Thawaf menggunakan kendaraan merupakan problematika yang telah dibahas oleh para ulama.
Kendaraan yang dimaksud bisa bermacam-macam, seperti kursi roda, sepatu roda, ataupun kendaraan sejenis skuter. Para ulama sepakat bahwa praktik thawaf yang demikian boleh dilakukan apabila memiliki udzur (halangan). Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Ummu Salamah:
عن أم سلمة قالت: حججت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فاشتكيت قبل أن أطوف بالبيت فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( اركبي فطوفي راكبة وراء الناس ) وهو يصلي حينئذ إلى حاشية البيت
Artinya: “Dari Ummi Salamah, ia berkata: ‘Aku haji bersama Rasulullah, lalu aku mengeluh kepada beliau ketika akan tawaf.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Naiklah, thawaflah berkendara di belakang rombongan.’ Rasulullah pada saat itu akan melaksanakan shalat di sisi Ka’bah.”
Lalu, bagaimana jika thawaf menggunakan kendaraan ini dilakukan tanpa udzur?
Mengenai hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama dari mazhab 4 (empat). Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةَ راكِبًا، فَقُلْتُ: لِمَ؟ قَالَ: لَا أَدْرِي، قَالَ: نَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ…. وَأَكْثَرَ مَا طَافَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةَ وَلِنُسُكِهِ مَاشِيًّا
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah Saw thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shofa dan Marwah dengan mengendarai kendaraan. Kemudian saya (Ibnu juraiz) berkata kepada Atha: ‘Kenapa beliau lakukan itu?’ Atha menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian beliau turun dari kendaraannya dan shalat dua rakaat. Akan tetapi kebanyakan thawaf yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di Baitullah dan sa’i antara Shafa dan Marwah ketika manasik dilakukan dengan berjalan.”
Imam Syafi’i berkata:
فأحب إلى أن يطوف الرجل بالبيت والصفا والمروة ماشياً إلا من علة، وإن طاف راكباً من غير علة فلا إعادة عليه ولا فدية
Artinya: “Menurut pendapat saya, orang yang thawaf di Baitullah dan sa’i antara Shofa dan Marwah lebih baik dilakukan dengan berjalan kaki, kecuali apabila dia sakit. Apabila seseorang thawaf dengan berkendara padahal dia tidak memiliki udzur, maka dia tidak perlu mengulang thawaf tersebut dan dia tidak terkena fidyah.”
Sementara, jumhur ulama seperti Imam Hambali, Imam Maliki, dan Imam Hanafi memiliki pendapat sebagai berikut:
وذهب جمهور العلماء إلى منع الطواف والسعي راكبا دون عذر ، ومنهم من ألزمه الفدية إن فعله وتعذرت الإعادة، ومنهم من أبطل الطواف والسعي وأوجب الإعادة كما هو مذهب الحنابلة
Artinya: “Jumhur ulama sepakat terkait larangan melaksanakan thawaf dan sa’i dengan berkendara bagi mereka yang tidak memiliki udzur. Sebagian dari mereka mewajibkan fidyah dan mengulangi lagi thawafnya, sedangkan sebagian lainnya menghukumi batal dan wajib mengulang sebagaimana pendapat dalam madzhab Hambali.”
وقال أبو حنيفة ومالك: يجزيه وعليه دم كشف المشكل من حديث الصحيحين
Artinya: “Dalam kitab Kasyful Musykil min Hadits ash-Shahihain, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat: thawaf dengan kendaraan tanpa udzur diperbolehkan, tetapi tetap harus membayar dam.
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam kesepakatan ulama, pelaksanakan thawaf menggunakan kendaraan diperbolehkan bagi orang yang udzur, tetapi terdapat perbedaan pendapat apabila dilakukan oleh orang yang tidak memiliki udzur.
Menurut Imam Syafi’i, hukumnya adalah boleh dan orang yang melakukannya tidak perlu mengulangi thawafnya, serta tidak perlu membayar fidyah. Imam Malik dan Imam Hanafi juga memperbolehkan pelaksanakan thawaf menggunakan kendaraan dengan tanpa udzur, tetapi diharuskan membayar dam. Sedangkan, menurut Imam Hambali pelaksanaan thawaf menggunakan kendaraan tanpa adanya udzur adalah batal dan wajib mengulanginya.
Penulis: Thowiroh
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Berutang Demi Melaksanakan Ibadah Haji, Bolehkah?