tebuireng.co- Hakikat tawadhu (rendah hati) menurut lora Ismail Amin Kholil atau yang lebih akrab disapa lora Ismail Al-Kholili adalah seperti yang dijelaskannya dalam postingan instagramnya bahwa hakikat tawadhu seperti yang dinukil dari kalam Abu Yazid al-Bhustomi yang mengatakan bahwa pada hakikatnya seseorang bisa dikatakan rendah hati ketika ia tidak melihat kebaikan atau keistimewaan apapun dalam dirinya dan selalu meyakini bahwa di bumi ini tidak ada orang yang lebih hina darinya.
Sifat tawadhu adalah sifat yang seharusnya dimiliki setiap orang karena dengan adanya sifat tersebut dalam diri seseorang maka ia akan terhindar dari sifat sombong yang sangat dibenci Allah.
Sebagaimana dalam hadis qudsi disebutkan
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : ( قال الله عز وجل : الكبرياء ردائي ، والعظمة إزاري ، فمن نازعني واحداً منهما قذفته في النار ) وفى رواية (ولا أبالى)
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda. Allah SWT berkata: “sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan-Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli.”
Lora Ismail juga menceritakan ketawadhuan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Meski dikenal dengan Sulthonul Awliya’ (Sultan para wali) Syekh Abdul Qadir pernah suatu hari ditemukan oleh salah satu orang salih yang sedang tawaf sedang menangis sesunggukan dalam sujudnya sambil berdo’a
اللهم إن كنت لا تريد أن تغفر لى يوم القيامة فاحشرني أعمى… لئلا أخجل من هؤلاء الناس الذين كانوا يحسنون الظن بي
“Ya Allah jika engkau memang tidak ingin mengampuni dosa-dosaku kelak di hari kiamat maka bangkitkanlah diriku kelak dalam keadaan buta, hingga aku tidak malu kepada mereka (orang orang yang dulu berbaik sangka kepadaku) “. Do’a tersebut adalah do’a seorang wali yang menunjukan ketawadhuannya.
Kisah lain yang diceritakan lora Ismail tentang hakikat tawadhu adalah kisah yang dituliskan oleh Syaikh Ibnu Ajibah al-Hasani dalam Syarah Hikam-nya, Iqodzul Himam yang mengisahkan tentang Syekh Abdurrahman Bin Said, seorang ulama besar yang pada suatu hari di musim hujan melewati jalanan yang becek dan berlumpur. Tiba-tiba tampak seekor anjing datang dari arah yang berlawanan. Melihat anjing tersebut semakin mendekat, ia pun menepi ke tempat yang bersih dan tak berlumpur agar anjing itu melewati jalan yang berlumpur tapi tak lama kemudian beliau justru berpindah ke tempat yang berlumpur seakan mempersilahkan anjing tersebut untuk berjalan melalui tempat bersih yang tadi ditempatinya.
Seorang yang melihat kejadian tersebut akhirnya mendekati dan bertanya pada Syekh Abdurrahman bin Said “wahai Syekh, aku melihat tadi engkau melakukan hal yang sangat aneh. Mengapa engkau mengalah dan membiarkan anjing itu lewat melalui jalan yang bersih dan tak berlumpur?”
Syekh Abdurrahman pun menjawab: “awalnya aku memang ingin membiarkan anjing itu lewat melalui jalan yang kotor, namun kemudian aku berfikir dan berkata dalam hati, bukankah anjing itu lebih baik dan lebih mulia dari diriku ? Aku punya banyak dosa dan masih sering bermaksiat sedangkan anjing itu tidak mempunyai dosa sama sekali ? Kalau begitu bukankah ia lebih pantas dimuliakan daripada diriku yang hina ini ? Sekarang aku sedih dan takut Allah tidak akan mengampuni dosaku karena aku telah merendahkan salah satu mahluk-Nya yang lebih mulia dariku”.
Demikian akhlak yang dipegang teguh oleh para wali Allah, yakni selalu bersikap tawadhu di hadapan siapapun agar tidak terjerumus pada sifat sombong yang akhirnya akan mendapat murka Allah. Wallahua’lam bisshowab.
Baca juga: Dua Hal Penting Mendidik Akhlak Menurut Imam Ghazali