Pesantren menurut salah satu pemikir Islam Nurcholish Madjid mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Jauh sebelum Islam menyebar luas di nusantara, sistem pendidikan model pesantren sudah berdiri kokoh sekira zaman Hindu-Budha. Bisa dikatakan Islam hanya meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Ini tak bearti mengecilkan peran pesantren yang begitu besar terhadap pendidikan Indonesia.
Masih menurut Nurcholish Madjid, seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan yang cukup lama, maka dimungkinkan sistem pendidikan Indonesia meniru sistem pesantren termasuk dalam penamaan lembaga. Hal ini terlihat dari adanya kesamaan model pendidikan pesantren dan perguruan terkemuka barat yang berorientasi keagamaan. Seperti kampus Harvard yang didirikan oleh pendeta Harvard di Boston, USA. Harvard telah melahirkan begitu banyak tokoh besar di USA.
Kembali ke Indonesia, bisa jadi jika memang kita tidak dijajah maka nama kampus di Indonesia bukan Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Indonesia (UI) melainkan Universitas Tebuireng, Universitas Lasem, Universitas Tambakberas dan Universitas Langitan. Mungkin juga, pesantren tempatnya tidak di desa-desa kecil tapi di pusat kota. Karena menentukan arah bangsa dan Negara. Jika mau jujur, lembaga pendidikan pesantren mengajarkan kemandirian sejak awal dan ini berbeda dari UI yang hanya kelanjutan dari lembaga di masa penjajahan.
Sebagai jurnalis NU Online sejak 2016, saya sering terlibat dalam diskusi resmi dan non resmi bersama beberapa tokoh Jombang dan nasional. Dalam kerangka liputan itu saya melihat Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah pemimpin yang berwawasan luas dan memiliki visi-misi yang jelas kedepannya. Saat wawancara, Gus Sholah selalu bicara dengan data dan punya cara pandangan sendiri yang kokoh. Saya berpikir, Gus Sholah ingin memberikan tandingan bagi Harvard tapi lewat pendidikan pesantren. Keputusan ini sangat tepat, karena pesantren terlatih mandiri sejak awal dan akarnya lebih kuat di masyarakat. Seperti diketahui, rektor kampus negeri di Indonesia dipilih berdasarkan arah angin politik praktis. Sehingga kebijakannya banyak mendukung pemerintah yang ada. Peran akademisi sebagai pencerah di masyarakat tidak berjalan bagus. Dosen lebih banyak cari proyek pemerintah dari pada mengabdikan diri di masyarakat. Kesetian pada nilai kemanusian bisa dilanjutkan bila insan akademisnya memegang nilai luhur sang ilahi.
Harvard dengan segala kemajuannya, tidak meninggalkan ajaran agama yang menjadi pondasinya sejak awal. Harvard masih mengajarkan teologis, monumen-monumen keagamaan masih banyak juga di sekitar kampus seperti gereja dan koleksi barang keagamaan.
Peran Harvard sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan gagasan-gagasan mutakhir tidak dimainkan oleh Tebuireng. Padahal banyak juga tokoh-tokoh nasional yang lahir dari pesantren yang didirikan oleh KH M Hasyim Asyari ini. Gus Sholah lewat pemikiran yang sehat akhirnya melahirkan ide-ide yang luar biasa untuk Tebuireng. Hal ini terlihat dari keseriusan Gus Sholah membangun fisik Tebuireng diawal ketika diamanahi jadi pengasuh tahun 2006. Tokoh yang pernah jadi calon wakil presiden pemilu 2004 ini merubah bangunan asrama santri menjadi lebih bagus, tata kelola pesantren lebih rapi dengan adanya pengurus yang jelas hingga pembina kamar santri.
