tebuireng.co – Kasus pemerkosaan menjadi sulit untuk diselesaikan ketika pendekatan yang digunakan yaitu memasukkan kasus pemerkosaan dalam kategori zina dan harus ada saksi yang melihat langsung
Padahal, akhir-akhir ini kabar mengenai kekerasan seksual menjadi hal yang kerab sekali menghiasi informasi arus utama di layar kaca dan media massa lainnya.
Menurut catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (BADILAG)ada sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan.
Ratusan ribu kasus tersebut didapatkan dari data pengaduan ke Komnas Perempuan sebanyak 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).
Pelanggaran hukum berupa pelecehan seksual selain bermasalah dengan moralitas pelaku serta lingkungan sekitarnya juga menimbulkan problem atas kepastian hukum dan rasa keadilan dari pihak korban.
Sebagai contoh kekerasan seksual berupa kasus pemerkosaan yang dilaporkan tanpa adanya seorang pun saksi mata, bila dikaitkan dengan hukum Islam (fikih peradilan) permasalahan ini akan semakin delematis bahkan solusi hukumnya cenderung merugikan pihak korban.
Di satu sisi, jika korban melaporkan pada pihak yang berwajib, pelapor tidak akan banyak bisa berbuat karena pemerkosaan terjadi tanpa ada saksi mata bahkan pelapor sendiri bisa terkana imbasnya, karena dianggap menuduh orang lain (baca: pemerkosa) telah berzina tanpa bisa menghadirkan empat orang saksi mata.
Sehinggah beresiko pada ancaman hukuman menuduh zina (qadzaf), laporan pengaduan ini bahkan bisa mengarah menjadi sebuah pengakuan bahwa pelapor telah berzina (iqror bi zina).
Terkadang solusi yang ditawarkan masyarakat yaitu menikahkan pelaku dan korban dari perkosaan. Ini tentu bukan pilihan yang tepat, karena bisa mendatangkan trauma mendalam bagi korban.
Di sisi lain, jika dia tidak melaporkan kasus ini maka selamanya peristiwa ini akan menjadi trauma psikologis, dan jika ini berdampak pada kehamilan bisa jadi pula ia akan terkena tuduhan berzina, yang akhirnya akan mendapatkan sangsi had.
Sementara sang pelaku pemerkosaan akan hidup berhela-hela lepas dari jerat hukum, lantas bagaimana sebenarnya fikih Islam membela hak korban pemerkosaan.
Menurut ulama Syafi’iyah, tindakan pembuktian atas perzinahan atau pemerkosaan tanpa adanya saksi atau pengakuan dari pelaku atau pun li’an tidak dianggap, bahkan si pelapor bisa terjerat hukuman tuduhan perzinahan atau bahkan terancam hukuman pengakuan perzinahan terhadap dirinnya, hal ini berdasarkan nash Al Qur’an:
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya) (QS. An Nisa’:15).
Ayat lain juga menekankan untuk adanya saksi:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. (QS.An Nur: 4)
Namun menurut Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, pengakuan saksi tersebut dapat dibenarkan jika terdapat indikasi kebenaran atas apa yang dilaporkan seperti bukti berupa video, rekaman cctv atau foto dan lain-lain sehingga hukuman iqrar bi zina dan had qodzaf tidak lagi mengancam pihak pelapor sebagaimana yang dikutip oleh Ibnul Qoyyoim Al Jauziyah dalam kitab At Thuruq al Hukmiyah , halaman 11
وَبِالْجُمْلَةِ: فَالْبَيِّنَةُ اسْمٌ لِكُلِّ مَا يُبَيِّنُ الْحَقَّ وَيُظْهِرُهُ وَمَنْ خَصَّهَا بِالشَّاهِدَيْنِ، أَوْ الْأَرْبَعَةِ، أَوْ الشَّاهِدِ لَمْ يُوَفِّ مُسَمَّاهَا حَقَّهُ. وَلَمْ تَأْتِ الْبَيِّنَةُ قَطُّ فِي الْقُرْآنِ مُرَادًا بِهَا الشَّاهِدَانِ وَإِنَّمَا أَتَتْ مُرَادًا بِهَا الْحُجَّةُ وَالدَّلِيلُ وَالْبُرْهَانُ، مُفْرَدَةً مَجْمُوعَةً وَكَذَلِكَ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي» الْمُرَادُ بِهِ: أَنَّ عَلَيْهِ بَيَانُ مَا يُصَحِّحُ دَعْوَاهُ لِيَحْكُمَ لَهُ، وَالشَّاهِدَانِ مِنْ الْبَيِّنَةِ وَلَا رَيْبَ أَنَّ غَيْرَهَا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَيِّنَةِ قَدْ يَكُونُ أَقْوَى مِنْهَا، لِدَلَالَةِ الْحَالِ عَلَى صِدْقِ الْمُدَّعِي. فَإِنَّهَا أَقْوَى مِنْ دَلَالَةِ إخْبَارِ الشَّاهِدِ، وَالْبَيِّنَةُ وَالدَّلَالَةُ وَالْحُجَّةُ وَالْبُرْهَانُ وَالْآيَةُ وَالتَّبْصِرَةُ وَالْعَلَامَةُ وَالْأَمَارَةُ: مُتَقَارِبَةٌ فِي الْمَعْنَى.
