Hukum musik di jagad media sosial mulai diperbincangkan lagi, ada pro-kontra terutama di kalangan Salafi dan Muhammadiyyah. KH. Bahauddin Nursalim ulama ahli tafsir sebenarnya pernah membahas persoalan ini. Mari kita simak!
Ketika al-Quran mulai menarik dikaji di Arab atau di Mekkah dan Madinah, Nadhor bin Haris itu mengimpor buku-buku dari Yunani, Romawi, Persia. Dalam istilah sekarang buku tersebut berisi cerita fiktif dan segala macam, yang ditujukan untuk menandingi ketertarikan pada al-Quran.
Jadi sejak dulu, kitab suci itu ditandingi oleh buku atau kitab yang tidak penting. Karena tabiat manusia menyukai hal yang tidak penting dan ringan. Sehingga Nadhor bin Haris yang pintar tersebut, memanfaatkan kondisi tersebut ia menjual buku-buku cerita fiktif, cerita yang aneh-aneh, agar umat Islam tidak belajar al-Quran.
Mengimpor buku dari Persia itu supaya orang belajar buku itu, kemudian meninggalkan al-Quran. Kemudian ada orang suka musik yang menghibur sehingga menimbulkan maksiat, itu juga berakibat orang meninggalkan al-Quran.
Menurut Imam Suyuthi yang dimaksud dengan lahwa al-hadis itu tidak menyangkut musik. Tetapi ada juga ulama yang menganggap lahwa itu musik, termasuk di dalamnya dangdut dan sejenisnya.
Jadi khilaf ulama dalam hal ini ialah dalam persoalan asbabun nuzul, bukan menyangkut hukumnya. Kalau hukum sama saja. Entah buku atau musik atau apa saja, yang kira-kira menggantikan fungsi orang Islam dari belajar al-Quran itu masuk dalam ayat:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۢ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Di antara manusia ada orang yang membeli percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Q.S. Luqman: 9)
Jadi hukumnya sama, siapa saja yang mengalihkan orang dari belajar al-Quran masuk kategori ayat di atas.
Gus Baha menceritakan soal betapa mujarabnya efek dari musik. Nabi Muhammad adalah orang yang paling disukai, dihormati oleh sahabat. Pernah suatu ketika Rasulullah khotbah Jumat, di saat itu ada perdagangan kafilah besar yang membawa musik dan penyanyi. Ketika berlangsung hiburan tersebut, saat Nabi berkhutbah, sejumlah sahabat bubar dan hanya tinggal 12 orang.
Maka kalau ada kiai mengaji lalu santrinya melihat hiburan musik, jangan marah kalau musik dihukumi haram. Rasulullah saja kekasih Allah juga pernah ditinggal sahabatnya melihat hiburan. Itulah yang disebut dalam ayat:
وَاِذَا رَاَوْا تِجَارَةً اَوْ لَهْوًا ۨانْفَضُّوْٓا اِلَيْهَا وَتَرَكُوْكَ قَاۤىِٕمًاۗ قُلْ مَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِۗ وَاللّٰهُ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
Apabila (sebagian) mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera berpencar (menuju) padanya dan meninggalkan engkau (Nabi Muhammad) yang sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan.” Allah pemberi rezeki yang terbaik. (Q.S. al-Jumu’ah: 11)
Menurut Imam Syafi’i, syarat sah khutbah ialah berdiri karena al-Quran menceritakan Nabi saat khotbah dan ditinggalkan sahabat dalam posisi berdiri. Sedangkan menurut Abu Hanifah tidak wajib berdiri, karena fungsi khotbah ialah memberi tahu entah dengan berdiri atau duduk.
Kembali ke persoalan musik, maka ada ulama yang mengatakan lahwa al-hadits itu musik karena menganggap ayat ini sesuai atau munasabah dengan surat al-Jumu’ah ayat 11.
Gus Baha menyebutkan alasan yang lucu, kenapa sebagian sahabat meninggalkan Nabi. Ketika ditanya ‘apakah kamu benci Muhammad?’, mereka menjawab, ‘Rasulullah tetap orang yang paling kita cintai, tetapi Rasulullah ‘kan mengajar kita setiap hari. Sedangkan ada hiburan kan jarang-jarang’.
