Thawaf menurut bahasa berati mengelilingi. Secara istilah ialah mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dengan posisi Ka’bah berada di sebelah kiri, di mulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad. Ada sejumlah macam-macam thawaf, di antaranya: Thawaf rukun haji dan umrah, thawaf qudum (dilaksanakan bagi jamaah yang haji ifrad/qiran pertama kedatangan di Mekkah), thawaf sunnah (di setiap kesempatan masuk Masjidil Haram, tidak diikuti sa’i), dan thawaf wada’ (perhormatan akhir).
Nabi menyifati thawaf seperti melaksanakan shalat. Karena untuk menunjukkan kemuliaan, keagungan, dan keutamaannya yang luar biasa. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ، وَلَكِنَّ اللهَ أَحَلَّ لَكُمْ فِيهِ النُّطْقَ، فَمَنْ نَطَقَ فَلَا يَنْطِقْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Thawaf di sekeliling Baitullah adalah shalat, dan Allah mengizinkan kalian untuk berbicara di dalamnya, maka janganlah kalian berbicara kecuali yang baik. Riwayat ad-Darimi dan al-Baihaqi dalam sunan-nya
Selain hadis tersebut nabi juga bersabda:
أَقِلُّوا الْكَلَامَ فِي الطَّوَافِ؛ فَإِنَّمَا أَنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ” أخرجه الأئمة: النسائي والبيهقي في “السنن”
“Kurangi berbicara dalam tawaf, karena kalian sedang salat.” (HR: Al-Nisa’i dan Al-Baihaqi dalam kitab Sunan
Meskipun disifati nabi bahwa thawaf seperti shalat, tetapi secara hukum tidak bisa disamakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika melaksakannya ada sebagian orang yang mengalami hadas kecil. Jika dalam konteks hukum shalat, orang yang berhadas akan otomatis batal jika berhadas di tengah-tengah shalat. Sedangkan di dalam thawaf, tidak. Di tengah-tengah tawaf, lalu berhadas, ia boleh berhenti dan berwudlu sehingga tidak dihukumi batal thawafnya. Lalu bagaimana hukumnya hitungan thawafnya?
Imam al-Syairazi berkata dalam kitab al-Muhadzdzab:
وقال الإمام الشِّيرَازِي الشافعي في “المهذب [وإن أحدَث وهو في الطواف، تَوَضَّأَ وبَنَى؛ لأنه يجوز إفراد بعضه عن بعض، فإذا بطل ما صادفه الحدَث منه لَم يبطل الباقي، فجاز له البناء عليه] اهـ
“Jika seseorang mengalami kecelakaan saat thawaf, maka dia berwudhu dan meneruskan di atasnya, karena boleh memisahkan sebagian dari yang lain, dan jika yang dia temui batal, maka yang lain tidak batal, maka dia boleh meneruskan di atasnya“.
Thawaf yang dilakukan dengan tujuh putaran bukanlah satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Menurut Imam Syirazi di atas, bahwa ketika satu putaran dianggap batal karena hadas, maka putaran yang lain tidak dianggap batal. Karena satu putaran dianggap terpisah dari putaran yang lain, jadi tidak bisa saling membatalkan.
Keterangan ini ditambahkan oleh Imam Nawawi dalan Majmu’ fi syarh al-Muhadzdzab :
بعد أن ذكر طُرُق أئمة المذهب في هذه المسألة: [فهذه طُرُق الأصحاب، وهي متقاربةٌ ومتفقةٌ على أن المذهبَ جوازُ البناء مطلقًا في العمد والسهو وقُرْب الزمان وطُوله] اهـ
Setelah menyebutkan pendapat para imam mazhab dalam masalah ini mengatakan: Ini adalah pendapat para sahabat, dan mereka sepakat bahwa mazhab mereka membolehkan meneruskan secara mutlak baik dalam hal kesengajaan, kelalaian, sebentar dan lamanya waktu.
Di sini ada kebolehan untuk menghentikan thawaf bagi orang yang hadas, dan bisa melanjutkan ketika sudah suci. Bahkan oleh Imam Nawawi disebutkan meskipun berhenti dikarenakan sengaja, lalai, sebentar atau lama waktunya, tetap boleh meneruskan.
Oleh karena itu, dalam kasus pertanyaan di atas, tawaf jamaah haji tersebut -walaupun dia menghentikan tawafnya untuk berwudhu setelah wudhunya batal di tengah-tengah tawaf, kemudian langsung melanjutkan tawafnya dari tempat dia berhenti- maka tawafnya tetap sah dan tidak mengapa baginya.
Baca juga: Bersentuhan dengan Lawan Jenis saat Thawaf, Batalkah?