Pagi ini, 10 Juli 2021, telah dikabarkan berita “lelayu” dari Jawa Timur atas kepergian Dr. K.H. Miftahurrohim Syarkun, sang guru yang sangat bersahaja. Sosok yang dinanti bagi kebangkitan intelektualisme Pesantren Tebuireng. Sosok pendukung utama bagi kemajuan Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari. Kecerdasannya sangat diminati oleh Gus Sholah sehingga mendapat tugas previllage guna merumuskan suatu program prestisius dan langka. Bukan sekadar sekolah atau semacam madrasah “ecek-ecek”.
Senja itu menjelang maghrib, ia memberi kesempatan bertemu setelah berkegiatan olah raga bulutangkis. Dengan masih mengenakan celana trining, ia membaca pikiran. “Kalau bicara budaya dapat menghubungi Prof. Kacung,” katanya. Yang dimaksud adalah Prof. Dr. Kacung Marijan, Guru Besar Sosiologi Unair, Surabaya. Cak Mif, demikian biasa dipanggil dengan kesederhanaan, lalu berkata lagi, “Aku sedang merancang proses kajian spesifik pemikiran, terutama Al-Ghazali.”
Hanya kata-kata itu yang tersirat, yang disampaikannya dengan bahasa yang ritmis. Ia kemudian berpamitan pulang ke Sidoarjo dan tak menunggu lama. Pertemuan singkat, namun penuh arti.
Sudah menjadi kebiasan umum di Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng untuk tidak ingin dibesar-besarkan. Sehingga gelar-gelar formal seperti sebutan kiai haji, ustadz, guru besar, gus, dan lain-lain jarang menjadi sematan publik. Malah, panggilan-panggilan akrab seperti Pak atau Cak kepada yang lebih tua atau mbah untuk yang biasa khusyuk dan alim. Budaya egaliter demikian tumbuh di Pesantren Huffadz yang digagas oleh Sembilan Kiai itu. Bahkan, terasa ada kesungkanan untuk menyebut diri lebih baik daripada yang lain, karena masing-masing memiliki keunggulan sebagai fitrah manusiawi yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala, meskipun “stressing” pokok pendidikan adalah tetap pada akhlak dan nilai-nilai Al-Quran. Persoalan implementasi adalah persoalan lain dan lain hal.
Demikian, bukan karena kurang menghormati nama besarnya sebagai alumni yang alim dan mendunia intelektualitasnya. Sudah diakui oleh dunia akademik dunia. Namun, panggilan “Cak Mif” adalah bentuk kecintaan santri-santri Madrasatul Quran (MQ) agar tidak merasa berjarak terlalu jauh. Dan, itu juga ditampilkan bagi santri-santri senior atau bahkan para masayikh. Menyayangi yang lebih muda. Di samping, setinggi apapun karir ketika berada di luar pesantren, ketika memasuki wilayah Pondok Pesantren Madrasatul Quran akan memiliki kedudukan dan peran yang sama sebagai santri-santri Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar sebagai “Grand Master” Al-Quran dan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari sebagai “Summa Grand Master” umat Islam Indonesia.
Sepulang dari Malaysia setelah “ditimbali” Gus Sholah (K.H. Salahuddin “Wahid” Al-Ayyubi), Cak Mif mendedikasikan dirinya kepada tiga pilar keilmuan. Jika memang bisa dikatakan demikian. Pertama, implementasi keal-Quranan yang ia bangun di pondok pesantrennya di Sidoarjo. Cak Mif masih bolak balik Sidoarjo-Tebuireng. Ia masih “ngopeni” santri-santri di rumahnya secara rutin.
Baca juga: Wakil Rektor Bervisi Mendunia
Kedua, implementasi akademik di Universitas Hasyim Asy’ari, tempat ia menyelesaikan pendidikan strata satunya. Ia masih berinteraksi dan membangun relasi ilmiah di almamaternya tersebut. Beberapa jabatan akademik yang ia jabat serta relasi-relasi intelektual, baik di dalam maupun luar negari; Cak Mif menjadi jembatan yang menghubungkan relasi-relasi itu secara aktif.
Ketiga, agenda besar Gus Sholah dengan mendirikan Pusat Pemikiran Hasyim Asy’ari. Agenda ini memiliki visi besar bagi masyarakat muslim-Indonesia dan dunia. Karena, sedang membawa kharisma dan supervisi Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari sebagai Bapak Umat Islam (Rais Akbar), Pahlawan “Revolusi” Pergerakan Nasional, sekaligus pembela tradisi berpikir umat Islam dunia yang telah dipandang mengalami kemunduran akibat kerja-kerja kolonialisme Barat. Pada visi ini, Hadratussyekh menampilkan diri sebagai sosok Al-Maliki, Al-Hanafi, Al-Syafi’i, Al-Hanbali, Al-Asy’ari, Al-Maturidi, sekaligus Al-Ghazali, dan Al-Junaidi. Tentu, dibutuhkan pemahaman tekstual dan kontekstual yang komprehensif dari berbagai disiplin ilmu. Tidak sekadar dari sisi karya-karya teks, melainkan juga sejarah sosial, budaya, politik dan hubungan internasional, dan seterusnya. Gagasan untuk menghadirkan Hadratussyekh dalam konteks kekinian adalah gagasan besar dan butuh waktu. Dan, Cak Mif sudah memulai itu.
Oleh: M. Sakdillah, santri Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng.