Ibu, sosok perempuan tangguh. “Al-ummahāt al-qawiyyāt”, ibu sosok perempuan tangguh adalah judul buku yang menjadi bahan rasan-rasan ladies discuss (diskusi para cewek) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari putri. Rutinan Rabu pagi pernah ada sentilan menggelitik ketika jatuh pada redaksi “al-jannah taḥta aqdām al-ummahāt”, bahwa surga berada di telapak kaki ibu.
Persoalan yang dikemukakan adalah bagaimana bila ibu bersekte Syi’ah, Muktazilah, atau aliran yang tak sepaham dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Tentu, sang ibu mengajarkan apa yang dipelajari dan dipahami dari keyakinan dan pendidikannya di waktu kecil. Ajaran turun temurun. Apakah mengikuti berbeda dengan yang diajarkan ibu menjadi penghalang masuk surga? Bagaimana kalau ibu tidak meridai perbedaan pemahamaan ajaran agama, apakah menjadi penghalang untuk mendapatkan surga?
Obrolan mengerucut bahwa tidak semua perempuan menjadi seorang ibu. Sebagian dari perempuan tidak memiliki sifat keibuan yang sanggup mencederai atau membunuh anak. Perbedaan antara anak dan ibu tetap tidak membolehkan sang anak berperilaku buruk kepada ibu. Kasih sayang ibu tidak tergambarkan oleh kata-kata dan penggantian. Maka, kewajiban untuk terus berbuat baik kepada ibu menjadi keharusan. Selama masih dalam koridor syarī’ah, maka mewujudkan perintah dan nasihatnya menjadi keharusan. Tiada lain menjaga kelegaan, kegembiraan, dan perasaan hati sang ibu. Kalaupun berbeda, maka mengkomunikasikannya dengan baik dan membalas dengan kebaikan.
Perbedaan antara anak dan orang tua pernah digambarkan oleh Nabi Ibrahim As dengan ayahnya, Azar. Meski berbeda paham dan keyakinan, Nabi Ibrahim As masih terus berbuat baik kepada sang ayah. Melakukan semampunya, bahkan memohonkan ampunan dan doa terbaik buat sang ayah, “qāla salām ‘alaika, sa astaghfiru laka rabbi, innahu bī ḥafiyya”, semoga keselamatan tercurahkan padamu, aku mohonkan pengampunan bagimu pada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Maha Baik kepadaku.
Para mufasir memang mengatakan bahwa doa dan permohonan ampunan yang dilantunkan oleh Nabi Ibrahim As diajukan ketika masih memungkinkan proses dialog antara anak dan ayah. Setelah mengetahui perbedaan yang tidak memungkinkan, sang ayah berpihak pada Nabi Ibrahim As, beliau menghentikan doa buat sang ayah.
Sebetulnya, keluar dari pendapat para mufasir, probabilitas perubahan setiap orang menjadi keniscayaan. Maka, mendoakan sembari terus berusaha masih memungkinkan, kecuali ajal sudah menjemput. Upaya dan usaha yang demikian pernah diteladankan oleh Baginda Rasulullah Saw, “innaka lā tahdi man aḥbabta walakinnallāha yahdi man yasyā’”, sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, melainkan hanya Allah SWT yang memberikan hidayah. Rekaman ayat tersebut ketika Baginda Rasulullah Saw mengupayakan sang paman, Abu Thalib, agar masuk Islam menjelang ajal.
Artinya, upaya berbuat baik secara lahiriah dan batiniyah kepada keluarga, saudara, terutama kepada ibu yang telah melahirkan dan mengasihi tidak menjadi putus selama probabilitas takdir belum ditutup, nyawa belum di kerongkongan.
Semua perbedaan akan diselesaikan dengan palu hakim Allah SWT, “wallāhu yaḥkumu bainahum yaumal qiyāmah fīmā kānū fihim yakhtalifūn”, bahwa yang menyelesaikan kebijakan dengan adil di akhir nanti hanyalah Allah SWT. Yang jelas, perintah untuk terus berbuat baik, terutama kepada ibu, yang disebut oleh Baginda Rasullah Saw tiga kali, “ummuka, ummuka, ummuka” menjadi kewajiban secara mutlak.
Kenapa? Jelas, ibu yang rela begadang untuk anaknya, pertama kali kelabakan ketika anak sakit, paling galak ketika anaknya ditukari, paling sigap dan tanggap dalam segala kondisi untuk anaknya. Para ibu hanya memiliki niat kebaikan untuk anak-anak mereka. Yang menjadi problem adalah apa itu kebaikan, yang kemudian melahirkan perbedaan sikap dan tindakan. Semua tingkah yang lahir dari ibu sebenarnya lahir dari kasih sayang, dari timangan, dan buaian sebagaimana anak masih bayi. Tentang jodoh dan calon pasangan hidup, apakah Anda berbeda pendapat dengan sang ibu? Bagaimana sikap Anda kepada ibu? Semoga Anda tidak kabur dari rumah atau berbuat hal-hal yang menyakiti hati ibu. Atau masih ingin membebani ibu dengan teror para tetangga, “Kapan nikah?”. Selamat hari ibu.