Para sahabat nabi itu manusia biasa, sama seperti kita. Watak dan kepribadiannya berbeda-beda, tak ubahnya kita-kita ini, meskipun sisi lain mereka banyak kelebihan. Ada yang tertutup dan pendiam, ada grapyak dan terbuka, ada disiplin dan mudah tersinggung, ada yang suka iseng, ada yang khusyuk, ada yang suka humor dan seterusnya.
Suatu ketika mereka terlibat dalam obrolan santai, bersenda gurau, guyon dan gojlok-gojlokan. Keadaan demikian sering terjadi di antara sebagian para sahabat, lalu Tuhan menegur dengan turunnya ayat 16 Al Hadid. Pesan globalnya adalah agar orang beriman berkhusyuk hati dan banyak berzikir.
Ketika Rasulullah Saw menjelaskan surga dengan segala kemewahannya, termasuk penghuninya yang muda belia nan mempesona, seorang nenek tua bertanya perihal dirinya nanti jika masuk surga. Rasul mulia itu menjawab, “Bahwa nenek tua tidak masuk ke dalam surga.” Nenek itu merunduk sedih dan meneteskan air mata, karena kesalahpahamannya sendiri.
Lalu segera diluruskan, bahwa memang penghuni surga itu muda-muda semua dan tidak ada yang tua. Meskipun ketika hidup di dunia sudah reyot dan nenek-nenek, tapi jika masuk surga nanti semua berubah menjadi muda lagi. Nenek itu akhirnya tersenyum dan mengerti. Rasulullah Saw tidak berkata bohong, hanya saja si nenek gagal memahami bahasa bias kata dari ucapan Baginda Nabi.
Bahasa membias seperti di atas acap kali ada dalam Al Quran, bahkan Rasulullah Saw sering menggunakannya untuk konteks dan situasi tertentu. Kali ini, kira-kira beliau pingin menyegarkan suasana yang nampak tegang saat ceramah berlangsung. Dengan kecerdasan beliau yang reflektif, pertanyaan tersebut dijadikan kesempatan berhumor dengan sedikit “ngerjain” si nenek. Hasilnya, segarlah suasana.
Status Hukum
Dari data wahyu, baik Al Quran maupun Hadis, para ulama memandang bahwa humor hukumnya boleh (mubah) asal terukur dan bermaslahah. Humor itu penyedap yang besarannya seukuran garam dalam masakan. Garam membuat masakan menjadi sedap, tidak anyep dan tidak keasinan.
Sesungguhnya pribadi humoris itu banyak di kalangan sahabat besar. Seperti Zaid ibn Tsabit, ketua panitia kodifikasi Al Quran, ternyata pribadi beliau humoris, tapi berwibawa. Humor yang berkualitas sangat efektif sebagai bahasa sindir mengoreksi keadaan. Sasarannya kena, sementara suasana tetap segar dan terjaga.
Humor juga gaya nasihat yang tajam tapi santun. Menyasar kepada pihak tertentu tapi tidak menentu. Humor cerdas bagaikan menangkap ikan tanpa membuat keruh airnya. Maka, mengadili humor sama dengan mengadili perkara tidak jelas, kecuali di-pak-sa-kan.
Tidak sama dengan melawak dan dagelan yang sepanjang kata-katanya memang diniati, dirancang, dikonsep untuk membuat tertawa, lucu dan gergeran. Ini sudah di luar syariat kekhusukan beragama. Meski lawakan itu juga kadang mengandung kritik sosial, walau sangat kecil, sekedar nampak ada isi.
Akhir zaman, dagelan, lawakan yang tidak disukai Tuhan, dibenci Nabi, dihindari para sahabat besar dan orang-orang shalih, utamanya kaum sufi, kini menjadi profesi dan mata pencaharian yang menjanjikan. Alasannya menghibur, tapi menghibur maksiat dan makin menjauhkan dari Allah Swt.
Dagelan, lawakan, jogetan di televisi kita sungguh keterlaluan dan sangat merusak kekhusukan dan mengeraskan hati seperti diisyaratkan ayat di atas. Al Quran melarang banyak guyon karena berefek pada susahnya hati menerima nasihat agama.
Jadi, disadari atau tidak, pelawak, pendagel, komedian, komika, pendangdut maksiat, penjoget erotis, penyanyi goyang itu punya andil mengeraskan hati dan menghambat saluran hidayah bagi umat beragama. Semoga ulama kita mengerti ini dan bertindak nyata.