Selanjutnya, Gus Sholah juga menggerakkan dunia literasi Tebuireng dengan mendukung penuh pendirian unit penerbitan yang mewadahi Majalah Tebuireng, Pustaka Tebuireng, Tebuireng Online dan Rumah Produksi. Lewat unit ini, bermunculan buku-buku tokoh Islam yang cukup banyak serta tulisan pemikir Islam Indonesia lebih mendunia lewat jejaring cetak dan online. Ini usaha yang sangat serius dari Gus Sholah untuk mengembangkan Tebuireng sebagai pusat peradaban Islam dan dunia. Tak banyak pesantren yang rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk masalah ini dan Gus Sholah memilih menggelontorkan dana dan perhatian pada masalah literasi.
Di bawah asuhan Gus Sholah, Tebuireng menjelma menjadi holding institusion, jadi institusi induk kayak perusahaan. Ini tak terlalu berlebihan, di dalam Pesantren Tebuireng ada Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, Muallimin, ada Sekolah Dasar (SD) Islam dan perguruan tinggi. Tidak hanya itu, sejak 2008 Tebuireng juga memiliki koperasi yang mengelola beberapa bidang usaha seperti konveksi, menyediakan oleh-oleh untuk para peziarah ke Tebuireng, kantin santri dan simpan pinjam. Ada juga Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) yang fokus mengelola zakat, infaq dan sedekah masyarakat untuk kesejahteraan umat. Tak cukup hanya itu, pada 2007 mulai dibangun poliklinik baru hasil kerjasama antara Pesantren Tebuireng dan Konsulat Jepang di Surabaya. Kemudian klinik ini diberi nama Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren).
Beberapa hal di atas menunjukkan keseriusan Gus Sholah mengangkat derajat pesantren yang selama ini dianggap jorok, terbelakang, dan amburadulnya tata kelola administrasi menjadi model baru yang terstruktur dan terencana secara masif. Hemat saya, putra KH Wahid Hasyim ini telah berhasil menunjukkan pada dunia bahwa Pesantren Tebuireng sebagai holding dari berbagai institusi di dalamnya.
Kesungguhan KH Salahuddin Wahid dalam memikirkan arah masa depan Tebuireng diakui oleh putranya Irfan Asyari Sudirman (Ipang Wahid) yang melihat hingga akhir hayat sang ayah masih memikirkan Pesantren Tebuireng, Nahdlatul Ulama, Universitas Hasyim Asyari (Unhasy) dan Rumah Sakit Hasyim Asyari. Selain Pengasuh Tebuireng, Gus Sholah memang juga Rektor Unhasy. Bisa dikatakan setiap langkah dan tindakan dari Gus Sholah terselip pengabdian pada Tebuireng, Nahdlatul Ulama dan Unhasy. Mengabdi kepada Tebuireng dan Nahdlatul Ulama bearti mengabdi kepada Allah dan KH M Hasyim Asyari. Keyakinan ini yang membuat Gus Sholah masih menggambar gedung rektorat Unhasy dan menulis untuk harlah Nahdlatul Ulama saat tergeletak di rumah sakit.
Seakan tak ada habisnya ide, Gus Sholah membawa Tebuireng membuka cabang di berbagai daerah di Indonesia. Ini semakin menguatkan pengaruh Pesantren Tebuireng sebagai holding. Hal-hal yang tidak difikirkan umumnya manusia tapi dilakukan Gus Sholah, misalnya dalam manajemen pesantren atau mungkin pengelolaan hidup sehari-hari. Hemat saya, Gus Sholah ingin santri-santri di masa depan memainkan peranan besar dan menentukan arah nasional bahkan dunia. Namun tanpa kehilangan nilai-nilai yang diperjuangkan pesantren. Seperti tasamuh, kejujuran, ikhlas, kerja keras, tanggung jawab. Kelima nilai ini diajarkan secara massif di Tebuireng oleh Gus Sholah. Termasuk dalam diklat kader Tebuireng yang diadakan setiap tahun di Pesantren Tebuireng 2. Lima nilai dasar ini dikupas secara rinci, satu persatu. Para kader ini kemudian menjadi pembina kamar santri, pengurus pesantren dan dikirim ke berbagai wilayah untuk syiar Islam. Fungsi pesantren sebagai pengembangan tugas moral dan amanat ilmu pengetahuan menjadi nyata di sini.
