Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kebanyakan kita hari ini tidak lepas dari gawai (hp, handphone). Ada pergeseran status handphone dari yang bersifat kebutuhan (need, al-ḥājah) menuju keniscayaan (necessity, ḍarūriyah). Sebagaimana yang diungkapkan dalam kaidah fikih, “al-ḥājah tanzilu manzilata aḍ-ḍarūrah, ‘āmatan kānat au khāṣatan”. Bahwa “kebutuhan” menempati posisi “keniscayaan”, baik bersifat umum atau spesifik-individual ketika meramba dalam sendi kehidupan.
Muhammad Sidqi bin Ahmad memberikan contoh kasus ijārah (sewa menyewa) dan akad salam karena masuk dalam kategori jual beli barang yang tidak ada (ma’dūm); ju’ālah (on demand) seperti proyek pembangunan gedung yang bisa jadi molor dari deadline atau ada bagian yang kurang tepat dengan permintaan, penjahitan seragam yang tidak sesuai dengan warna permintaan dan dengan berat hati menjadi kesepakatan. Konsep-konsep muamalah seperti itu pada awalnya tidaklah sah, akan tetapi karena tuntutan transaksi pasar yang semakin berkembang dan dimanfaatkan oleh khalayak luas, maka kaidah “kebutuhan” tersebut berlaku. Bahkan, hari ini berkembang lagi dengan model cash on delivery (COD) dalam marketplace seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan lain-lain.
“Kebutuhan” ketika merambah dalam sendi kehidupan, maka status hukum menjadi “niscaya” atau “keharusan”. Handphone di era sekarang telah membuktikan peran pentingnya pada pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir kemarin. Orang-orang tua dan anak-anak kecil dipaksa belajar menggunakan gawai guna proses pendidikan. Meski, sebetulnya tidak masuk dalam kategori aḍ-ḍarūriyah al-khams; keniscayaan memelihara agama, keniscayaan memelihara nyawa, keniscayaan memelihara harta, keniscayaan memelihara nasab, dan keniscayaan memelihara martabat, akan tetapi “kebutuhan” ber-handphone pada masa Covid-19 kemarin menaikkan status hukum menjadi keharusan guna menopang proses pendidikan.
Jasser Auda memberikan usulan yang tidak kalah menarik. Bahwa, “kebutuhan” akan sumber daya manusia (SDM) yang hebat, perlu naik status menjadi keniscayaan (ḍarūrah). Oleh karenanya, para intelektual dan cendikiawan dalam satu negara harus dipikat agar tidak keluar dan berpindah negara. Status hukum dari “kebutuhan” terhadap SDM naik menjadi “keniscayaan”. Bila tidak demikian, negara mati kehabisan generasi emas.
Selaras dengan gagasan Jasser Auda, Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Hasyim Asy’ari (PMB-Unhasy) memberikan beasiswa kepada warga asli Jombang. Para generasi emas perlu menjadi agent of changes, agen perubahan di daerah mereka. Status “kebutuhan” akan SDM dinaikkan menjadi “keniscayaan” agar perubahan dalam ranah yang lebih praktis, lebih nyata. Tentu, itu masih satu tahap upaya Unhasy guna mengikat dan meningkatkan sumber daya manusia dalam hal keilmuan. Masih menyusul kemudian fasilitas-fasilitas keilmuan guna mendorong dan mendongkrak agar terjadi percepatan proses keilmuan, sehingga “bibit unggul di tanah yang subur” menjadi nyata adanya.
Kalau “keniscayaan” membolehkan seorang mukalaf memakan bangkai dengan kadar secukupnya, maka “kebutuhan” bila dinaikkan statusnya membolehkan hal serupa sebagaimana kasus ju’ālah, salam, ijārah, dan transaksi muamalah lainnya sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Sidqi. Dan tentu, setiap kaidah memiliki pengecualian-pengecualian, “kullu qāidatin mustatsnayāt”. Bagi yang masih berkomitmen tidak ber-handphone, juga tidak mati; dan bagi yang tidak mengejar beasiswa juga masih banyak yang belajar, meski otodidak.
Baca Juga: Mahasiswa Kosan dan Masyarakat