Perkembangan inovasi dan teknologi memunculkan hal baru atau bahkan tidak lumrah. Misalnya saja dalam bidang kuliner, pasti Anda pernah mengetahui makanan atau minuman yang dibaluri dengan emas tipis, dalam istilah lain disebut edible gold. Saat menjajaki warung kaki lima Anda mustahil menemukan sajian yang dihias dengan lapisan emas tersebut.
Jenis hiasan ini ada dua macam, bisa berupa lembaran tipis (leaf). Ada juga yang berupa pecahan-pecahan (flakes). Tidak heran, kenapa disebut hiasan emas, karena memang ia mempunyai kandungan hamper 92% emas murni. Dalam hukum fikih, kita sudah mengenal ketentuan haram bagi seorang laki-laki untuk mengenakan perhiasan emas. Sedangkan bagi wanita dihukumi halal, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika emas tersebut dikonsumsi. Apakah boleh dalam kacamata fikih?
Hukum Makanan Dihias Emas
Dalam Hasyiyah al-Bujairomi ‘ala al-Khatib disebutkan keterangan:
فَرْعٌ : وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ دَقِّ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَأَكْلِهِمَا مُفْرَدَيْنِ أَوْ مَعَ انْضِمَامِهِمَا لِغَيْرِهِمَا مِنْ الْأَدْوِيَةِ هَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ كَغَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوِيَةِ أَمْ لَا يَجُوزُ لِمَا فِيهِ مِنْ إضَاعَةِ الْمَالِ ؟ فَأَجَبْت عَنْهُ بِقَوْلِي : إنَّ الظَّاهِرَ أَنْ يُقَالَ فِيهِ إنَّ الْجَوَازَ لَا شَكَّ فِيهِ حَيْثُ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ نَفْعٌ ، بَلْ وَكَذَا إنْ لَمْ يَحْصُلْ مِنْهُ ذَلِكَ لِتَصْرِيحِهِمْ فِي الْأَطْعِمَةِ بِأَنَّ الْحِجَارَةَ وَنَحْوَهَا لَا يَحْرُمُ مِنْهَا إلَّا مَا أَضَرَّ بِالْبَدَنِ أَوْ الْعَقْلِ .
وَأَمَّا تَعْلِيلُ الْحُرْمَةِ بِإِضَاعَةِ الْمَالِ فَمَمْنُوعٌ لِأَنَّ الْإِضَاعَةَ إنَّمَا تَحْرُمُ حَيْثُ لَمْ تَكُنْ لِغَرَضٍ وَمَا هُنَا لِقَصْدِ التَّدَاوِي وَصَرَّحُوا بِجَوَازِ التَّدَاوِي بِاللُّؤْلُؤِ فِي الِاكْتِحَالِ وَغَيْرِهِ ، وَرُبَّمَا زَادَتْ قِيمَتُهُ عَلَى الذَّهَبِ
Cabang: Telah ditanyakan apakah boleh menempa emas dan perak lalu memakannya secara terpisah atau digabungkan dengan obat lain, apakah hal itu dibolehkan sebagaimana obat lainnya atau tidak karena adanya pemborosan dalam hal itu: “Yang jelas, tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibolehkan jika ada manfaatnya, lebih-lebih lagi jika tidak ada manfaatnya, karena dalam masalah makanan, telah dijelaskan bahwa yang diharamkan adalah batu dan sejenisnya, yang diharamkan hanyalah yang membahayakan tubuh dan akal.
Adapun dalil larangan menghambur-hamburkan harta, maka tidak boleh; karena menghambur-hamburkan harta hanya dilarang jika tidak ada manfaatnya, dan ini adalah untuk pengobatan, dan mereka membolehkan menggunakan mutiara untuk pengobatan, baik sebagai perhiasan maupun yang lainnya, bahkan nilainya bisa jadi lebih tinggi dari emas.
Dari keterangan ini tidak ada larangan pasti untuk mengonsumsi emas atau perak yang sudah ditempa sehingga mudah dikonsumsi, terlebih jika memang ia berfungsi sebagai obat yang tentu bermanfaat. Jadi asalkan tidak menimbulkan madharat atau bahaya dan tidak haram, maka boleh hidangan tersebut untuk dikonsumsi.