Selama ini banyak pesantren yang lemah pada visi dan misi yang dibawa. Sehingga rencana kerja dan program pesantren hanya berjalan mengikuti arus saja dan tidak banyak perubahan yang terjadi. Sering kali, kebijakan pesantren beriringan dengan kemauan dari pengasuhnya saja bukan berjalan diatas sistem yang kuat. Efeknya, ketika pengasuhnya pergi keluar kota atau wafat maka pesantren mengalami kelumpuhan bila tidak dikatakan mati. Ini tidak berlaku pada Tebuireng era Gus Sholah, manajemen yang sehat membuat pesantren ini terus berjalan sesuai visi-misinya saat ada dan tiadanya tokoh sentral. Tentu tak salah pesantren yang masih bergantung pada sosok pengasuh secara totalitas. Hanya dikhawatirkan, keterbatasan fisik dan pemikiran seoarang pengasuh menjadikan pesantren sulit menjadi agen perubahan utama dalam masyarakat. Semisal, seorang pengasuh mengetahui dan mendalami satu bidang tapi tentu banyak bidang lain yang belum diketahui. Disinilah butuh adanya manajemen yang utuh untuk menutupi satu kekurangan dengan kelebihan yang lain.
Satu hal yang mungkin bisa dikritik dari Gus Sholah yaitu tidak ada kepastian waktu bagi para santri untuk bisa bertemu dengan sang pengasuh. Hal ini dikarenakan Gus Sholah tidak mengisi pengajian rutinan kepada santri layaknya kiai umumnya yang memegang satu kitab. Seperti KH M Djamaluddin Ahmad di Tambakberas yang membuka kajian kitab Al-Hikam setiap hari Senin malam atau Ketua PCNU Jombang KH Abdul Nashir Fattah yang mengampu kitab tafsir setiap jumat malam. Umumnya, Gus Sholah hadir di hadapan para santri saat acara resmi pesantren seperti seminar, kajian ilmiah, haul dan menyambut tamu. Ini menyebabkan para santri kadang sampai cukup lama tidak bertemu dengan Gus Sholah.
Saya menilai, para santri Tebuireng harus sering bertemu Gus Sholah untuk melihat secara langsung kepribadian sang pengasuh. Dari sana santri bisa belajar kesederhanaan, semangat menulis, semangat membaca dan keteguhan Gus Sholah dalam berjuang. Ini memang terkesan manja karena Gus Sholah banyak menulis, santri bisa membaca tulisannya di perpustakaan dan website Tebuirengonline. Namun masalahnya tidak semua orang suka membaca.
Tapi terlepas dari tepat atau tidak keputusan yang diambil Gus Sholah, hakikatnya ia tak pernah sedikitpun berhenti memikirkan dan mendoakan para santri Tebuireng. Kenyamanan santri hingga masalah gizi saja diperhatikan. Itulah Gus Sholah, punya cara unik mencintai santrinya.
Nurcholish Madjid membuat ibarat untuk menganalisis pesantren. Mneurutnya kebanyakan pesantren di Indonesia terdiri dalam beberapa kelompok. Pertama kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah berniat baik atau tidak baik. Berada pada koridor pas dengan zaman atau tidak, tak peduli. Apa yang terjadi dibiarkan terjadi begitu saja. Tanpa ada persoalan serius yang harus mereka pikirkan. Kedua adalah kelompok fanatik, pesantren dengan segala bentuknya dianggap benar dan mutlak dipertahankan. Ini menimbulkan kekakuan dalam bersosial. Ketiga, pesantren yang rendah diri dan tidak percaya dengan identitas pesantrennya sehingga ingin mencopot embel-embel pesantren. Terakhir, model pesantren yang mengetahui dirinya secara pasti baik dari segi positif maupun negatif. Tidak hanya itu, pesantren model ini sanggup berpikir jernih melihat mana yang harus dipertahankan dan ditinggal.
