Kejatuhan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari kepresidenan dalam Sidang Istimewa (SI) Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) 23 Juli 2001 dari segi-segi tertentu merupakan ironi. Pada satu segi pergantiannya melalui SI MPR dan, dengan demikian, tidak diberi kesempatan lebih lanjut oleh MPR untuk melanjutkan masa jabatannya sampai 2004, melanjutkan tradisi suksesi yang tidak normal dalam kepemimpinan nasional sejak masa Presiden Soekarno.
Pada segi lain, pelengseran Abdurrahman Wahid merupakan realitas politik yang amat pahit bagi “Islam politik”, dalam hal ini, tegasnya bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan agaknya juga bagi Nahdlatul Ulama (NU) secara keseluruhan.
Kini, kepahitan itu berlipatganda dengan perpecahan yang timbul dalam PKB antara Matori Abdul Djalil dan Abdulkhaliq Ahmad yang dipecat dengan para pimpinan PKB lainnya. Ketua Dewan Syura PKB, Abdurrahman Wahid, bisa diduga, memilih berpihak kepada kelompok terakhir dengan mengukuhkan pemecatan kedua nama tadi.
Kejatuhan Abdurrahman Wahid ada baiknya mengingat kelekatan manuver-manuver politik PKB dengan NU, khususnya Ketua Umum Tanfidziyah, KH Hasyim Muzadi dan sejumlah “political-oriented kiai” lain, kini tidak hanya PKB yang harus menelan pit pahit. NU secara keseluruhan, sedikit banyak juga terkena imbas.
Masih syukur, Ketua Syuriyah NU, KH Ahmad Sahal Mahfudz dapat melakukan “Political disengagement”, misalnya, dengan tidak ikut serta dalam “Istigatsah kubra” di Lapangan Parkir Senayan menjelang keluarnya Memorandum II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik partisan. Ketua Syuriah NU menjaga kaum nadliyin tidak terseret jauh dalam kasus kejatuhan Abdurrahman Wahid.
Memang, PKB didirikan Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh NU lain sebagai partai “terbuka”, inklusif yang menampung tidak hanya warga Nahdliyyin, tetapi juga non-Nahdliyyin, bahkan non-Muslim. Tetapi, pada prakteknya, PKB tetap merupakan parpol NU par-excellence.
Bahkan dalam istilah Wahid sendiri, jika NU diibaratkan “induk ayam”, maka PKB adalah “telur emas”-nya, sedangkan parpol-parpol Nahdliyyin lain hanyalah “kotoran” belaka. Kelekatan NU dengan PKB, dengan demikian, sejak awal telah dikukuhkan, bukan hanya pada tingkat massa, tetapi juga pada tingkat wacana. Dengan wacana, seperti ungkapan Wahid di atas, maka jelas kelekatan NU dengan PKB menjadi semakin terkukuhkan.
Kedekatan NU dengan PKB bahkan semakin sulit dipersoalkan ketika Abdurrahman Wahid yang mendirikan PKB ketika ia masih menjabat Ketua Umum Tanfidziyyah NU kemudian menjadi Ketua Dewan Syura PKB. Posisi sangat penting yang bukan tidak mirip dengan posisi Presiden Soeharto sebagai “Ketua Dewan Pembina” Golkar masa lalu membuat Wahid sangat kuat vis-a-vis warga Nahdliyyin umumnya.
Dengan posisi ini Wahid tidak lagi sekedar bertumpu pada kharisma pribadinya sebagai mantan Ketua Umum PB NU, tetapi juga pada kerangka organisasional PKB untuk mengendalikan dan mengarahkan aktualisasi politik warga Nahdliyin.
Baca Juga: Profil Gus Dur di Al-Azhar Mesir
Bagi PKB kelekatan dengan NU merupakan keniscayaan jika ingin tampil secara signifikan dalam kancah politik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, tanpa dukungan NU, warga Nahdliyin juga memberikan suaranya secara lebih banyak dalam Pemilu 1999 lalu kepada parpol-parpol Nahdliyin lain, seperti Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), atau bahkan kepada Partai SUNI.
