Masyarakat Indonesia sempat panik dan menduga gempa besar Megathrust akan segera datang pasca rilisan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyoal gempa Megathrust tinggal menunggu waktu.
Munculnya pemberitaan tersebut membuat ramai sosial media, berbagai konten terkait gempa dan bencana alam mulai bertebaran bahkan banyak yang mengaitkan dengan ramalan-ramalan tokoh terdahulu. Dampak dari tersebut adalah kecemasan dan ketakutan yang menyergap masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan tidak mau berkativitas terlebih di dekat pantai karena takut.
Namun, bagaimana faktanya?
Megathrust merupakan daerah pertemuan antar lempeng tektonik bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami yang dahsyat. Zona tersebut diprediksi bisa pecah berulang-ulang dengan jeda ratusan tahun.
Pembahasan adanya potensi gempa besar di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya bukan kali ini saja. Jauh sebelumnya bahkan sejak sebelum terjadinya Gempa dan Tsunami di Aceh pada 2004. BMKG juga pernah melakukan pemberitaan serupa pada 2018 yang membuat kehebohan pula di masyarakat.
Namun, munculnya kembali pemberitaan soal gempa di zona Megathrust bukanlah bentuk peringatan diri yang seolah-olah akan terjadi di waktu dekat seperti yang dikhawatirkan masyarakat.
Dwikorita selaku kepala BMKG menjelaskan tentang tujuan utama BMKG membuat pemberitaan potensi Gempa Megathrust, yaitu untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia. Harapannya adalah pemerintah di daerah yang rawan gempa dan tsunami bisa lebih giat menyiapkan mitigasinya seperti edukasi kepada publik.
Terkait dengan kata-kata ‘tinggal menunggu waktu’ pada pemberitaan Gempa di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut adalah karena kedua wilayah tersebut belum terjadi gempa besar selama ratusan tahun. Dikatakan tinggal menunggu waktu disebabkan segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah mengalami gempa besar semua. Tapi hal ini tidak menunjukan bahwa akan terjadi gempa besar dalam waktu dekat.
Sejarah mencatat, gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun) dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun). Kedua seismic gap tersebut periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, Jepang, yang hanya 78 tahun, sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya.
Perlu diketahui bersama, hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat dan akurat yang mampu memprediksikan terjadinya gempa (kapan, di mana, dan berapa kekuatanya).
Penulis: Rindi Andriansa
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Apa Itu Megathrust Earthquake?