tebuireng.co – Isu kudeta oleh militer Indonesia terhadap pemerintahan Gus Dur dan terjadinya kerusuhan di Indonesia terutama di Mataram, telah menjadi indikasi tak terbantahkan bahwa ternyata kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih dan bahkan tegang, 22 Januari 2000.
Di ABRI munculnya renggang dua kubu militer progresif dan nonprogresif dalam mereformasi ABRI pada awal-awal reformasi membawa dua kubu tersebut pada sebuah “perlombaan”.
Mereka saling berebut pengaruh ke presiden agar ide dan tujuan mereka masing-masing bisa dilaksanakan. Gus Dur sendiri lebih condong kepada militer progresif yang dipimpin oleh Umar Wirahadikusuma.
Oleh sebab itu, Gus Dur sangat mendukung pemisahan TNI-Polri serta tak segan-segan melakukan intervensi internal TNI.
Apa yang dilakukan Gus Dur merupakan penerapan prasyarat yang mesti dimiliki dan dilakukan pada konteks peralihan rezim otoriter ke rezim demokratis, yaitu penataan ulang peran militer dalam kehidupan politik.
Bagi Gus Dur, mundurnya militer dari politik dimaknai sebagai kembalinya militer yang pernah melakukan intervensi politik ke dalam peranannya yang instrumental dan membiarkan kepemimpinan sipil dalam posisi yang tidak terganggu untuk mencapai tujuan tujuan politiknya serta membiarkan mereka membuat semua keputusan demi negara.
Sedangkan, menurut Samuel Huntington, setidaknya ada tiga prasyarat penting untuk menciptakan kondisi supremasi sipil. Pertama, adanya suatu keniscayaan atas profesionalisme militer dan sebaliknya pengakuan perwira militer terhadap keterbatasan kemampuannya.
Kedua, subordinasi efektif dari militer kepada politisi sipil yang membuat keputusan dasar mengenai kebijakan pertahanan dan luar negeri. Ketiga, penerimaan dan pengakuan oleh pemerintahan sipil terhadap wilayah-wilayah kemampuan profesional dan otonomi militer.
Gus Dur sungguh-sungguh ingin memisahkan TNI-Polri dan juga membentuk militer yang profesional. Hal itu sudah ia komunikasikan dengan Wiranto.
Tugas Wiranto kemudian adalah mensosialisaikan keinginan Gus Dur ke petinggi-petinggi TNI. Pada sebuah Rapim TNI, beberapa saat setelah Gus Dur terpilih, ia menyepakati tujuh poin keputusan
Pertama, TNI akan selalu menempatkan diri sebagai bagian dari sistem nasional yang memiliki tugas pokok hanya di bidang pertahanan negara. Tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya di bidang keamanan yang telah menjadi tanggung jawab Polri dan tidak lagi melaksanakan fungsi sosial-politik.
Kedua, reformasi internal TNI terus dilanjutkan dengan percepatan yang diperlukan, meliputi aspek pembenahan piranti lunak, seperti merevisi UU tentang pokok pertahanan dan doktrin, aspek struktural dalam bentuk validasi organisas sesuai urgensinya dan aspek kultural yang membudayakan sikap dan tingkah laku prajurit yang profesional, dan senantias menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai HAM.
Ketiga, TNI tetap merupakan institusi negara yang secara konstitusional wajib melaksanakan dan mengamankan kebijakan pemerintah yang sah.
Keempat, penggunaan anggaran diprioritaskan kepada peningkatan profesionalitas dan pemeliharaan alur sistem untuk mendukung kesiapan operasional satuan TNI.
Kelima, tugas pembinaan dan pembangunan TNI ke dalam diarahkan untuk mewujudkan TNI yang profesional, efekti efisien, dan modern.
Keenam, TNI akan terus membantu Polri menegakkan keamanan di berbagai daerah sesuai perundangan dan peraturan yang berlaku.
Ketujuh, semua prajurit TNI perlu berperan aktif untuk meluruskan opini publik guna membangun citra positif TNI, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam upaya menegakkan supremasi sipil, Gus Dur ingin melakukan demiliterisasi dalam segala bidang termasuk Departemen Pertahanan (Dephan).
Sebab, Dephan merupakan bagian dari pelaksana tugas pemerintah yang mesti tunduk kepada supremasi sipil dan tidak harus didominasi militer seperti yang dipraktikan selama pemerintahan Orde Baru.
Namun, bukan berarti makna supremasi sipil harus menyingkirkan militer, penekanannya kepada militer mesti menundukkan diri sepenuhnya kepada keputusan-keputusan lembaga politik dan tidak ikut campur dalam keputusan politik.
Militer boleh saja menduduki jabatan-jabatan sipil dalam batas bahwa orang-orang sipil tidak dapat melakukannya. Akan tetapi keinginan itu tak mudah.
Pada 1 Februari 2000, tentara mulai menunjukan sikap tak menghormati Gus Dur. Saat itu Gus Dur menyatakan akan memberhentikan Menko Polkam Wiranto karena terlibat pelanggaran HAM di Timtim.
