Hari Guru dan malangnya nasib mereka menarik untuk dibahas. Apalagi di setiap tahun Hari Guru selalu kita rayakan. Lalu, sudah sejauh mana kita menghargai jasa besar dari seorang guru? Semenjak dilahirkan di dunia, saya dididik oleh orang tua. Berselang beberapa tahun, saat saya sudah cukup cakap untuk berinteraksi dengan banyak orang, oleh orang tua, saya disekolahkan di pendidikan paling dini, Taman Kanak-Kanak (TK). Lalu berlanjut ke jenjang SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Kurang lebih hampir 20 tahunan perkembangan hidup saya tidak terlepas dari peran guru yang bertugas di setiap jenjang pendidikan. Dan hal serupa saya kira juga dialami hampir oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Tanpa terkecuali.
Bisa dibilang, guru adalah orang tua kedua setelah orang tua kandung saya sendiri. Dari mereka, saya bisa baca-tulis, shalat, mengaji, hingga cakap untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa membuat hidup saya semakin berkembang, bahkan sejahtera.
Beberapa guru semasa kecil yang pernah saya jumpai, dalam beberapa hal seperti kemapanan ekonomi justru bisa dibilang lebih baik saya daripada mereka. Meski dengan kondisi hidup yang pas-pasan bahkan mengenaskan, mereka tetap saja setia pada profesinya. Menjadi guru.
Melihat kondisi guru-guru saya itu, dalam benak hati saya muncul dua perasaan, yaitu sukacita dan simpati. Sukacita karena mereka berhasil mendidik saya menjadi lebih baik dari kondisi mereka saat ini, namun simpati karena mereka yang menyerahkan hampir semua jiwa dan raganya menjadi seorang guru ternyata tak kunjung sejahtera.
Hari Guru dan Berkah
Kemarin dengan gegap gempita kita merayakan Hari Guru. Hari di mana menjadi hari ulang tahun bagi siapa saja yang berprofesi sebagai guru. Dengan berbagai perayaan dan hadiah yang ditujukan kepada para guru tentu saja saya sangat gembira melihatnya. Seolah dunia gegap-gempita menyanjung para guru itu. Ya, meski setahun sekali, sih.
Di beberapa lembaga pendidikan yang “religius”, ada hal yang perlu diperhatikan oleh pemegang kuasa atau kebijakan. Bahwa para guru tidak berbeda dengan pekerja-pekerja lain yang dianggap prestisius. Bahwa guru juga punya keluarga yang harus dinafkahi dan dipenuhi kebutuhannya. Lebih dari itu, jenjang karir yang jelas seiring bertambahnya durasi dedikasi pada lembaga pendidikan sangat patut diwujudkan.
Menjadi guru tak pernah mudah. Mereka yang mendidikasikan dirinya menjadi guru, tentulah merasakan lelahnya raga sekaligus jiwa. Maka gaji guru tidak kalah penting diperhatikan layaknya perhatian kita pada kurikulum untuk mencerdaskan dan membentuk karakter penerus bangsa.
Beberapa kawan yg berprofesi menjadi guru mengeluhkan minimnya gaji. Mau resign, tapi merasa punya ikatan utang budi pada almamater. Kalau dilanjut, sampai kapan kehidupan bisa lebih baik jika gaji sedemikian kecil? Seolah menjadi guru adalah pilihan yang tidak realistis.
Biasanya, para pemangku kebijakan yang tidak melek terkait peningkatan kualitas hidup guru menjual kata-kata “berkah” agar sang guru tetap mau bertahan. Berdalih sudah tenang saja, selama mau mengabdi di lembaga ini akan mendapat berkah berlimpah. Lalu, si pemangku kebijakan itu menceritakan kisah-kisah hidupnya yang heroik dengan dalih bahwa semua pencapainnya itu termasuk kekayaannya yang melimpah ruah adalah hasil dari keberkahan.
Saya tidak hendak menafikan “berkah”. Saya percaya bahwa keberkahan itu ada. Namun, itu menjadi ranah dan wewenang Tuhan untuk memberikan kepada siapa saja yang serius dan ikhlas dalam melakukan pekerjaannya. Termasuk para guru. Apalagi guru adalah profesi kenabian. Sekali lagi, berkah atau tidak bukan ranah pemangku kebijakan.
Kata seorang teman, “Berkah iku urusane Pengeran. Lek masalah bayaran seng layak iku urusane sampean seng duwe jabatan.” (Berkah itu urusan Tuhan. Kalau masalah gaji yang layak itu urusan kalian yang memegang jabatan).
Upacara, pemberian hadiah kepada guru, salim keliling antara murid-guru, dan seremoni semacamnya di Hari Guru adalah hal baik. Namun, menjadi tidak baik jika setelah Hari Guru nasib para guru masih begini-begini saja atau bahkan semakin tidak jelas.
Ini seolah seremoni yang ngece (mengejek). Di Hari Guru, para guru dieluh-eluhkan dan disanjung setinggi langit. Namun, setelahnya nasib hidup mereka tak kunjung sejahtera. Oh, apakah Hari Guru memang cuma sehari?
Ujung Tombak
Memang masalah pendidikan kita saat ini bukan saja soal gaji guru yang kecil, tapi saya kira hal ini yang harus diperhatikan lebih dulu dibanding masalah-masalah lain. Ibarat sebuah pabrik, tiada berfungsi dan berjalan pabrik itu tanpa sentuhan manusia di dalamnya. Ya, meski sekarang banyak mesin mampu menggantikan peran manusia, tapi tidak dengan pendidikan kita.
Kita sudah bosan dengan perubahan kurikulum setiap pergantian tabuk kepemimpinan. Toh, ujung-ujungnya guru tetap saja menjadi ujung tombak yang harus tertatih-tatih dalam mencerdaskan anak bangsa. Maksud saya begini, guru sebagai ujung tombak harusnya menjadi perhatian paling serius para pemangku kebijakan.
Ini ujung tombak, loh. Piranti pertama yang digunakan untuk “menusuk” dinding-dinding kebodohan. Kalau para guru tidak kunjung mendapat penghidupan yang layak, mereka tidak akan bisa khusyuk dan serius dalam mendidik para pelajar. Artinya, ujung tombak itu tumpul. Selain tumpul, dinding-dinding kebodohan di masyarakat kita teramat tebal.
Betapa melas-nya (kasihan) para guru yang “tumpul” harus menusuk dinding-dinding “tebal” itu? Ya, tentu saja kita tahu hasilnya. Kalau tidak, tombaknya yang patah. Bahkan bisa jadi dinding itu entah sampai kapan bisa hancur.
Bayangkan saja, jika tiada perubahan signifikan dalam pendidikan kita. Khususnya kesejahteraan guru. Kita akan menghadapi problem-problem kemasyarakatan yang tidak berujung dan tentu saja itu sangat mengkahawatirkan. Apalagi, di tahun 2045 kita dihadapkan dengan bonus demografi.
Di mana salah satu penentu keberhasilan dari momen bonus demografi adalah keberhasilan pendidikan kita. Lalu, para guru dengan selingkup masalah yang menggerogoti, dipaksa untuk berhasil mendidik generasi muda. Jadi, mana dulu yang harus diperhatikan, guru atau murid-muridnya?
Baca Juga: Suksesnya Bonus Demografi Indonesia Berada di Pundak Siapa?