“Apa tugas dari bagian keuangan?” salah satu pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh almaghfurlah KH Salahuddin Wahid dalam pertemuan terbatas. “Mencatat sirkulasi keuangan”, jawab salah seorang dalam forum. “Jujur. Ya, mencatat dengan jujur. Nilai apa lagi yang harus dimiliki?”, lanjut Gus Sholah. Semua diam berpikir agak lama, hingga beliau menjelaskan, “Kemampuan untuk mengelola dana”. Untuk meyakinkan donatur, jujur saja tidak cukup. Pengemban amanah dari dana harus membuktikan bahwa uang yang diterima itu bisa dikelola dengan baik, berkembang dan bermanfaat. Ada grafik yang menunjukkan kepada donatur bahwa dananya tidak sia-sia, melainkan berkembang lebih baik dan bermanfaat bagi khalayak luas.
Capacity building adalah salah satu modal dalam menjalankan roda usaha. Apapun bentuknya, baik yang bersifat ekonomis maupun yang non-ekonomis, termasuk dalam mengelola lembaga pendidikan. Dalam Adabul Alim wal Muta’allim, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menukil ucapan Said bin Jubair, bahwa “Seorang disebut alim ketika ia masih mau belajar. Ketika sudah tidak mau belajar dan mengira sudah cukup mumpuni dengan ilmunya (kapasitasnya), maka dia berarti orang terbodoh yang pernah ada”.
Human resource development, pengembangan sumber daya manusia selalu ada dalam setiap lembaga agar bisa tetap eksis dan semakin berkembang. Banyak program untuk mewujudkan secara riil, antara lain studi banding, menyekolahkan pegawai lembaga ke jenjang lebih lanjut, traning of trainer (ToT), mengalokasikan CSR sebagai beasiswa pendidikan, magang, dan lain sebagainya. Meski nama lembaga sudah besar dan menjadi rujukan, akan tetapi selalu terus berusaha meningkatkan kualitas diri adalah kunci utama. Tanpa itu, bersandar pada nama besar saja akan menjadi jalur kehancuran. Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari memberikan contoh para sahabat dan para ulama salaf yang masih terus belajar meski kepada para santrinya tanpa merasa hina atau rendah.
Maqāṣid as-syarī’ah pun kini ada usaha menekankan poin pengembangan SDM. Bahwa salah satu upaya merawat akal (ḥifẓ al-‘aql) adalah meningkatkan kualitas keilmuan melalui pendidikan. Dalam ranah praktis, hukum keluarga di negara Qatar mem-back up nafkah pendidikan bagi istri yang menjadi tanggung jawab suami. Bahwa keluarga adalah lembaga terkecil yang juga tidak lepas dari peningkatan kualitas diri bagi masing-masing individu yang ada di dalamnya. Mengelola keuangan keluarga belum cukup hanya bermodal jujur, bahwa keuangan tidak digunakan foya-foya, melainkan ilmu tata kelola keuangan dan pengembangannya juga penting. Untuk meraih itu, pendidikan menjadi kunci utama. Yang demikian juga dalam upaya mencegah terjadinya tingkat perceraian dengan alasan ekonomi.
Dengan kecanggihan teknologi yang terus berkembang dan keterbukaan akses keilmuan digital, memang masing-masing individu dapat dengan mudah mengembangkan diri. Hanya saja, tanpa wa irsyādu ustādzin, tanpa dampingan fasilitator atau guru, proses pengaplikasian dan penerapan informasi ilmu pengetahuan yang didapatkan mengalami pelambatan. Trial and error tanpa panduan guru membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tenaga dan finansial yang tidak sedikit. Keterlibatan irsyādu ustādzin mempercepat proses eksperimen dan mengurangi masa kegagalan. Pengalaman orang yang berilmu, berpengetahuan, dan berpengalaman dapat memotong masa waktu bagi masing-masing individu yang ingin mengembangkan diri. Kata kunci yang dituangkan di dunia maya memberikan banyak gambaran, akan tetapi yang mendampingi dan mengarahkan mana saja yang lebih cocok, sesuai, dan lebih cepat fungsi fasilitator pendidikan di sini menjadi penting.
Keduanya, baik jujur dalam proses atau mengemban amanah dan kapasitas diri yang terus berkembang adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun lembaga; wujud menjaga dari kerusakan dan kehancuran (dar’ul mafāsid) juga menggapai kemanfaatan (jalbul maṣāliḥ), bagaikan dua sayap yang tidak bisa dipisahkan.