Kekerasan di Timor-Timur (Timtim) menguat setelah militer Indonesia memasuki wilayah tersebut sejak 1975 dengan pembentukan dan penggalangan sipil bersenjata yang di kemudian hari disebut WANRA.
Sebagian dari tenaga-tenaga tersebut diorganisir ke dalam TNI melalui program militerisasi atau Milsas dan digaji sebagai tentara reguler.
Milsas oleh para pejabat tinggi militer di Jakarta disebut sebagai anggota TNI putra daerah dan mereka hanya bertugas di Timtim dalam membantu operasi TNI di Timor Timur, dan elite dari kelompok Prointegrasi dijadikan Pejabat birokrasi. Contohnya, Joao Tavares Bupati Bobonaro-sekaligus pemimpin satuan Halilintar.
Situasi Timor Timur setelah adanya dua opsi dari Pemerintah Indonesia mengalami perubahan-perubahan yang pesifik. Perjanjian New York 5 Mei 1999, memberi peluang bagi pengamat internasional untuk mengamati pelanggaran hak asasi manusia serta pemenuhan kewajiban pemerintah Indonesia.
Keseluruhan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur, langsung atau tidak langsung, terjadi karena kegagalan Panglima TNI dalam menjamin keamanan dan pelaksanaan pengumuman dua opsi oleh pemerintah.
Asas praduga tak bersalah tentu harus dikedepankan. Namun, disebutnya nama Wiranto sebenarnya bukan berita mengagetkan atau tak terprediksi. Semua tahu belaka, ia adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima ABRI (Pangab) menjelang kejatuhan Soeharto dan selama masa kepresidenan Habibie.
Karenanya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dilantik jadi presiden pada 20 Oktober 1999, dengan cepat merespons ketika kabar itu sampai padanya. Dari Davos, Swiss, di sela-sela padatnya kegiatan Forum Ekonomi Dunia, Gus Dur tanpa basa-basi menyatakan akan memberhentikan Wiranto dari posisinya sebagai Menko Polkam.
Isu kudeta militer ke Gus Dur mulai berhembus kencang pasca pernyataan Gus Dur ini. Isu kudeta militer ini bergulir seperti bola salju.
“Saya akan meminta dia, dengan bahasa yang halus, meminta dia untuk mengundurkan diri,” kata Gus Dur sebagaimana dikutip Kompas (1 Februari 2000).
Struktur kepolisian yang pada waktu itu masih dibawah komando Menteri Pertahanan telah turut memperlemah kemampuan aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas pengamanan berdasarkan perjanjian New York Untuk itu, Jendral TNI Wiranto selaku Panglima TNI adalah pihak yang harus diminta pertanggungjawabannya. Maka Wiranto dipecat.
Selain itu, pemecatan Wiranto juga erat kaitannya dengan kepentingan Gus Dur di dunia internasional terkait pembantaian yang dilakukan TNI di Timor Timur. Gus Dur mesti menunjukkan dirinya mampu menguasai keadilan di Indonesia.
Selain itu, secara simbolis Gus Dur juga ingin menunjukkan kemampuanya menguasai militer. Pemecatan Wiranto oleh Gus Dur juga bukan merupakan sikap antimiliter, melainkan mencegah atau bertindak preventif agar tidak muncul militerisme
Pemecatan Wiranto dilakukan saat Gus Dur sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Eropa. Gus Dur berkomentar mengenai kondisi dalam negeri dan prospek reformasi militer banyak mengalami hambatan karena Faisal Tandjung dan Wiranto.
Namun, tak banyak reaksi dari pihak militer mengenai ucapan Gus Dur. Padahal, Faisal pada masa Soeharto banyak memiliki pendukung. Sedangkan Wiranto dinyatakan sedang banyak menemui banyak jenderal dan Habibie saat Gus Dur di luar negeri untuk melakukan konsolidasi kekuataan melawan Gus Dur.
Marsillam meminta Gus Dur harus segera bertindak. Gus Dur memecat Wiranto dan tak ada banyak reaksi juga atas tindakan Gus Dur.
Dipecatnya Wiranto, tak bisa dilepaskan dari informasi diberikan Todung Mulya Lubis, salah satu pendiri Fordem kepada Gus Dur. Pada awal pemerintahan, Fordem yang memberikan cukup banyak masukan dan dukungan kepada Gus Dur dalam menjalankan pemerintahan–terutama untuk melakukan reformasi TNI-Polri.
Todung Mulya sebagai salah satu anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Timor Timur, mengaku melakukan komunikasi intens terkait pelanggaran HAM yang melibatkan jenderal-jenderal TNI salah satunya keterlibatan Wiranto.
3 Februari 2000, Gus Dur mendapat kabar bahwa ada pertemuan sejumlah jenderal di Jalan Lautze. Jakarta. Gus Dur memperingatkan agar para jenderal tidak melakukan sesuatu yang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban.
“Saya mendapat laporan dari kawan-kawan di Nahdlatul Ulama, bukan dari pemerintah setempat bahwa ditemukan sejumlah orang dari Jakarta, umumnya dari militer, yang sengaja menciptakan kerusuhan di sana,” ucap Gus Dur.