Saya melihat Gus Sholah membawa Tebuireng masuk dalam kelompok keempat ini. Karena berani introspeksi diri secara obyektif dan memiliki kemampuan beradaptasi pada perubahan zaman tanpa menghilangkan nilai luhur pesantren. Sehingga saya sangat optimis, bila Gus Sholah memimpin Tebuireng dalam 10 tahun lagi maka Harvard perlu memutar otak serius untuk bersaing dengan Tebuireng. Kenapa 10 tahun?, karena 2020 hingga 2030 adalah masa bonus demografi di Indonesia.
Gus Sholah dikenal sangat suka membaca, sehingga tak mengherankan pemikirannya luas. Saya melihat kebijakannya bergaul dengan tokoh lintas organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al-Khairat adalah langkah Gus Sholah untuk merespon dan mengimbangi perubahan lewat persatuan umat Islam. Ketika umat Islam Indonesia bisa bersatu, maka santri dari pesantren bisa melebarkan sayapnya kemana-mana. Hal ini dibenarkan oleh salah satu sahabat Gus Sholah dari Muhammadiyah M Sirajuddin Syamsuuddin atau lebih dikenal Din Syamsuddin saat peringatan 7 hari wafatnya Gus Sholah. Menurut Din, sahabatnya ini berkali-kali menghubunginya untuk mengadakan pertemuan antar tokoh organisasi masyarakat Islam yang ada di Indonesia.
Namun, sayangnya hingga akhir hayat Gus Sholah tak bisa mewujudkan hal itu. Persatuan Islam menjadi cita-cita besar KH M Hasyim Asyari yang ingin diteruskan oleh KH Salahuddin Wahid. Tak mengherankan, saat Gus Sholah wafat karangan bunga sebagai ucapan belasungkawa tidak hanya datang dari kalangan Nahdlatul Ulama saja tapi juga datang dari organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Persis, Muhammadiyah, Al-Khairat, dan lintas partai juga semisal PKB, PKS, PAN, PSI, PDIP, Gerindra, Golkar, PPP dan partai lainnya.
Para santri bisa melihat Gus Sholah sebagai muslim paripurna yang menggabungkan antara iman, ilmu dan amal dalam kepribadiannya.
Bagi sebagian orang cukup menjalankan norma-norma hukum Islam yang tertulis dalam kitab fikih dan akidah. Padahal itu hanya pengantar manusia menuju insan kamil. Banyak waktu yang dihabiskan untuk berdebat pada tahap pengantar atau syarat ini sehingga tidak terlalu memikirkan bagaimana bisa menerapkan ajaran inti dalam beragama saat bersikap dan berhubungan dengan orang lain. Gus Sholah menurut saya mengamalkan ajaran pokok-pokok Islam yang tidak lekang oleh waktu dan ruang.
Gus Sholah memperjuangkan tiga hal dalam hidupnya yang bersumber dari ajaran Islam yaitu Tuhan, menjadikan hanya Tuhan sebagai tujuan dan penilai dalam setiap aktifitas. Ibadah kepada Tuhan menjadi hiburan dan cenderung hobby yang terus dilakukannya. Beberapa hari sebelum wafat, Gus Sholah diketahui ingin mengkhatamkan kitab suci umat Islam yang selalu ia baca setiap habis subuh bersama sang istri. Kedua adalah kemanusian, Gus Sholah tak pernah berhenti memperjuangkan nilai-nilai kemanusian hingga akhir hayatnya. Ia juga tercatat pernah mengabdi di Komnas HAM.
Nomor tiga yang diperjuangkan cucu KH M Hasyim Asyari ini adalah ilmu pengetahuan. Kegigihannya untuk mencerdaskan generasi muda kadang harus membuatnya terkapar lelah.
Gus Sholah telah pergi pada 02 Februari 2020 lalu, banyak hal yang diukirnya. Banyak cita-cita besarnya belum terwujud. Ini tugas para santri dan muhibbin dari Gus Sholah. Tindakan kelanjutan dari kata, kata mengaku sebagai umat Islam dan santri Tebuireng.
Abdurrahman
Tulisan ini diterbitkan juga di buku “Gus Sholah dalam cerita dan kenangan santri milenial”