Tanggal 10 Juni, diperingati sebagai Hari Media Sosial. Setiap tahun, setelah ditetapkan pada 10 Juni 2015 lalu, masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Media Sosial. Dukungan terhadap Hari Media Sosial ini muncul di mana-mana. Dengan harapan, netizen Indonesia tidak dianggap lagi paling bar-bar di Media Sosial (Medsos)
Catatan sejarah, Hari Media Sosial dicetuskan oleh Handi Irawan, CEO Frontier Group dan juga penggagas Hari Pelanggan Nasional. Ide Hari Media Sosial muncul karena Handi Irawan melihat fenomena penggunaan media sosial di Indonesia yang cenderung barbar dan tidak beretika. Apalagi dibumbui dengan unsur politik dan agama.
Harapannya, dengan adanya Hari Media Sosial maka semua kalangan kembali bijak dalam menggunakan media sosial. Tamsil, menghindari membagikan kabar hoax, penggiringan opini dan fitnah. Selama pandemi, merujuk data Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, ditemukan 554 informasi hoax terkait COVID-19. Informasi hoax ini menyebar di instagram, whatsApp, facebook, twitter dan youtube. Tujuan utama medsos sebagai alat komunikasi dan mencari teman berubah menjadi senjata menyerang orang lain.
Hal yang dikhawatirkan oleh Handi Irawan pada 2015 lalu, hingga saat ini masih tetap bertahan. Bukan hanya masyarakat awam yang terlibat, kini lembaga resmi pemerintah dan pendukungnya juga ikut terlibat memperkeruh media sosial di Indonesia. Karena dilakukan oleh orang terdidik, serangannya pun masif dan berdampak besar.
Akhir-akhir ini, kritik terhadap pemerintah banyak di-takedown dari internet. Bahkan di Indonesia Timur, khususnya Papua, internet sering dimatikan oleh pemerintah dengan berbagai alibi.
Soal kritik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK RI di media sosial (medsos) banyak ditakedown, belum ada respons komentar dari pemerintah. Banyak bot dan buzzer di medsos yang menguasai perbincangan. Parahnya, pemerintah tidak melakukan tracking terhadap akun yang terkena hack. Seperti instagram salah satu tim yang meneliti kasus TWK yang dihack. Seakan acuh.
Tentu media sosial tidak selalu memberikan dampak negatif. Berbagai manfaat medsos dirasakan sejumlah kalangan untuk bisnis dan mengenalkan diri ke publik. Namun, sederet manfaat itu menjadi tak ada artinya bila digunakan tidak bijak. Perpecahan dan adu domba malah jadi dominan. Pihak pemerintah dan oposisi sama-sama menggunakan jasa pendengung atau buzzer untuk membenarkan setiap pikiran mereka. Akhirnya, masyarakat Indonesia secara umum yang jadi korban.
Saya sempat berpikir bahwa pilihan pemerintah membiarkan dan memelihara buzzer sebagai bentuk nyata dari program Jokowi yang membuka lapangan pekerjaan untuk 10 juta orang. Sekarang zamannya online, bisnis informasi dan dis-informasi menemukan karpet merahnya. Banyak yang mencari nafkah lewat iklan youtube, Ad-Sense atau menulis di medsos sesuai pesanan big bos. Setiap trending di twitter maka bayaran cairan. Sebuah pekerjaan yang belum terpikir kan 30 tahun lalu.
Kita bisa melihat pada Pilpres 2014 dan 2021, para pemain medsos panen rupiah hanya dengan modal handphone dan wifi gratis. Kadang agama pun dijual, sebuah strategi propaganda yang cerdas. Mereka menjual rasa takut, lantas orang tertarik dan kemudian membenarkan lalu membagikan. Semisal oposisi membagikan tulisan tentang penggelapan dana haji. Masyarakat yang takut uangnya hilang lalu buka youtube dan website yang buzzer bagikan. Ciri khasnya mereka ini lebih sering membagikan link yang dari kelompok mereka saja. Dari situ pengunjung akun medsos bertambah dan iklan datang.
Sementara pemerintah dan partai pendukungnya, membuat informasi bahwa ada gerakan anti pancasila. Lalu diperintahkan ke tim untuk menyebarkan ke berbagai medsos. Pengelola medsos dapat untung dua kali lipat. Untung karena bayaran dari pemesan dan bayaran dari aplikasi. Sekali melangkah, dua pulau terlewati. Strategi ini sukses, pasar terbentuk secara sempurna.
Terlepas dari itu, gerakan Kominfo RI melakukan gerakan literasi digital kepada masyarakat Indonesia secara gratis baru-baru ini adalah langkah yang harus didukung. Gerakan itu sudah bergulir di beberapa daerah, seperti Jember dan Banyuwangi yang akan berlangsung hingga Desember 2021. Dengan begitu, Kominfo RI kerjaannya tidak hanya memblokir situs pornografi saja.
Hemat kata, masyarakat umum dan terkhusus aktor intelektual di balik buzzer perlu diingatkan kembali memanfaatkan media sosial secara positif. Banyak cara, termudah dimulai dengan membagikan berita-berita yang menginspirasi, memotivasi dan ajakan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik bagi anggota keluarga, sahabat, komunitas, dan juga para pelanggan.