Gus Dur dalam perjalanan ke Amerika, menghubungi Kapolri. “Kalau mereka melawan, tembak!” seru Gus Dur.
Ada tiga orang “intel” Gus Dur yang melapor terkait aktivitas Wiranto, dari ketiga intel itu. Gus Dur mendapat informasi: Pertama, Selasa 8 Februari Wiranto mendatangi Habibie untuk meminta sejumlah pertimbangan sebelum menyatakan pengunduran diri.
Ketika itu, Habibie menyatakan dukungan penuhnya kepada Wiranto dan memintanya tidak mengundurkan diri. Kedua, mereka melaporkan pula adanya gerakan para jawara dari Banten, yang dipimpin seorang mubalig.
Konon, mereka yang sudah berlatih di Kawasan Jasinga, Bogor itu siap masuk ke Jakarta jika Wiranto diberhentikan Agum Gumelar, Menteri Perhubungan pun menanggapi pernyataan Gus Dur tentang adanya rencana kudeta dar militer. la tidak mempercayai isu tersebut.
“Alangkah bodohnya jika militer sampai berbuat demikian itu dan justru di saat kepercayaan rakyat terhadap kami berada di pasang surut yang terendah. Bisa saja selalu terdapat beberapa anggota militer merasa tidak puas dengan situasi yang sedang berlangsung. Tapi itu bukanlah kudeta, itu pembangkangan. Jika sampai terjadi. maka saya lah yang akan pertama melawannya,” ujar Agum.
Forum Komunikasi Purnawirawan (FKP) TNI-Polri menyikapi isu kudeta militer dan tidak mempersalahkan pemecatan Wiranto dari Kabinet dengan alasan demi berlangsungnya proses hukum yang bebas, jujur, dan berkeadilan.
“Kami data menerima alasan-alasan Presiden Gus Dur melalui tindakan penonaktifan tersebut. TNI menghormati setiap keputusan yang baik bagi keselamatan bangsa.”
Meski tak menimbulkan riak perlawanan di media, tapi di internal TNI, pemecatan Wiranto ini yang menimbulkan perkembangan yang sangat dinamis. Sejumlah Jenderal TNI kabarnya sempat mengontak Presiden Wahid untuk memprotes keputusan itu.
Gus Dur saat menerima tamu Idul Fitri di Istana Merdeka (Ist)
Polemik pun berlangsung di kalangan militer. Presiden terus menerus di kontak para stafnya untuk melaporkan diskusi yang berkembang di kalangan tentara sehubungan dengan tetap dipertahankannya Wiranto dalam kabinet.
Dikabarkan pula bahwa sejumlah kalangan di kabinet juga menyesalkan keputusan mempertahankan Wiranto. Wahid yang tengah beristirahat dari lawatannya akhirnya dibuat sibuk dengan menganalisis keadaan siang itu.
Meski demikian, isu kudeta yang akan dilakukan oleh Wiranto atau militer tetap berkembang. Terutama setelah Wiranto dan Djaja Suparman dinilai aktif terlibat pertemuan dengan kelompok Islam garis keras.
Kegiatan rapat tersebut dilakukan oleh Kelompok Wiranto seperti rapat bulan Mei-Juli sebanyak 14 kali di berbagai tempat dan hotel yang dihadiri antara lain oleh target, tokoh-tokoh lain, dan dari kelompok Islam garis keras, salah satunya tokoh Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
Disebutkan juga tanggal, hari, jam, tempat, dan materi yang dibahas yang isinya tentang langkah, sikap, dan gerakan yang negatif untuk melawan pemerintahan Gus Dur.
Dokumen yang tersebar di kalangan terbatas, kalangan itu seperti beberapa Anggota DPR. Petinggi TNI Polri mengenalnya dengan sebutan Dokumen Perkembangan Situasi. Djuanda merupakan seorang Letkol dari Korps TNI Angkatan Laut yang diduga menjadi salah satu pembisik Gus Dur.
Berikut isi dokumen tersebut yang dimuat dalam biografi Djaja Suparman, berikut isi surat tersebut:
“Tanggal 10 Mei 2000 di kamar 620 Hotel Mercure. Rapat dihadiri Wiranto, Djadja Suparman, Syafrie Syamsudin, Zacky Makarim, Fuad Bawadzier, Hariman Siregar, Muslim Abdurahman, Burzah Zanubi, Habib Rizieq, Eggi Sudjana, dan beberapa aktivis ormas kanan. Pokok bahasan: mendorong aksi-aksi separatis di berbagai kota di Tanah Air, melakukan penetrasi, penunggangan dan provokasi ke dalam gerakan mahasiswa yang menuntut adili Soeharto di Jalan Cendana agar menjadi aksi anarkis dan mengupayakan aksi itu menyebar di seluruh ibu kota. Memobilisasi gerakan FPI untuk melakukan sweeping malam dengan target memancing kerusuhan meluas.
Sumber: Buku “Menjerat Gus Dur” karya Virdika Rizky Utama, hal 232