Hal ini menurut Gus Baha, akan menjadi kesulitan bagi kiai. Karena di zaman akhir begini pun ada sanadnya, karena mereka nakal pun punya dalih seperti sahabat. Jadi sejak dulu godaan itu bermacam-macam, seperti kasus perdagangan itu satu paket dengan lahwan yaitu sesuatu yang bisa mengalihkan dari al-Quran atau zikir.
Mengenai alat malahi (alat yang melalaikan), dari akar kata alha yulhi ilha’a wahuwa mulhin. Jadi lafad alha dalam ilmu shorof itu sudah muta’addi (butuh objek). Dalam ayat al-Quran:
حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ
Gus baha memberi makna, memperbanyak dunia telah melalaikanmu. Sehingga kamu masuk ke dalam qubur. Kamu sekalian mengumpulkan dunia sehingga lupa Allah sampai mati.
Sekarang ada orang saleh mengumpulkan dunia untuk berjuang menyumbang masjid, pondok, atau kiai, lalu apakah dia masuk kategori alhakumu al-takatsur atau nafa’akum al-takatsur (memperbanyak dunia bermanfaat untukmu).
Ini pemikiran orang alim-alim. Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, Ustman bin Affan, itu hartanya banyak sekali. Ustman bin Affan pernah menyumbang nabi 4 ribu dinar setara 80 M.
Lafad alha itu berhubungan dengan sesuatu yang dijauhi. ‘Memperbanyak dunia telah melalaikanmu’ itu untuk orang yang nakal, karena ketika dunianya banyak maka makin lupa dan jauh dari Tuhan. Maka bagi orang saleh yang sesuai ialah nafa’akum al-takatsur (memperbanyak dunia bermanfaat untukmu).
Maka ulama dari dulu bingung menghadapi perihal musik. Kata Imam Nawawi misalnya kalau kamu ditanya gitar bilang saja haram, bagaimanapun itu jadi simbol orang fasik. Kalau ditanya orgen, bilang saja haram, bagaimanapun setiap orang fasik pasti bermain orgen.
Lalu ada murid nakal yang bertanya, kalau ada orang memakai orgen untuk bersholawat lalu menangis ingat Tuhan. Ya biarkan saja, tetapi kebanyakan tidak begitu, inti permasalahan hukumnya orgen untuk bersholawat itu alha (melalaikan)dari apa?
Gus Baha memberi contoh, misalkan musik melalaikan manusia dari Tuhan, ternyata alat musiknya dipakai sholawatan. Bingung anda untuk menghukumi. Contoh mudah yang masyhur misalnya orang mendengarkan Hadad Alwi atau Sulis, lalu kamu bilang haram, dari mana?
Karena sholawat tersebut, melalaikan dari apa? Padahal dari yang tidak ingat Nabi karena mendengarkan musik sholawat jadi ingat Nabi.
Tapi kritik Gus Baha, kalau kamu halalkan ingat Nabi kok menunggu musik, ingat Nabi kok butuh musik, itu cinta sungguhan atau cinta pas-pasan?
Maka akhirnya ulama seperti saya ditanya soal musik, ya haram. Karena kata Imam Nawawi musik itu syi’arul fasaqoh tanda orang fasik. Tiap orang yang menganggur, tukang begal, itu main gitar di jalan dan menganggu orang. Tidak ada imam masjid main gitar dulu sambil menunggu jamaahnya datang, tidak lucu.
Tetapi kita juga harus menyisakan pendapat dan hati sekecil-kecilnya bagaimanapun sebagian orang tasawuf itu terkadang ‘isyq (rindu) Tuhan itu dengan musik. Kalau disebut alha (melalaikan), alha dari apa? Dia pakai alat musik justru ingat Tuhan. Seperti marawis dan lagu-lagu religi.
Ini menjadi problem, alha dari apa. Makanya kita harus mengaji sampai khatam sehingga seperti alhakumu al-takatsur tidak bisa dibilang setiap orang yang mengumpulkan dunia pasti jelek. Kalau orang buruk, semakin mengumpulkan dunia semakin lupa Tuhan. Tetapi untuk orang yang saleh semakin banyak hartanya semakin ingin senang kepada Tuhan, seperti untuk haji dan untuk amal yang lain.
Sutan Alambudi
Baca juga: Gus Baha: Abu Lahab Adalah Dalil Maulid yang Tidak Ruwet