Islam dan negara dalam pandangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dijelaskan dalam salah satu bukunya yang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela.
Dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela karya KH Abdurrahman Wahid dijelaskan, bahwa kepentingan nasional memiliki hukum-hukumnya sendiri yang dalam banyak hal ‘dimanfaatkan’ untuk kepentingan agama.
Hal ini dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkonkretkan hidup beragama. Kedua hal inilah yang harus saling berkaitan apabila menginginkan penuhnya arti kehidupan.
Bagaimana dengan negara Islam?
Gus Dur menjelaskan dalam buku Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthan karya Ali Abdul Raziq, bahwa Abdel Raziq menyangkal tentang adanya kerangka kenegaraan dalam Islam.
Di sana dijelaskan juga bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan mengenai daulah Islamiyah atau konsep negara Islam. Namun, hanya menyebut tentang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara ‘yang baik, penuh pengampunan Tuhan’).
Abdul Raziq dalam buku ini menerima pendapat sekulerisasi, bahwa agama tidak memiliki sangkut-paut dengan masalah kenegaraan.
Dijelaskan juga, Abdul Raziq berargumen, bahwa Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin, perilaku Nabi Muhammad Saw tidak memperlihatkan watak yang politis, dan Nabi Muhammad Saw tidak pernah membuat rumusan secara definitif mengenai mekanisme penggantian jabatannya.
Gus Dur berpendapat, bahwa mustahil masalah kepemimpinan dan penggantian kekuasaan tidak dirumuskan secara formal apabila Nabi Muhammad Saw memang menghendaki berdirinya sebuah ‘negara Islam’.
Nabi Muhammad Saw hanya memerintahkan untuk ‘bermusyawarahlah kalian dengan persoalan’. Sedangkan, persoalan seperti ini seharusnya dicukupkan dengan ‘masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka’ saja.
Islam dan Negara
Dalam pandangan Gus Dur, Islam dan negara hingga saat ini belum mencapai kata akhir. Sedangkan, di Indonesia menggunakan asas tunggal politik dalam bentuk Pancasila.
Beberapa ada yang menganggap bahwa sebuah negara telah memiliki ‘watak Islam’ apabila inti ajaran Islam seperti Keesaan Tuhan telah diakui.
Islam yang berfungsi inspirasional, yakni menjadi sumber pendorong munculnya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentang ajaran Islam.
Dalam prolog pada buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita yang ditulis oleh M Syafi’i Anwar, Gus Dur menolak formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi yang mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang ‘negara Islam’.
Sikap penolakannya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai syariat (jalan hidup) tidak memiliki sebuah konsep yang jelas mengenai negara.
Baca Juga: Gus Sholah, Keindonesiaan dan Keislaman