Bagi NU sendiri kelekatan yang begitu dekat dengan PKB memunculkan banyak masalah. Pertama, yang paling pokok adalah bahwa NU kembali terseret apakah langsung maupun tidak langsung ke dalam politik praktis. Terutama saat kejatuhan Abdurrahman Wahid
Padahal, pada segi lain, NU sejak 1984 telah bertekad untuk kembali ke “Khittah 1926” dengan memfungsikan diri kembali sebagai “jam`iyyah” sosial-keagamaan. Euforia politik di kalangan pemimpin dan warga Nahdliyin sejak 1998 sekali lagi membuat NU menjauh dari harapan untuk kembali ke “Khittah 1926”.
Kedua, dengan terseretnya NU ke dalam politik PKB, maka “Political-oriented kiai” mendapatkan momentumnya, yang pada gilirannya mengorbankan sebagian kiai-kiai lain yang berusaha memelihara NU pada relnya yang benar sebagai organisasi sosial keagamaan sesuai dengan Khittah 1926.
Kiai-kiai berorientasi politik kelihatan cukup sadar tentang hubungan yang erat antara knowledge and power, bahwa ilmu—apalagi ilmu agama—yang memiliki aura ilahiah—dapat diaktualisasikan ke dalam politik dan kekuasaan. Reformasi dan liberalisasi politik merupakan momentum yang sangat baik bagi para kiai berorientasi politik untuk tampil kembali.
Sementara itu, kiai-kiai yang berusaha menjaga NU agar tetap dalam khittahnya ini sering tidak dapat berbuat banyak, karena kiai-kiai berorientasi politik cenderung lebih mendapat perhatian publik dan media massa. Sehingga pada gilirannya sulit dihindari, visi dan kiprah kiai-kiai berorientasi politik bagi banyak kalangan masyarakat hampir diidentikkan dengan sikap NU secara keseluruhan. Kiai model begini tidak terseret terlalu jauh dalam peristiwa kejatuhan Abdurrahman Wahid.
Dalam kasus terakhir, rekomendasi (taushiyah) sebagian kiai NU berorientasi politik agar Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit pembekuan DPR dan MPR seolah-olah menjadi sama sebangun dengan sikap NU.
Harus diakui, sepanjang sejarah NU selalu terjadi tarik menarik di antara kiyai-kiyai “Khittah 1926” dengan kiai-kiai berorientasi politik. Dalam tarik menarik ini, kiai-kiai “Khittah 1926” cenderung “terpinggirkan”; sebaliknya kiai-kiai yang memiliki orientasi politik bersama politisi NU praktis memegang kendali organisasi.
Meski kiai-kiai memiliki posisi tertinggi dalam organisasi melalui lembaga Syuriyah, pengelolaan NU sehari-hari berada di tangan non-kiai yang sebagian besarnya adalah politisi atau aktivis. Dan, sebaliknya, kiai-kiai “Khittah 1926” tetap lebih berkonsentrasi pada dunia keagamaan dan kepesantrenan, dan terus menjaga jarak dengan politik.
Kejatuhan Abdurrahman Wahid menimbulkan sebuah fenomena. NU dengan tradisi inklusivisme dan bahkan “Liberalisme”nya yang terlihat sangat menonjol pada dasawarsa 1990, dengan jujur harus dikatakan, telah menjadi korban dari kiprah sayap politik NU, tegasnya PKB. Pengalaman PKB sendiri sekali lagi menunjukkan kegagalan Islam politik. Bahkan “fatwa” dan taushiyah ulama berorientasi politik di lingkungan NU sekalipun gagal menyelamatkan Abdurrahman Wahid dan PKB. Wallahua`lam bish shawab.
Azyumardi Azra/Abdurrahman