai-nilai, kalangan masyarakat Nahdliyin tidak kurang pedoman, selain tentu saja mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW yang sempurna.
Dengan pendidikan akhlak yang terus-menerus ditanamkan oleh para ulama, Jam’lyah Nahdlatul Ulama juga mencatat beberapa gerakan penguatan akhlak yang disebut sebagai Mabadi Khaira Ummah (dasar dasar permulaan bagi pem binaan umat terbaik) Ada 5 akhlak dasar yang hendak ditumbuhkan:
- As Shidqu yang mengan dung arti: kebenaran, kejujuran dan kesung. guhan
- Al Amanah bil waffa-u bil’ahdi yang mengandung arti tepat janji, dapat diandalkan, disiplin dan sikap kon- sisten (teguh pada pendirian yang sudah dipilih)
- At Ta’aawun yang mengandung arti tolong menolong, gotong royong dan solidaritas (setia kawan)
- Al ‘Adalah yang mengandung arti: bersikap adil, obyektif, proporsional dan taat asas.
- Al Istiqomah yang mengandung arti: konsisten, aleg, berkesina bungan dan berkelanjutan
Selain itu, Nu juga memiliki nilai keaswajaan yaitu tasamuh, tawazzun, tawassuth, I’tidal, dan ma’ruf nahi munkar. Semua nilai ini perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita, sehingga akan membentuk karakter anak.
Anak-anak yang hidup dengan akhlak di atas, tentu saja tidak akan mampu melakukan tindak kekerasan kepada orang lain. Prinsip kejujuran, keadilan, dan saling menolong akan mencegahnya menyakiti orang lain.
Lalu, orangtua dan guru perlu mengembangkan kecakapan hidup anak-anak. Termasuk di dalamnya adalah membangun rasa percaya diri yang sehat, keterampilan interpersonal, keterampilan mengelola diri terutama mengelola emosi, keterampilan komunikasi, dan keterampilan mengambil keputusan.
Anak-anak dengan rasa percaya dir tinggi cenderung lebih mandiri dan tidak mudah terpengaruh. Mereka memiliki disiplin dan pengelolaan diri yang baik. Apapun yang mereka de ngar dari teman-teman dan internet, mereka lebih mampu menyaringnya. Saat ada orang berniat jahat, ia tidak mudah terbujuk.
Demikian juga, anak-anak yang trampil mengambil keputusan akan lebih mampu menjaga dirinya saat berinteraksi dengan orang lain. Misalnya saja, ia akan dapat segera mengambil tindakan cepat saat berada dalam situasi darurat yang membahayakannya.
Dengan demikian, anak terhindar dari resiko menjadi korban kekerasan dan kekerasan seksual.
Memperkuat aspek-aspek ini dalam kehidupan anak menjadi sebuah investasi yang sangat penting, bukan hanya dalam hal kekerasan oleh dan terhadap anak.
Namun, hal ini menuntut kemauan dan kegigihan orang tua untuk belajar menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak-anaknya. Bukan hanya anak yang diminta untuk berubah, tetapi yang paling penting adalah orang tua perlu berubah terlebih dahulu. Perubahan inilah yang menjadi penentu hasil dari doa-doa kita setiap saat:
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah ke pada kami, pasangan-pasangan kami, dan keturunan kami sebagai penyejule pandangan mata (kami), dan jadikan lah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” Amin.
*Alissa Wahid, Psikolog.