tebuireng.co – Herd immunity ramai jadi pembahasan setelah Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengklaim Jakarta sudah berstatus zona hijau setelah masifnya vaksin dan penuhi herd immunity. Lalu apa yang dimaksud dengan herd immunity itu?
Menurut Alumnus Fakultas Kesehatan Universitas Gajah Mada (UGM) dan Pengasuh Pondok Pesantren Queen Al-Azhar Peterongan, Jombang, KH Zahrul Azhar Asumta Herd immunity adalah ketika sebagian besar populasi kebal terhadap penyakit menular tertentu.
Sehingga memberikan perlindungan tidak langsung atau kekebalan kelompok bagi mereka yang tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut.
“Sejak awal pandemi pemerintah terkesan malu menyampaikan konsep herd immunity. Memang di awal pandemi kata itu masih menyeramkan dan mudah diserang pihak lawan dengan issue “pembiaran” negara terhadap nasib nyawa rakyatnya,” jelasnya, Selasa, (24/8).
Pria yang akrab disapa Gus Hans ini mengatakan di awal awal pandemi menduga alasan pemerintah enggan membahas herd immunity karena masih belum ada kepastian tentang adanya vaksin. Maka tidak berani bicara herd immunity lebih jauh.
Sebab, jika tidak ada vaksin maka Herd Immunity akan terbentuk jika 60-80% total jumlah penduduk telah terpapar dengan resiko kematian yang sangat tinggi. Herd immunity bisa terjad jika ada dua hal yaitu Vaksin dan presentase keterpaparan dari total jumlah penduduk.
Untuk terjadinya herd immunity tanpa adanya vaksin maka 60-80% masyarakat harus terinfeksi virus Covid-19 tersebut. Jika warga Indonesia saat ini 268 juta, maka untuk mencapai herd immunity alamiah sekitar 160–215 juta penduduk harus terinfeksi. Sisanya yang tidak terinfeksi akan terlindungi.
Dari penduduk yang terinfeksi tersebut kemungkinan yang akan meninggal dengan CFR 5,7% adalah 9,1 juta hingga 12,2 juta penduduk.
“Alhamdulilah sekarang sudah tersedia beberapa pilihan vaksin, maka opsi herd immunity alamiah yang menyeramkan tersebut semoga tidak terjadi,” jelasnya.
Namun katanya, permasalahannya adalah pada efikasi dari vaksin yang ada. Dari berbagai sumber mengatakan bahwa efikasi vaksin yang sekarang ini diinjeksikan kepada masyarakat memilki efikasi yang tidak optimal. Efikasi vaksin hanya sekitar 65 persen.
Lantas apakah dengan efikasi yang tidak optimal ini pemerintah masih mematok pada angka 70 persen dari total jumlah penduduk yang divaksin. Mestinya makin rendah efikasi pada vaksin maka makin ditingggikan jumlah prosentasenya yang divaksin untuk menurunkan probabilitas keterpaparan.
“Mestinya pemerintah harus realistis atas efikasi vaksin yang tidak optimal ini dan mempertimbangkan peningkatan jumlah minimum yang divaksin bukan lagi hanya 70 persen tapi bisa ditingkatkan menjadi 90 persen,” imbuhnya.
Gus Hans beralasan, ditingkatkan jadi 90 persen ini untuk mengurangi probabilitas keterpaparan. Karena pada kenyataannya ada yang sudah divaksin 2 kali masih saja terpapar.
Para penanggung jawab penanganan Covid di pusat atau di daerah tidak Perlu memberikan harapan-harapan yang tidak rasional kepada masyarakat. Fokus saja pada ketercapaian target vaksin, silahkan berisik untuk kegiatan promotif dan preventif tapi perbanyak kerja senyap dalam hal vaksin dan kurasi.
“Fokus saja pada perbanyak jumlah nakes dan faskes, dan yang tidak kalah penting apresiasi para nakes yang setiap hari bertaruh nyawa dengan insentif yang cukup,” pesan Gus Hans.
Gencarkan gerakan Vaksin Masif bukan Vaksin Masal.
Menurut Gus Hans, masif dan masal memiliki konotasi yang berbeda, gerakan masif lebih “kleindstain” dan senyap. Sementara massal memiliki konotasi keramaian dan lebih banyak “berisik”nya dari pada hasilnya. Bahayanya, banyak pihak yang ingin mengambil “faidah dari keberisikan” untuk kepentingan diluar kesehatan.
“Optimalkan Puskesmas dan hidupkan Posyandu, perbanyak mencetak vaksinator di lapangan dan diperbantukan pada lembaga-lembaga kesehatan yang sudah existing di lapangan (Puskesmas). Libatkan RT RW untuk pendataan, latih mereka dasar-dasar tracing,” ujar Gus Hans.
Mestinya leading sector dari semua ini adalah departemen kesehatan dan jajarannya di bawahnya. Semetara pihak yang lain seperti TNI, Polri, Ormas cukup sebagai pelengkap komplementer untuk percepatan saja.
Dengan menyasar segmen masyarakat atau komunitas yang komunal seperti pesantren, seminari atau sekolah-sekolah yang berasrama yang nama-namanya tak terdata pada Puskemas terdekat.
“Semakin banyak yang kanal yang terlibat maka dipastikan semakin banyak variabel permasalahan dalam proses pendistribusian vaksin dan akan berdampak pada ketepatan jadwal vaksin kepada masyarakat, lagi-lagi masyarakat yang akan jadi korban,” tanda tokoh yang aktif di Ansor Jawa Timur ini.