Pertanyaan yang seram meskipun mudah, tapi sulit dijawab yaitu, kapan nikah?. Pertanyaan ini bisa muncul dari tetangga, teman, guru, atau orang yang baru kenal di jalan. Pertanyaan unik dan agak seram. Agar tulisan ini tidak terkesan seram, mari kita awali dengan puisi cinta.
Cintaku kepadamu telah mewaktu
Syair ini juga akan mewaktu
Yang jelas usianya akan lebih panjang
dari usiaku dan usiamu….
Tulisan diatas milik WS Rendra, Sajak Cinta ditulis pada usianya 57 tahun. Menggambarkan umur cinta itu lebih panjang dari yang mengatakan “kata cinta itu sendiri.” Sajak di atas ada benarnya, banyak kisah cinta pasangan suami istri yang masih diceritakan oleh masyarakat walaupun mereka sudah tak hidup lagi. Keromantisan mereka menjadi inspirasi banyak pihak untuk mengarungi kehidupan.
Kisah nyata romantis memang asyik diceritakan dan didengarkan apalagi salah satu diantara pasangan itu masih hidup. Tamsil percintaan Habibie-Ainun yang sampai dibawa ke layar lebar. Film ini menginspirasi banyak ayah untuk lebih menghargai istrinya. Ada juga kisah Gus Mus atau KH Mustofa Bisri yang sering membuat puisi untuk istrinya yang sudah wafat. Kecintaan Gus Mus pada istrinya sering terlihat dalam puisi cintanya di dinding Facebook dan dibagikan oleh banyak masyarakat terutama kaum pesantren.
Kisah-kisah cinta romantis ini tak selalu berkonatasi baik. Kadang digunakan untuk menghakimi dan menyudutkan seseorang yang belum nikah. Seakan orang yang tidak menikah adalah sesuatu yang buruk. Sehingga harus terus didorong bahkan cenderung dipaksakan. Setiap acara keluarga, resmi atau tidak, pembahasannya selalu berkaitan dengan nikah. Mengalahkan pembahasan lain seperti keilmuan, keadilan, kejujuran dan masalah dakwah.
Dalam pikiran saya, pemaksaan untuk menikah lebih tepatnya diarahkan kepada pasangan yang sudah menjalani hubungan cukup lama tapi tidak segera menikah. Mereka layak dipaksa, agar tak menambah daftar baru dosa. Namun, bagi orang yang tak tertarik dengan pembahasan nikah, mengulik bab pernikahan hanya menghabiskan waktu dan memberikan efek tidak nyaman pada orang lain. Kehadiran keluarga saat momentum bahagia seperti Idul fitri dan Idul Adha hilang sakralnya hanya karena semua menanyakan kapan nikah. Muspro.
Ulama ada juga yang tidak menikah, Imam Nawawi misalnya. Hanya saja, saya tidak hendak membahas hal itu lebih jauh. Menarik dibahas adalah kisah cinta dua insan yang bisa saling melengkapi dan menutupi konflik di antara keduanya. Ada yang perlu kita tanyakan, kenapa Habibie dan Gus Mus bisa punya kisah cinta sedalam itu. Jawaban sebenarnya cukup gampang. Karena mereka punya pasangan yang baik buat mereka. Pasangan yang sudah tak melihat kekurangan satu sama lain tapi berusaha mengisinya. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun.
Sehebat apapun orang membenci pasangan tapi mereka tetap menolak bodoh karena merekalah paling tahu tentang pasangannya. Orang luar hanya melihat dari satu sisi atau cerita orang. Kesimpulan mudahnya, jika ingin punya kisah cinta yang menginspirasi maka pilihlah suami atau istri yang cocok dengan kita. Bukan karena paksaan, perjodohan (kecuali ridlo) atau kecelakaan (hamil duluan).
Awali kisah rumah tangga dengan cinta, dan sesuai dengan pilihan hati. Jangan menikah karena malu atau takut dikatakan tak laku. Menikahlah karena ingin menikah dan butuh pendamping. Terpenting, pastikan suami atau istri itu sesuai pilihan hati. Mencintai setengah hati tidak baik buat rumah tangga. Apalagi tidak mencintai sama sekali. Kecuali memang sudag siap untuk menjalani konflik.
So, nikah bukan urusan cepat atau lambat. Nikah juga bukan ukuran kejantanan seorang pria. Nikah hanyalah sunah yang cocok dengan syahwat sehingga banyak peminatnya. Nabi memang menyuruh kita menikah tapi Nabi Muhammad juga menyuruh umatnya mencari calon suami atau istri yang benar-benar baik untuk dinikahi, setidaknya agamanya.
Perumpamaan Nabi yaitu sawah yang subur. Dalam sejarah kehidupan manusia banyak sekali ulama-ulama yang jomblo hingga akhir hayatnya, contohnya lagi yaitu Ibnu Taimiyah. Ini menggambarkan bahwa nikah tidaklah mewakili kejantanan seseorang. Terlalu sempit definisi ini. Bagi saya, biarkan pria itu hidup atas kebebasannya dalam berfikir dan berkarya. Jika ia butuh wanita dia akan mencari dengan caranya sendiri, cara halal pastinya.
Ada yang langsung menyatakan cintanya kayak Soekarno. Ada juga yang lewat orang lain kayak Hatta. Ada juga yang harus menunggu bertahun-tahun hingga siap menikah seperti Nurcholis Madjid dan pastinya juga ada lewat orang lain seperti Gus Dur. Apakah semua pria yang saya sebutkan itu pengecut?. Tidak, mereka adalah tembok bagi ketidakadilan dan penjajah. Semua dilawan.
Lewat proses cinta mereka yang unik maka mereka menemukan bidadari yang setia hingga akhir hayat. Lantas bagaimana pria yang tidak berani mengambil sikap ketika ditanya untuk nikah?.
Dia punya pertimbangan, tanya baik-baik, minta ketegasan dan boleh ditinggalkan baik-baik. Tapi semua harus diawali dengan baik. Karena pria baik tidak akan menolak niat baik. Hemat saya, nikah atau tidak nikah bukan tanda pria itu jantan atau tidak. Tidak cukup. Tapi jika menemukan wanita yang baik dalam agama, nasab, ilmu dan parasnya maka nikah pilihan baik dan tepat. Kapan Nikah?