tebuireng.co – Kebiasaan masyarakat muslim Indonesia menyambut datangnya bulan Ramadan cukup berbeda, tapi penuh suka cita, seperti megengan dalam tradisi Jawa.
Syariat bersuka cita dalam menyambut datangnya bulan Ramadan merupakan ajaran Islam, salah satunya diterangkan oleh Syekh Usman al-Khoubawy dalam Kitab Durrot An-Nasihin:
ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ
“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda :
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Artinya: “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang atau terjauhkan (dari kebaikan).”
Dari kedua sumber ini sudah sepatutnya umat Islam menyongsong datangnya bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan dan suka cita, karena keutamaan dan fadilah yang terdapat dalam bulan ini.
Namun, ada satu kebiasaan atau budaya umat Islam Indonesia yang sedikit unik, karena berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad. Yakni ketika memasuki pertengahan terakhir bulan Ramadan.
Budaya umat muslim yang mulai terasa menurun semangatnya dalam beribadah dan melaksanakan ibadah-ibadah di bulan Ramadan.
Di permulaan bulan Ramadan masyarakat sangat semangat dalam beribadah, bahkan tak jarang masjid-masjid atau musala-musala dipenuhi jamaah untuk melaksakan salat tarawih dan tadarusan Al-Qur’an.
Namun, anehnya, kebiasaan masyarakat muslim setelah memasuki pertengahan akhir Ramadan jumlah jamaah di masjid dan musala mulai berangsur-angsur berkurang.
Ibarat daun pohon yang semula lebat mulai berguguran, yang semula saf salat tarawih yang penuh, berangsur-angsur berkurang hingga tersisa satu atau dua slof saja.
Padahal, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk mengencangkan sarung kita dan menambah kuantitas dan kualitas ibadah kita kala memasuki pertengahan terakhir bulan Ramadan, terkhusus pada 10 hari terakhir bulan Ramadan yang terdapat malam Lailatu Qodar, yakni malam yang lebih baik daripada 1000 bulan (83 tahun).
Dalam satu hadis disebutkan, bahwa Sayidah “Aisyah radliyallahu’anha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ ، أَحْيَا اللَّيْلَ ، وَ أَ يْقَظَ أَهْلَهُ ، وَجَدَّ ، وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
(متفق عليه واللفظ لمسلم)
Maknanya :“Bahwasanya Rasulullah shollahu’alaihi wa salam ketika sepuluh malam terakhir Ramadan telah tiba, Beliau menghidupkan malam dengan salat dan berbagai ibadah, membangunkan keluarganya untuk salat malam dan ibadah-ibadah yang lain, bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi apa yang biasanya dilakukan dan tidak menggauli istri-istrinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang semula masjid-masjid dan musala-musala ramai oleh umat muslim, justru setelah mendekati hari raya (pertengahan terakhir Ramadan) malah pasar dan mall yang dipenuhi oleh umat muslim.
Sungguh, hal ini harusnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk intropeksi diri dan bermuhasabah untuk tetap beristikamah dalam beribadah di bulan Ramadan dengan menambah kuantitas dan kualitas ibadah dan amal saleh lainnya untuk mengharap ridlo dan maghfiroh-Nya Allah SWT.
Penulis : Muhammad Hery Alfatih