Tetapi yang menjadi catatan ialah kita harus selektif dalam memilih jenis edible gold yang akan dikonsumsi. Karena konsentrasi logam mulia yang diperbolehkan untuk dikonsumsi ialah mulai 22-24 karat. Sehingga jika logam mulia tersebut di bawah angka itu, ada kemungkinan tercampur oleh benda lain bahkan bisa terpapar kotoran.
Sementara itu, meski kita telah mengonsumsi sajian yang dilapisi emas, nyatanya emas tersebut tidak bisa dicerna oleh tubuh kita. Tidak ada nutrisi apa pun atau racun di dalamnya karena kemurnian logam tersebut. Logam itu akan hanya melewati saluran pencernaan kita.
Sedangkan jika diperbolehkan menghias hidangan dilapisi emas, seberapa jauh ketentuan penjual dalam mengolah emas tersebut yang diperuntukkan menarik perhatian pelanggan? Dalam kitab Nihayatul al-Muhtaj disebutkan:
وليس من التمويه لصق قطع نقد في جوانب الإناء المعبر عنه في الزكاة بالتحلية لإمكان فصلها من غير نقص بل هي بالضبة للزينة أشبه فيأتي تفصيلها فيما يظهر وقد عرف بعضهم الضبة في عرف الفقهاء بأنها ما يلصق بالإناء وإن لم ينكسر وهو صريح فيما ذكر
Bukan kamuflase, menempelnya uang logam pada sisi-sisi bejana, yang dinyatakan dalam zakat sebagai hiasan, karena bisa lepas tanpa hilang, namun lebih mirip dengan barang hiasan, maka akan dirinci pada penjelasan selanjutnya. Sebagian ahli fikih mendefinisikannya dengan apa yang menempel pada bejana, meskipun tidak pecah, hal ini secara eksplisit telah disebutkan.
Tidak boleh menghias atau menambal sesuatu dengan emas yang berukuran besar. Dalam Fathul Qorib dihukumi haram secara mutlak kalau bertujuan untuk berhias. Ya, menghias makanan termasuk di dalamnya. Tetapi, konteks edible gold tidak bisa dianggap hiasan yang bisa dilepas, seperti keterangan nihayatu al-muhtaj sebelumnya. Karena tipis sekali maka ketika bercampur dengan makanan ia akan melebur dan hilang tidak berbentuk seperti awal mula. Ini masuk dalam teori istihlak.
Istihlak didefinisikan sebagai sesuatu yang hilangnya ciri-ciri bahan (asal) dengan sebab ia terurai dalam air atau cecairan yang kuantitasnya lebih banyak, sehingga menjadikan ia larut di dalamnya lalu memberi kesan dari segi perubahan hukum. Sehingga makanan atau minuman yang diberi edible gold belum bisa cukup masuk kategori tahliyah (menghias) dengan emas yang hukumnya haram, meskipun secara fungsi pada umumnya emas tipis ini digunakan sebagai hiasan. Emas tipis ini akan seketika mudah lebur ketika bercampur dengan makanan/minuman.
Sayangnya, hidangan dengan edible gold ini bukanlah hidangan yang ramah di kantong. Hidangan berhias emas ini biasanya hanya disajikan di restoran mewah dan harganya cukup mahal, misalnya jenis pastry Eropa cukup popular dengan hiasan ini. Kalau pun Anda ingin membeli emas tipis tersebut, harganya masih di kisaran ratusan ribu bahkan puluhan juta, tergantung seberapa berat emasnya. Jadi memang tujuan awal dari inovasi ini ialah salah satunya menarik konsumen. Hal ini difungsikan sebagai hiasan agar tampak mewah. Orang yang memakannya juga akan merasakan kepuasan tersendiri. Tentu hidangan ini cukup masuk akal kalau hanya dicoba sekali atau dua kali, dan tidak dijadikan makanan sehari-hari karena akan termasuk menyia-nyiakan harta tanpa tujuan jelas. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sutan Alambudi
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Hukum Memakan Kepiting Haramkah?