tebuireng.co – Universitas merupakan jenjang pendidikan tinggi setelah SLTA, seiring berkembangnya zaman tak sedikit perguruan tinggi yang menyadari bahwa mereka juga perlu menerapkan kurikulum yang berbasis pesantren sehingga banyak perguruan tinggi yang memiliki asrama atau pesantren, atau sebaliknya pesantren yang memiliki perguruan tinggi.
Bagi pesantren yang kemudian memiliki perguran tinggi, tidak akan mengalami kesulitan yang berarti dalam mensinkronisasikan atau mengintegrasikan kurikulumnya karena memang sudah disesuaikan dengan jengan pendidikan yang ada di pesantren tersebut, sehingga tidak terjadi pengulangan mata kuliah, dan kegiatannya, karena otorisasi pengelola, pengasuh, yayasan, atau pemangku kebijakan di perguruan tinggi tersebut sama dengan yang mengetur pesantren tersebut, namun juga terkadang dijumpai berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak sinkron atau berkelanjutan.
Berbeda halnya dengan perguruan tinggi yang lahir terlebih dahulu, baru kemudian setelah beberapa tahun lamanya baru membangun pesantren atau asrama mahasiswa yang diharapkan dapat menjadi pesantren mahasiswa, tidak hanya sebagai penganti tempat kos, sehingga sudah selayaknya pesantren mahasiswa/i tersebut juga memiliki kegiatan sebagaiman pesantren pada umumnya, namun yang perlu diingat di sini adalah bahwa kendali sinkronisasi kurikulum atau integrasi kurikulum antara perguruan tinggi dan pesantren mahasiswa tidak berada pada pengasuh atau direktur pesantren mahasiswa, tetapi pada pengelola perguruan tingginya; mulai rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, kaprodi, dan dosennya, jadi sebaik apapun pengasuh pesantren mahasiswa tidak akan sukses mengimplementasikan integrasi kurikulum perguruan tinggi dengan kurikulum pesantren mahasiswa, karena pesantren mahasiswa dibangun sebagai pelengkap pendidikan agama mahasiswa yang semula dibebankan dalam kurikulum perguruan tinggi.
Integrasi antara kurikulum perguruan tinggi dengan pesantren mahasiswa hanya bisa dilakukan ketika di perguruan tinggi memiliki kurikulum yang wajib ditempuh oleh mahasiswa agar mereka bisa lulus kuliah, dan perguruan tinggi juga mewajibkan mahasiswa menempuh pembelajaran di pesantren mahasiswa agar bisa lulus kuliah, atau dengan bahasa lain, bila perguruan tinggi itu menggunakan sistem sks maka ada sejumlah sks mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa di perguruan tinggi dan juga ada sejumlah sks yang harus ditempuh oleh mahasiswa di pesantren mahasiswa, sehingga perkuliahan yang ditempuh oleh mahasiswa menyatu antara mata kuliah yang ada di perguruan tinggi dan mata kuliah yang ada di pesantren mahasiswa.
Integrasi kurikulum perguruan tinggi seperti ini tidak bisa ditawar-tawar lagi bila sebuah perguruan tinggi ingin memaksimalkan fungsi pesantren mahasiswa yang sudah dibangun sebagai penopang pendidikan agama mahasiswanya karena dirasa muatan agama yang ada di kurikulum perguruan tingginya belum mampu menjadikan para mahasiswanya menguasai ilmu-ilmu agama yang diharapakan akan berdampak pada perbaikan akhlak mahasiswanya.
Inilah salah satu pembeda antara perguruan tinggi yang berbasis pesantren mahasiswa dengan perguruan tinggi yang tidak berbasis pesantren, baik yang memang didirikan dalam naungan pengelola tersendiri atau dalam naungan yayasan pesantren tetapi prakteknya tidak menjalankan nilai-nilai, budaya, sistem, jiwa, keluhuran akhlak dan kurikulum pesantren yang menaunginya seperti materi mengajinya, cara belajarnya, budanya perilakunya, busananya, kitab-kitab yang dikaji, dan lain-lain.
Untuk itulah mengawal berjalannya integrasi kurikulum perguruan tinggi dengan kurikulum pesantren mahasiswa bukan pekerjaan yang mudah dan bukan menjadi tanggung jawab pengasuh pesantren mahasiswa semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab para pimpinan di perguruan tinggi mulai rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, kaprodi, dosen, dan sivitas perguruan tinggi lainnya yang memiliki kebijakan dalam mendisiplinkan pelaksanaan integrasi kurikulum tersebut, apalagi otoritas yang menyatakan kelulusan mahasiswa ada di perguruan tinggi, bukan di pesantren mahasiswa.
Bila suatu perguruan tinggi dapat merealisasikan berjalannya integrasi tersebut, maka perguruan tinggi tersebut akan dapat mencetak lulusan-lulusan yang memiliki intelektual dalam keilmuan dan memiliki keluhuran budi pekerti yang baik dalam berperilaku sehari-hari.
Allahu a’lam bissowab
Oleh: Dr. Fathur Rohman, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang