Hasrat mati syahid. Setiap muslim pasti sepakat bahwa jihad di jalan Allah SWT, menegakkan agama Allah SWT tentu diganjar syahid bila meninggal dunia, demikian juga ketika membela negara sebagaimana yang pernah terjadi di bumi pertiwi Indonesia.
Ijma’ sukuti (mufakat tak tertulis) ini ditekankan kembali oleh salah seorang khatib Jumat kemarin dengan bahasa yang kemudian melahirkan tanda tanya. Benarkah para pejuang Palestina meraih status syahid mereka? Bila redaksi yang digunakan oleh khatib Jumat, “Warga Palestina lebih mengidamkan mati syahid ketimbang menyerah pada agresi Israel”.
Dengan nada penyampaian sang khatib, seakan menutup peluang rekonsiliasi, jalur damai, lobi-lobi kesepakatan atas nama humanistik, hidup bersama dan berdampingan secara harmonis. Tiada jalan lain selain perang karena yang diidamkan adalah kematian, status syahid. Bila demikian adanya, maka upaya negara-negara dunia akan menemukan jalan buntu. Karena harapan warga Palestina bukanlah gencatan senjata dan penghentian agresi yang membabi buta, melainkan sebaliknya, perang hingga titik darah penghabisan, atas nama membela tanah air.
Semoga para martir Palestina yang sudah gugur bukanlah seperti pernyataan Baginda Rasulullah Saw terhadap salah seorang sahabat yang gugur di medan perang dengan “masuk neraka”. Pasalnya, sahabat tersebut tidak tahan dengan luka yang diderita akibat serangan dalam perang dan mengakhiri nyawanya sendiri. Semoga juga pemahaman terhadap penyampaian khatib Jumat yang saya terima tidak demikian adanya, melainkan mereka benar-benar meraih status syahid.
Bila direnungkan kembali, manakah yang lebih prioritas, mengambil jalan martir membela negara dan “agama” atau menempuh perdamaian? Keduanya adalah ajaran Islam dalam bingkai kajian maqāṣid as-syarī’ah.
Cerita mbah-mbah dulu, ketika memondokkan anak ke pesantren, meski sedang sakit mereka tetap di pondok tanpa harus pulang. Apalagi tidak mendapatkan restu pulang oleh kiai, orang tua akan mengantarkan balik pondok lagi, “Lebih baik meninggal dalam proses belajar, ketimbang pulang tidak mendapatkan restu kiai”. Artinya, ḥifẓ ad-ḍīn (memelihara agama) dan ḥifẓ al-‘aql (memelihara akal) dengan menapaki proses belajar mendapatkan prioritas pertama ketimbang ḥifẓ an-nafs (memelihara nyawa). Nampaknya, hari ini pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah bergeser dan saling memahami untuk mengambil jalan berobat dulu, pulang dulu untuk berobat mengambil prioritas ḥifẓ an-nafs ketimbang ḥifẓ ad-dīn dan ḥifẓ al-‘aql.
Sebagaimana yang nampak, warga Palestina sedang menapaki pemikiran mbah-mbah dulu dengan memprioritaskan meraih kemerdekaan negara dan menomorduakan nyawa, sedangkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, mengupayakan perdamaian dengan banyak usaha rekonsiliasi antarnegara dan belum menerjunkan pasukan perang. Sikap memelihara nyawa warga sipil agar tidak lebih banyak lagi yang meninggal sebagai prioritas. Untuk sementara waktu ini.
Kebijakan pemerintah itu pasti menuai pro dan kontra, ada yang memang benar-benar mengharapkan terjun perang, ada yang hanya omong doang dan paling semangat di dunia maya, ada yang tidak mengharapkan perang, ada yang hanya menunggu kebijakan selanjutnya. Fenomena tersebut mengingatkan kembali pada film “The 100”, antara memperjuangkan golongan dan memperjuangkan kemanusiaan secara menyeluruh tanpa memihak golongan. Kebijakan, kondisi, kepentingan, hipokrit, politik, perebutan wilayah saling berkelindan. Pro-kontra dari masing-masing kelompok menjadi ketegangan tersendiri bagi para penonton.
Dalam film seri itu, salah satu kebijakan terberat yang diambil oleh seorang pemimpin adalah membunuh ratusan warga karena oksigen yang tersedia dalam pesawat luar angkasa mereka semakin menipis untuk kebutuhan para penduduk. Terjadi lagi kasus serupa, ketika menempati bunker dalam tanah untuk durasi waktu seratus tahun. Bunker yang akan ditempati oleh berbagai kelompok suku. Hitungan kapasitas oksigen dan kenyamanan mengorbankan pembunuhan ratusan warga masing-masing suku. Hukuman bagi para pelanggar adalah kematian dan daging mereka menjadi santapan yang tak terelakkan.
Pertanyaannya, apakah bumi ini sudah tidak muat lagi untuk jumlah manusia yang domisili sehingga mengorbankan banyak nyawa dengan hasrat jihad? Memproduksi perangkat perang? Memperjuangkan kepentingan masing-masing kelompok? Atau masih banyak kelompok yang menyuarakan hidup harmonis bersama sebagai kemungkinan dan keniscayaan? Dalam film “The 100”, sutradara seakan telah menampilkan berbagai kemungkinan yang diambil oleh para pemimpin dan warganya.
Baca Juga: Mati Karena Cinta Dihukumi Syahid, Benarkah?