Bersyukur itu mudah, tetapi ternyata tidak semua orang bisa merasakannya. Syukur terkait dengan nikmat. Tanpa diminta, nikmat sebenarnya sudah diterima sejak seseorang memulai hidupnya. Nikmat itu bermacam-macam, baik berupa hidup itu sendiri, kesehatan, rizki, kehormatan, kedudukan, kepercayaan, dan tentu masih banyak lagi lainnya.
Perintah agar manusia selalu bersyukur sedemikian banyak di dalam Al Quran. Tapi memang hanya sedikit orang yang dapat bersyukur. Orang yang dapat bersyukur akan ditambah nikmatnya, sebaliknya orang yang kufur diancam dengan siksa di akhirat kelak. Akan tetapi juga begitu, dikaruniai nikmat berapapun banyaknya, seseorang tidak selalu mampu bersyukur. Kemampuan bersyukur tidak terkait dengan jenjang pendidikan, usia, atau posisi seseorang di tengah masyarakat. Tidak sedikit orang yang tidak berpendidikan tetapi pandai bersyukur dan sebaliknya, orang yang berpendidikan tinggi, ternyata tidak bersyukur. Kemampuan bersyukur bisa saja diraih oleh orang yang tidak mengenal pendidikan dan atau tidak memiliki posisi apa-apa di tengah masyarakat.
Betapa sulitnya orang bersyukur, sehingga ada seorang kiai yang mengilustrasikannya melalui kisah sederhana tetapi jelas dan mengena. Dalam kisah itu disebutkan ada seorang yang sebenarnya sudah berhasil membangun rumah sekalipun berukuran kecil. Ketika awal rumah itu ditempati, semua keluarganya merasa senang menempati rumah kecil dan sederhana dimaksud. Akan tetapi, setelah anak-anaknya menginjak dewasa, dirasakan rumahnya itu sudah tidak mencukupi. Anak dan istrinya sehari-hari merasa sumpek dan usul, agar rumahnya diperluas.
Oleh karena tidak tersedia anggaran untuk memenuhi kemauan istri dan anaknya tersebut, dalam suasana kebingungan, yang bersangkutan datang ke rumah kiai untuk meminta nasihat. Mengetahui kenyataan tersebut, pemuka agama dimaksud menyarankan agar pergi ke pasar membeli kambing dan pada waktu malam meletakkannya di rumah. Sedemikian percayanya pada kiai, dibelilah kambing dan pada waktu malam diletakkannya di rumah yang sudah dirasa sempit dimaksud.
Melihat keputusan kepala keluarga tersebut, maka istri dan anaknya ribut. Suasana keluarga yang tidak menyenangkan tersebut diadukan kepada kiai yang telah memberi nasihat. Mendengar laporan itu, kiai menyarankan agar kambingnya ditambah. Menyaksikan kambingnya ditambah, maka seluruh anggota keluarga semakin marah. Suaminya dibilang gila dan tidak waras. Rumah yang sempit masih ditambah beberapa ekor kambing.
Maka kembalilah ia ke rumah kiai, melaporkan keadaan rumah tangganya setelah kambingnya ditambah jumlahnya. Disampaikan bahwa, keluarganya semakin ribut dan marah. Kemudian kiai menyarankan agar semua kambingnya dijual dan segera melaporkan keadaan rumah tangganya kepadanya.
Setelah merasakan tidak ada kambing di rumahnya, maka ternyata seluruh keluarga merasakan nikmat. Rumah dimaksud menjadi bersih dan tidak berbau. Semua keluarganya merasa senang dan bahagia kembali. Padahal rumahnya masih tetap berukuran kecil dan sederhana. Rupanya, sekedar agar bisa bersyukur, seseorang harus merasakan kesulitan terlebih dahulu. Sekedar menjadi bersyukur ternyata tidak mudah. Seseorang baru merasakan nikmat dan bisa bersyukur setelah melawati penderitaan yang mendalam. Tanpa merasakan pengalaman itu, ternyata tidak mudah seseorang mampu berbuat syukur. Padahal ketika rasa syukur itu telah hilang, maka kehidupan ini tidak akan ada artinya apa-apa. Bahkan jika rasa syukur itu tidak dimiliki, nikmat tidak akan ditambah dan bahkan sebaliknya, kelak di akhirat diancam dengan azab yang pedih. Wallahu a’lam