tebuireng.co – Jumatan virtual ramai dibahas setelah adanya larangan berkumpul selama pandemi Covid-19. Beberapa ingin menggelar jumat secara online. Mereka merumuskan sah pelaksanaan Jumatan virtual dengan pola analogi terhadap kasus akad nikah yang dilakukan secara online.
Menurut pihak tersebut, akad nikah virtual dengan praktek wali dan suami berada di daerah yang berbeda hukumnya adalah sah.
Mereka berargumen potensi gharar (spekulasi) sudah tidak wujud di era sekarang dan ketersambungan ijab kabul secara substantif (maknawiyyan) sudah terpenuhi.
Nah, sebelum masuk ruang diskusi penyamaan hukum jumatan virtual dengan akad nikah virtual dengan segala dinamika argumentasinya, harus selesai dulu hukum pelaksanaan akad nikah secara online, benarkah hukumnya sah?
Nikah online itu problem fiqhnya bukan dari ketersambungan ijab dan kabul atau ketiadaan spekulasi di era android, tetapi karena beberapa hal:
1. Tidak terpenuhinya syarat kehadiran wali, dua saksi dan mempelai pria dalam satu majlis.
Fiqh dasar sekalipun sudah bisa menjawab ketentuan ini, tidak perlu lompat terlalu jauh ke Ushul Fiqh. Misalnya seperti ta’bir yang ada dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:
[تقي الدين الحصني، كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار، صفحة ٣٥٨]
(فرع) يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل وَيجوز أَن يُوكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج فَلَو وكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج أَو أَحدهمَا أَو حضر الْوَلِيّ ووكيله وَعقد الْوَكِيل لم يَصح النِّكَاح لِأَن الْوَكِيل نَائِب الْوَلِيّ وَالله أعلم.
2. Shighat Harus Sharih
Nikah disyaratkan menggunakan shighat sharihah, sementara shighat dengan perantara sambungan internet, telfon dan sejenisnya tergolong kinayah. Seperti keterangan dalam ibarat-ibarat berikut ini:
[الماوردي، الحاوي الكبير، ١٥٢/٩]
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا كَمَا قَالَ النِّكَاحُ لَا ينعقد إلا بصريح اللفظ دون كنايته، وَصَرِيحُهُ لَفْظَانِ: زَوَّجْتُكَ، وَأَنْكَحْتُكَ فَلَا يَنْعَقِدُ النِّكَاحُ إلا بهما سواء ذُكِرَ فِيهِ مَهْرًا أَوْ لَمْ يُذْكَرْ.
[حواشي الشرواني على تحفة المحتاج، ٢٢٢/٤]
(قَوْلُهُ: وَالْكِتَابَةُ إلَخْ) وَمِثْلُهَا خَبَرُ السِّلْكِ الْمُحْدَثِ فِي هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ فَالْعَقْدُ بِهِ كِنَايَةٌ فِيمَا يَظْهَرُ.الفوائد المختارة لسالك طريق الأخرة المستفادة من كلام العلامة الحبيب زين بن إبراهم بن سميط جمع وتقديم : علي بن حسن باهارون ص 246التلفون كناية في العقود كالبيع والسلم والإِجارة، فيصح ذلك بواسطة التلفون. أما النكاح فلا يصح بالتلفون لأنه يشترط فيه لفظ صريح، والتلفون كناية
3. Akad nikah didasarkan kepada kehati-hatian
Akad nikah didasarkan kepada kehati-hatian, sebab urusannya berkaitan dengan menghalalkan kemaluan (hubungan intim), sehingga kehormatan kemaluan tidak ternodai. Karena itu disebutkan dalam sebuah kaidah:
يحتاط في الأبضاع ما لا يحتاط في غيرها.
Kesimpulan
Walhasil, Kasus akad nikah online yang dijadikan mulhaq bih /maqis alaih tentang keabsahan Jumatan virtual, tidak memenuhi standart ilhaq/qiyas.
Dalam ushul fiqh, syaratnya maqis alaih, hukumnya harus tsubut (jelas rumusan hukumnya) baik melalui nash, ijma atau kesepakatan dua ulama yang berbeda pandangan.
Lebih problematis lagi jika dikaitkan dengan metode ilhaqul masail binazhairiha. Apanya yang mau diilhaqkan /diqiyaskan bila hukumnya maqis alaih /mulhaq bih saja belum clear, sudah melompat ke teori Ushul Fiqh.
Menurut saya lompatan-lompatan seperti ini adalah problem besar ketika penguasaan Ushul Fiqh tidak didasari pengetahuan Furu’ Fiqhiyyah (cabang permasalahan fikih) yang matang dan kokoh.
Solusi
Tidak perlu memaksakan jumatan virtual sepanjang tidak ditemukan argumen yang jelas dari Mazhab Empat. Protokol kesehatan yang tidak memadai di masjid, masih ada solusinya.
Misalnya jumatan di rumah, musala atau tempat lain dengan minimal 3 orang, 4 orang atau 12 orang, mengikuti pendapat Imam Sya’roni yang memperbolehkan berbilangannya jumatan sepanjang tidak menimbulkan fitnah.
Kalau memang khawatir tertular, bisa berpedoman kepada khauf yang menjadi udzur jumatan. Salam hangat untuk semuanya, mohon koreksinya bila saya salah.
Muhammad Mubasysyarum Bih (Dosen Ma’had Aly Lirboyo Kediri)