Secara umum bayyinah merupakan nama bagi setiap perkara untuk mengungkap dan menampakkan kebenaran, barang siapa yang mengkhsuskan bayyinah pada satu, dua atau empat saksi maka ia tidak dapat mengakomodir dari perkara yang dinamai. Dan di dalam Al-Qur’an tidak satupun kata bayyinah diartikan sebagai dua orang saksi, yang ada bayyinah diartikan sebagai hujjah, dalil dan burhan. Begitu pula yang dimaksud dengan ucapan Nabi (bayyinah bagi mudda’I/ pihak pelapor) ialah bahwa bagi pelapor hendaknya memiliki hujjah untuk membenarkan tuduhannya agar hakim dapat memberikan putusan perkara. Dua orang saksi termasuk bagian dari bayyinah dan tidak menutup kemungkinan bayyinah yang lain lebih kuat daripadanya, seperti petunjuk yang terdapat pada kondisi atau keadaan pelapor untuk menunjukkan kebenarannya, hal ini tentu lebih kuat daripada hanya kesaksian. Bayyinah, dalalah, hujjah, burhan, ayat, tabshirah, alamat, amarat merupakan beberapa istilah yang hampir sama maknanya.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa saksi bukan satu-satunya argumentasi ketika melaporkan kasus pemerkosaan. Ketika ada bukti yang lebih kuat maka bukti tersebut bisa dipakai.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Imam Malik, Ahmad dan Abi Hanifah yang tidak harus dengan empat saksi, tapi dengan kehamilan juga bisa menjadi bayyinah –
الطروق الحكمية 97-100
وأما الجمهور – كمالك وأحمد وأبي حنيفة فإنهم نظروا إلى القرائن الظاهرة والظن الغالب الملتحق بالقطع في اختصاص كل واحد منهما بما يصلح له , ورأوا أن الدعوى تترجح بما هو دون ذلك بكثير , كاليد والبراءة والنكول , واليمين المردودة , والشاهد واليمين , والرجل والمرأتين , فيثير ذلك ظنا تترجح به الدعوى , ومعلوم أن الظن الحاصل هاهنا أقوى بمراتب كثيرة من الظن الحاصل بتلك الأشياء , وهذا مما لا يمكن جحده ودفعه. الى ان قال … والشهادة إنما تكون على القطع , فدل على أن الأمارة تفيد القطع وتسوغ الشهادة الى ان قال … وجعل الصحابة رضي الله عنهم الحبل علامة وآية على الزنا فحدوا به المرأة وإن لم تقر , ولم يشهد عليها أربعة , بل جعلوا الحبل أصدق من الشهادة , وجعلوا رائحة الخمر وقيئه لها: آية وعلامة على شربها , بمنزلة الإقرار والشاهدين. الى ان قال … وهذا في الشريعة أكثر من أن يحصر وتستوفى شواهده. فمن أهدر الأمارات والعلامات في الشرع بالكلية فقد عطل كثيرا من الأحكام , وضيع كثيرا من الحقوق
Wallahu a’lam
Referensi: Data komnas perempuan, Bughyatul musytarsyidin, Tasyri’ al jina’i, Bulghotus salik liaqrobil masalik, At Thuruq Al Hukmiyah fis Siyasah Asy Syar’iyah.
Oleh : Achmad Shidiqur Razaq